Dokumenter memang bukan genre pilihan pembuat film kita, apalagi jika untuk dilempar ke bioskop, film non-dokumenter alias fiksi pun belum tentu laku, pikir dua kali untuk membuat film dokumenter di Indonesia. Alternatifnya adalah film dokumenter yang berfokus pada sebuah grup band (biasa disebut rockumentary) yang sudah punya nama besar tentunya. Seperti yang pernah dilakukan sesepuh thrash metal, Metallica yang meluncurkan film dokumenter bertajuk “Some Kind of Monster” di tahun 2004 silam. Filmnya sendiri yang disutradarai Joe Berlinger dan Bruce Sinofsky, mencoba merangkum ulang siapa sih itu Metallica, mengenal lebih dekat sosok James Hetfield dan kawan-kawan dibalik atribut band berskala monster, yang sudah menjual ratusan juta kopi albumnya tersebut dan sekaligus merekam proses pembuatan album ke-8, dengan segala kendala, termasuk sang frontman yang nantinya harus masuk rehab berkaitan dengan kebiasan minum-minumnya. Dibilang segmented hanya untuk pemuja Metallica, menurut saya sih tidak juga, siapapun bisa menikmati, karena pada akhirnya dokumenter ini tidak lagi sekedar bercerita tentang Metallica, tapi perjuangan manusia yang diwakili oleh tiap personilnya untuk jadi individu yang lebih baik, mereka juga manusia sama seperti kita. Seperti “Some Kind of Monster”, menurut saya rockumentary atau apapun namanya memang seharusnya bisa membuat penontonnya merasa lebih dekat, fans atau bukan fans. Berisi “lirik” yang selama ini kita tidak ketahui, sekaligus akses “ke balik panggung”, mengenal sosok idola bukan sebagai orang yang sering kita lihat di televisi/panggung, tetapi sebagai manusia.

Jarang ditengok, bukan berarti kita tidak punya rockumentary atau semacamnya, ada tapi tidak banyak orang yang tahu, karena kebanyakan bukan dilemparkan ke layar besar bioskop, melainkan untuk konsumsi rumahan alias DVD alias “lo bisa nonton sambil tiduran atau makan nasi padang”. Band cadas “Seringai” dan “Burgerkill” punya film dokumenternya masing-masing, “Generasi Menolak Tua” dan “We Will Bleed”, keduanya memilih jalur home video. Tak tayang di bioskop bukan berarti kualitasnya kacangan, justru terkadang film bioskop kebanyakan jualan “kacang busuk” hahahaha. Dua rockumentary itu pun sudah berada pada jalur yang benar walau kemasannya memang nyeleneh. Tahun 2010, kalau saya tidak salah ingat, ada satu film dokumenter musik yang menyita perhatian saya, sayang lagi-lagi tak masuk ke bioskop, hanya dibawa keliling untuk ditayangkan dalam format “layar tancap” atau di bioskop-bioskop alternatif. “Metamorfoblus” itu judulnya, film yang menyorot kelompok band “Slank” dan para Slankers-nya, (sebutan penggemar Slank), menjabarkan kisah Bim-Bim dan kawan-kawan tak lagi dalam ruang lingkup status mereka sebagai “selebritis”, melainkan cerita di balik nama besar Slank, kehidupan mereka yang justru lebih merakyat. Iya, band besar dibuatkan filmnya memang potensinya lebih besar untuk ditonton banyak orang, menurut saya sah-sah saja, asal masih dalam koridor “bikin yang bener”, pengen filmnya balik modal dan untung banyak, wajar itu. Termasuk membuat dokumenter tentang “Noah”, band yang sebelumnya pernah kita kenal dengan nama “Peterpan”. Ah satu lagi rockumentary dari negeri sendiri, tentu saya respon dengan senyum karena “langka”.

Tentu saya familiar dengan lagu-lagu “Peterpan” dulu, sebelum bermetamorfosis menjadi “Noah”, Ariel dan kawan-kawan bisa dibilang ada dimana-mana. Bohong jika saya bilang tidak pernah tahu lagu-lagu mereka, tapi saya tak terhitung fans, walaupun lagunya pernah ada dalam playlist dan harus diakui pernah memilih lagunya untuk dinyanyikan di tempat karaoke. Siapalah tak kenal “Peterpan” dan sang vokalisnya Ariel (Nazril Irham) yang kemudian tersandung kasus yang tak mengenakkan itu. Setelah berganti nama menjadi “Noah” dan sedang siap untuk kembali berada di puncak kesuksesan blantika musik tanah air, masalah bertubi-tubi menghampiri dan “Noah” pun sempat ambruk. Kisah jatuh itu akan menjadi bagian dari curhatan “Noah” dalam film dokumenter mereka—arahan sutradara “Catatan Harian Si Boy”, Putrama Tuta—bertajuk “Awal Semula”. Kita akan sekali lagi diperkenalkan siapa Ariel dan kawan-kawan, tak hanya mencurahkan suka-suka doang tetapi juga duka. “Awal Semula” sudah berada di trek yang menurut saya benar, kita diingatkan kembali kejadian-kejadian di masa lalu, lewat footage demi footage yang merangkum perjalanan “Noah”, sampai akhirnya bisa seperti sekarang. Curhatan di “Awal Semula” tak hanya menyorot satu-persatu personil, tapi juga orang-orang disekeliling “Noah”, dari kru sampai para fans. Tanpa pakai topeng, “Noah” bercerita apa-adanya, tidak melulu soal serius, seperti penyakit yang diderita salah-satu personilnya, David sang keyboardist, tapi juga kelakuan-kelakuan kocak masing-masing personil juga jadi hiburan tersendiri.

Dramatisasi di “Awal Semula” yang kemudian menurunkan level keasyikkan film ini yang sudah dikarang dari menit awal, apalagi momen-momen di penghujung film yang rasanya terlalu dibuat-buat. Seperti sebuah konser, tapi encore-nya tak memainkan lagu yang ditunggu-tunggu, padahal penyusunan daftar lagu sudah asyik, pas mood-nya, sayang tak berasa begitu sampai di akhir. Namun Putrama Tuta sudah menyajikan sebuah kisah yang menarik, lewat potongan-potongan wawancara dan footage yang dirajut dengan asyik, walau di beberapa bagiannya terkesan too much dan berulang, tapi overall saya begitu nyaman saat mengikuti perjalanan Noah di “Awal Semula”. Pemilihan soundtrack pun saya akui jempolan karena menyemplungkan lagu-lagu yang tak familiar di kuping saya, kok? Seperti yang saya singgung di paragraf awal, saya lebih memilih mengetahui apa yang saya tak ketahui dan mendengar apa yang belum pernah saya dengar. Jelas selain berisi informasi yang bisa diakses orang banyak, “Awal Semula” juga berisi “lirik” yang selama ini kita tidak ketahui, sebuah “lagu” yang tak pernah di-publish oleh Noah, itu yang saya cari di sebuah rockumentary. Sebagai orang yang mengaku bukan fans Noah, “Awal Semula” memberikan saya perspektif baru tentang band tersebut, dari yang hanya tahu menjadi lebih kenal, dari yang hanya “siapa sih itu Noah” menjadi “hebat juga yah Noah!”. Noah bukanlah band yang memilih cara instant hanya untuk bisa tenar…sesaat, tapi band yang menikmati kesuksesannya karena hasil kerja keras dan perjuangan panjang, untuk itu saya salut.