Jika “La Tahzan” bulan Agustus lalu mengajak penonton film Indonesia berjalan-jalan ke Jepang bersama Atiqah Hasiholan, Joe Taslim dan Ario Bayu, “99 Cahaya di Langit Eropa” akan membawa kita terbang ke benua Eropa, tepatnya ke Wina, Austria. Disana kita akan dikenalkan dengan Hanum Salsabiela (Acha Septriasa), yang mesti meninggalkan tanah air untuk ikut suaminya, Rangga Alamahendra (Abimana Aryasatya), yang berkesempatan melanjutkan pendidikan S2 di negeri yang dikenal sebagai tempat lahirnya musisi-musisi ternama dunia—macam Franz Schubert—dan terkenal juga karena keindahan arsitekturnya. Awalnya sih Hanum begitu menikmati berjalan-jalan setiap hari, menelusuri tiap bagian Wina yang belum dijelajahi sambil menghabiskan waktu selagi suaminya sibuk dengan urusan kampus. Kesenangan tersebut tak bertahan lama, setelah 3 bulan disana, Hanum mulai merasa bosan tiap hari hanya jalan-jalan dan foto-foto, ingin punya pekerjaan tapi agak sulit karena terbentur masalah bahasa. Hanum pun akhirnya memutuskan untuk les bahasa Jerman. Di tempat les inilah dia bertemu Fatma Pasha (Raline Shah), yang tak hanya jadi teman kursus Hanum tapi sekaligus “teman” spiritual, mengajarkan ia banyak hal khususnya tentang Islam di Eropa.

Mengikuti “Perahu Kertas” yang dirilis tahun lalu, film yang diadaptasi dari novel laris berjudul sama karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra ini pun dibagi menjadi dua bagian. Di part yang pertama, Guntur Soeharjanto mencoba untuk memperkenalkan karakter-karakternya, termasuk Hanum, niatnya patut dihargai, penonton dibiarkan untuk tahu latar-belakang masing-masing karakter yang mereka tonton. Sedangkan ceritanya—itupun kalau ada—dibiarkan kabur, saya tidak pernah punya bayangan “99 Cahaya di Langit Eropa” sebetulnya ingin menceritakan apa. Apa yang saya tahu, film ini kadang-kadang akan “memaksa” saya untuk belajar tentang sejarah Islam di Eropa dengan cara yang film ini pikir asyik—asyik sendirilah pada akhirnya. Terlalu “sekolahan” justru bikin saya jadi cepat bosan dengan film ini, padahal belum ada separuh film saya sudah terburu-buru ingin pulang, tidak betah lama-lama di Eropa. Mengenal sejarah Islam yang saya belum ketahui memang menyenangkan, niat film ini baik, memberikan ilmu selain perannya untuk menghibur penonton lewat cerita. Caranya saja yang saya pikir tidak menarik, kok kaku, malah “99 Cahaya di Langit Eropa” justru terkesan seperti seorang tour guide yang membosankan. Jalan-jalan saya berantakan.

Guntur Soeharjanto—tahun ini juga membesut Tampan Tailor dan Crazy Love—memang punya banyak hal yang menarik untuk ditawarkan: sejarah Islam, kisah Hanum dengan teman barunya, cerita Hanum dengan suaminya, dan tak lupa yah jalan-jalan di Eropanya itu sendiri. Sayang, film ini tak tahu bagaimana membagi-bagi porsi masing-masing agar berjalan berbarengan dengan cerita, bagian yang tidak terasa penting justru dilebih-lebihkan yang pada akhirnya menyingkirkan waktu untuk bercerita, lebih penting lagi tidak menyediakan tempat untuk saya dan penonton untuk melihat chemistry itu tumbuh antara Hanum dan suaminya, ataupun chemistry pertemanan antara Hanum dan Fatma. Waktu sering “dicuri” untuk bagian yang tiba-tiba menggurui dan sedikit-sedikit berceramah, well saya tidak masalah dengan semua itu jika saja cara dan penempatannya benar, toh ini pun sebuah film reliji. Saya sadar sedang menonton film yang sejak awal arahnya memang kesana, bermuatan petuah-petuah, bakal banyak mengajarkan ini-itu, ceramah dan ceramah, namun seperti tipikal film reliji kita, penyakit menomor-duakan cerita lagi-lagi kambuh di “99 Cahaya di Langit Eropa”. Bagian preachy-nya dominan mengaburkan apa yang sebetulnya ingin film ini ceritakan, padahal membangun cerita, sesederhana apapun itu butuh proses, dan film ini memilih untuk mengambil jalan pintas, demi mengobral sebuah pesan moral. Jadi “aman” ketika ditanya pesan moralnya apa, lalu ceritanya apa? saya juga bingung.

Baiklah, diantara bagian yang saya sesali di “99 Cahaya di Langit Eropa”, saya tak akan menutup mata ketika film ini juga memiliki kebaikan-kebaikan yang tersisa, Acha Septriasa kembali memerankan karakternya dengan begitu luwes, loveable dan berkesan apa-adanya. Begitupula dengan Abimana Aryasatya, walaupun yah lagi-lagi dia mengulang perannya di film-film sebelumnya, tapi tetap tampil asyik sesuai dengan porsinya, pas membawakan Rangga. Berkerudung, si cantik Raline Shah pun menampilkan akting yang tidak mengecewakan. Untuk urusan gambar, saya akui “99 Cahaya di Langit Eropa” begitu bercahaya, cantik membingkai dan indah begitu menangkap pemandangan Eropa, khususnya Wina dan kota Paris. Dikomandani Enggar Budiono, visualnya memang memanjakan mata, setidaknya saya nyaman berlama-lama melahap setiap gambar yang disodorkan, saat cerita hampir tidak menawarkan apa-apa. Mungkin seharusnya film ini memang tidak perlu dipecah jadi dua bagian, saya berpikiran positif saja, semua akan dieksplor lebih di bagian kedua, jadi bagian pertama ini hanya bagian “suka-suka”, banyak bagian yang dipanjang-panjangkan yah suka-suka filmnya, terlalu menggurui yah suka-suka filmnya. Pada akhirnya, bagian pertama di “99 Cahaya di Langit Eropa” tak lebih dari jalan-jalan yang tidak mengasyikkan, pulang pun tak bawa apa-apa.