Sekitar empat tahun yang lalu jika saya tidak salah ingat, saya iseng-iseng pernah membuat poster film palsu “Soekarno”, untuk diikutsertakan juga dalam kontes di sebuah forum, sayangnya kalah hahahaha. Lucunya, setelah sempat dipajang di blog pribadi dan deviantart, banyak yang mengira poster tersebut “asli” alias bakal ada filmnya, setelah akhirnya tersadar hanya poster-posteran. Kebanyakan komentar yang masuk pun bernada sama, menanyakan “kapan ada film tentang Bung Karno?”, saya pun sama seperti mereka, menanti “Soekarno” benar-benar difilmkan, bisa dikatakan poster yang saya buat itu ibarat sebuah harapan. Well, doa saya terkabulkan beberapa tahun kemudian, “Soekarno” kembali dihidupkan oleh Hanung Bramantyo (Sang Pencerah, Tendangan Dari Langit, Tanda Tanya). Saya tentu saja senang tapi juga sekaligus agak pesimis, apakah saya akan betul-betul suka dengan filmnya setelah menonton nanti. Alasannya, karena tak akan mudah memfilmkan tokoh sebesar Bung Karno, pasti bakal sulit mencari orang yang benar-benar mampu menjelma menjadi sosok Presiden pertama Indonesia tersebut. Rasa pesimis tersebut agak dipukul mundur saat trailer perdana rilis, respon saya kala itu adalah “not bad…lumayanlah ini”, apalagi ketika melihat Ario Bayu berdiri berpidato, cukup mewakili apa yang saya inginkan, walaupun saya belum tahu apakah dia cocok memerankan Bung Karno atau tidak.

Persoalannya sekarang adalah: mau memilih orang yang benar-benar mirip tapi tidak bisa akting, atau pemain yang bisa (banget) akting tapi mirip-mirip sedikit. Pemilihan Ario Bayu saya pikir sebuah langkah yang tepat yang dilakukan oleh “Soekarno”, walaupun masih punya kekurangan yang tidak terlalu mengganggu, Ario saya akui mampu menyodorkan performa akting yang luar biasa, jadi ketika sosoknya tidak terlalu mirip, bisa tertutupi oleh akting. Untuk memainkan Bung Karno saya pikir mirip saja tidak cukup, tapi bagaimana seorang aktor mampu memikat sekaligus meyakinkan penonton jika yang sedang mereka saksikkan di layar bioskop adalah Bung Karno bukan Ario Bayu, bukan pekerjaan yang mudah apalagi dengan durasi film yang tidak bisa dibilang sebentar itu. 150 menit, jadi pertaruhan tersendiri apakah Ario Bayu sanggup, tak hanya dipoles luarnya saja tapi juga dalamnya juga, fisik tampak mirip sekaligus menjiwai perannya. Jujur, tak seratus persen Ario Bayu sanggup, tapi jika bertanya apakah usahanya sudah maksimal? Saya bisa mengatakan “iya”, hasilnya langsung kelihatan ketika saya melihat Ario Bayu berdiri di podium dan berpidato, bukan bermodal berteriak-teriak lantang saja, tapi berhasil menjelma sebagai Bung Karno. Sayangnya tak setiap saat Ario Bayu mampu mempertahankan keyakinan saya, kesalahan tidak melulu menunjuk akting Ario Bayu, tapi juga skrip film ini.

Dua setengah jam memang bukan durasi yang bisa dibilang “aman”, tergantung isi film dan bagaimana si pembuat film mempresentasikannya. “Soekarno” diakui memiliki potensi menjadi film yang menarik, rentang waktu berceritanya begitu panjang dari sejak Bung Karno masih bernama Kusno dan sering sakit-sakitan, diasingkan kesana-kemari, sampai akhirnya dia berdiri di sebuah rumah di Jalan Pegangsaan Timur nomor 56, untuk memploklamirkan kemerdekaan Indonesia bersama dengan Bung Hatta. Sayangnya, “Soekarno” tak mampu memanfaatkan durasi dengan sebaik-baiknya, malahan terkesan terbebani untuk menceritakan semuanya, tanpa pembagian porsi cerita yang imbang, belum lagi bagian film ini yang mengajak kita menengok sisi lain dari seorang Bung Karno, kisah cintanya. Alurnya saya rasa tidak ada masalah, tidak terlalu terburu-buru dan membiarkan penonton untuk memilih cara ternyaman untuk menikmati cerita. Namun walau serasa sudah nyaman, saya masih saja kelelahan ketika mengikuti setiap chapter demi chapter kisah Bung Karno. Alih-alih menceritakan dengan cara asyik, saya seperti dipaksa untuk membaca bertumpuk-tumpuk buku yang kesemuanya yah berembel-embel “Soekarno”. Ketika film ini tepat untuk urusan memilih pemain untuk berperan sebagai sang tokoh utama, sebaliknya kebingungan memilih apa yang akan diceritakan. Fokusnya berubah-ubah, dan itu berdampak pada mood saya yang juga gampang berubah. Entah itu ingin lebih banyak menceritakan perjuangan Bung Karno membebaskan bangsanya atau mengeksplor perjuangan hati Bung Karno mendapatkan cinta-cintanya, film ini tak bijaksana dalam memilih fokus ceritanya.

Melelahkan, terlebih di paruh pertama, tapi “Soekarno” bukan film yang sampai membosankan. Terlepas dari ceritanya yang kesana-kemari, sejak awal film yang sempat “keruh” karena kisruh ini memang diakui menarik ketika berbicara soal tata produksi. Kita begitu diyakinkan dengan setting-nya, departemen artistik di “Soekarno” sudah melakukan pekerjaan yang luar biasa, dan mereka bisa begitu “akur” dengan Faozan Rizal dalam menghasilkan gambar-gambar yang membuat saya betah berlama-lama duduk bersama “Soekarno”. Sekali lagi sungguh sayang saat film ini tidak bisa memanfaatkan tata produksinya yang jempolan, termasuk juga pemilihan scoring yang mampu bergandengan dengan setiap adegan dalam film. Ingin menceritakan perjuangan bersama tokoh-tokoh besar lainnya, seperti Hatta dan Sutan Sjahrir pun tanggung, karena “Soekarno” harus dipaksa berbagi dengan kisah yang fokus ke kehidupan pribadi. Walaupun terus-terang menurut saya sisi romansa dan intrik yang disodorkan tidak terlalu berasa, padahal porsi yang diberikan cukup banyak, tapi tidak mampu melibatkan emosi penontonnya untuk ikut peduli. Hampa, mungkin itu yang saya rasakan selama menghabiskan setengah durasi “Soekarno”, semua memang terbayar pada akhirnya ketika film ini mulai menapaki paruh kedua film, mulai meninggalkan persoalan pribadi dan memilih untuk menyorot sepak-terjang Bung Karno dalam usahanya membawa bangsa Indonesia menuju kemerdekaan. 30 menit menjelang akhir, bisa dibilang momen terbaik “Soekarno”, membuat jiwa nasionalisme saya merinding. Ya, saya tidak sepenuhnya kecewa, hanya saja “Soekarno” seharusnya bisa lebih bijaksana memilih apa yang mau diceritakan kepada penontonnya.