“Untuk urusan setting dan menciptakan atmosfir creepy, film horor kita biasanya tidak kalah dengan film-film horor Asia lainnya, jeleknya kalau sudah keseringan memunculkan penampakan, padahal horor bukan soal seberapa sering hantunya nongol dan membuat kaget penonton…”, itulah jawaban saya ketika di-interview oleh sebuah majalah mengenai film horor Indonesia. Tanpa hantunya narsis pun, film horor macam “Pocong 2” misalnya, mampu menghadirkan kengerian walau tak banyak adegan pocong meloncat-loncat, mampu membuat nyali mengkerut sebelum penampakan yang sebenarnya muncul, berkat setting yang tepat. Rudy Soedjarwo tahu betul memanfaatkan gedung apartemen menjadi medium untuk meneror penonton, setiap sudutnya diubah menjadi mimpi buruk, bisa dibilang kemunculan pocongnya sendiri adalah “bonus”. “Hantu” dan “Keramat” adalah contoh film horor lokal yang juga saling berbagi kesamaan, kedua film tersebut sanggup bermain-main dengan ketakutan kita, bikin bergidik berkat atmosfirnya yang dibangun begitu apik. Rasanya ingin tekan tombol pause saja ketika nonton karena pikiran ini tak tahan dibayang-bayangi yang enggak-enggak (cemen).

Penyakit tidak percaya diri memang sering menjakiti film horor kita, selain juga wabah horor mesum yang tidak ada habis-habisnya menggerogoti wajah sinema Indonesia. Film setan yah setannya harus lima menit sekali muncul, jangan lupa background musik dan scoring-nya harus benar-benar berisik, setidaknya kalau setannya gagal menakuti, musik tersebut bisa membuat kuping penonton pecah. Padahal sekali lagi horor bukan soal apa yang dilihat dan didengar, namun juga apa yang kita rasakan ketika menonton. Nah, kebanyakan film horor Indonesia yang belakangan muncul justru skip detil-detil tersebut, malah tidak peduli mau penonton merasakan apa pas nonton, yang penting ada setannya. Belum lagi soal cerita, ngomong-ngomong cerita di film horor, saya sebetulnya tidak mau banyak mempermasalahkan—bikin takut saja sudah bersyukur hahahaha. Kalau cerita bagus tapi horornya melempem juga sama saja bohong kan. Jadi tinggal memilih, mau horornya atau ceritanya yang bagus, pasti pilih keduanya bagus, tapi sebuah film horor pun tidak ada yang sempurna. Bukan tidak ada tapi sangat jarang dan bisa dibilang langka akhir-akhir ini, apalagi melirik ke film horor lokal.

“Kemasukan Setan” sebetulnya sebelas-dua belas dengan “Tali Pocong Perawan 2”, film horor yang dilihat sebelah mata oleh saya. Bukan tanpa alasan sih, yang satu memang terkesan film horor esek-esek, kemasannya memang menunjukkan ke arah sana, dengan segala macam jualannya yang mengobral keseksian pemain wanitanya. Namun dibalik kemasan “murahan” tersebut, Tali Pocong Perawan 2 justru mampu menampar balik lewat horor-horor-annya. Horornya walau masih serba kurang, tapi di beberapa bagian sanggup menghadirkan sensasi yang saya tak pernah rasakan lagi di bioskop ketika nonton film horor Indonesia. Jalurnya sudah benar, hantunya jarang dimunculkan, mampu memanfaatkan atmosfirnya, sayang tidak percaya diri, terlalu banyak “jualan” yang tidak perlu. “Kemasukan Setan” beda lagi kasusnya, jujur saya malah tidak tertarik begitu melihat nama Muhammad Yusuf disana, saya masih trauma dengan “Jinx” (2010), walaupun di film berikutnya, “Tebus”, Yusuf menebus dosanya. “The Witness” saya tak begitu suka. Sialnya, niat untuk menonton di bioskop tidaklah kesampaian, setelah tahu “Kemasukan Setan” ternyata dapat respon yang cukup positif dari teman-teman yang saya percayai pendapatnya soal film, seperti biasa filmnya keburu “turun”.

Setidaknya saya kemudian bisa menonton “Kemasukan Setan” lewat DVD, iyah akhirnya saya bisa membuktikan apa yang dibilang teman-teman saya itu benar. Benar kalau film ini ternyata tak seperti yang saya bayangkan, kalau ditanya apa filmnya seram, saya akan mengangguk sambil tersenyum. Oke, untuk sebuah film berdurasi 90 menit, saya bisa bilang separuhnya efektif sedangkan separuhnya lagi enggak, kebanyakan adegan-adegan yang dipanjang-panjangkan tapi fungsi ke ceritanya tidak bisa saya tangkap dengan jelas. Paruh pertama memang akan membuat siapapun untuk diuji kesabarannya, apalagi film hanya akan diisi oleh penampakan Aldi Taher yang bertelanjang dada (hampir) sepanjang film. Namun kesabaran tersebut sepadan begitu “Kemasukan Setan” melompat ke paruh ke-2, film ini baru mulai memperlihatkan gregetnya. Terima kasih dengan kepedulian Muhammad Yusuf untuk tidak malas membangun atmosfir yang diperlukan, film horor yang satu ini jelas tidak asal mengandalkan penampakan, tapi membiarkan penonton juga larut dalam suasana yang tidak mengenakan, atmosfir yang begitu mengganggu, feel yang saya butuhkan untuk kemudian paranoid duluan sebelum penampakan yang sesungguhnya muncul. Muhammad Yusuf saya akui memiliki cara yang efektif untuk menakut-nakuti, walau kemudian di beberapa bagiannya seperti kebingungan dan terseok-seok untuk mem-blend cerita dan horor. Tapi, “Kemasukan Setan” sekali lagi mampu membuat saya tersenyum lebar, tentunya setelah sukses ditakut-takuti, apalagi 15 menit sebelum film berakhir, sebuah uji nyali yang memaksa saya melambai-lambaikan tangan, tanda menyerah. Brengsek!!