“Jika karpet lift berganti dua kali, aku akan menjumpaimu di tempat ular saling berlilitan pada tongkatnya, saat Proklamasi dibacakan…”, kira-kira seperti itulah kode yang diberikan Adriana (Eva Celia) kepada Mamen (Adipati Dolken), ketika mereka dipertemukan di lorong sebuah perpustakaan. Secarik kertas berisi teka-teki tersebut harus Mamen pecahkan, kalau dia mau bertemu lagi dengan gadis impian, Adriana. Tidak mudah memang, bagaikan membongkar teka-teki letak sebuah harta karun, seperti yang dilakukan oleh Nicolas Cage di film “National Treasure” (2004), lompat dari lokasi yang satu ke lokasi lainnya, menelusuri petunjuk demi petunjuk sekaligus memahami sejarah dibaliknya. Bedanya tentu saja apa yang dicari di “Adriana”, film garapan Fajar Nugros, yang sebelumnya membesut Cinta Brontosaurus ini, bukanlah harta dalam bentuk emas permata, namun harta berbentuk hati. “Adriana” memang dari awal adalah film romansa, hanya bungkusnya saja yang seolah-olah ini adalah film petualangan ala National Treasure, saya jelas dibuat tertarik. Karena jarang-jarang film Indonesia bertema cinta-cinta-an dikemas seunik “Adriana”, dipasangkan dengan tema petualangan mencari “harta”, bermain-main teka-teki dan menapaki sejarah beberapa patung di Jakarta yang selama ini mungkin hanya sempat kita lewati tanpa tahu cerita di balik patung tersebut, patung pancoran misalnya.

“Adriana” itu bisa disebut langka, karena biasanya untuk film sejenis saya dan penonton film Indonesia kerap disuguhi film cinta berbumbu menyek-menyek berasa tahi kucing. “Adriana” setidaknya menciptakan kesan awal yang baik dan potensinya begitu menjanjikan untuk jadi film yang menarik. Layaknya momen ketemuan antara Adipati Dolken dan Eva Celia di Perpustakaan Nasional, paruh pertama juga cukup berkesan, ada yang membuat saya tertarik begitu Adriana di film ini mulai “iseng” melempar teka-teki. Tak hanya Mamen ataupun kawannya Sobar (Kevin Julio) yang kemudian terlihat “terjebak” dengan teka-teki Adriana, tanpa sadar saya juga ikut-ikutan mencoba memecahkan kode, saya juga tertarik untuk menemukan Adriana, walaupun ujung-ujungnya mengarah ke jalan buntu. Saya pikir gila juga nih cewek bernama Adriana, mau tahu dia dimana saja pakai ngasih-ngasih teka-teki yang susahnya minta ampun. Tapi setelah itu saya sadar sesuatu yang dapatnya susah, biasanya sih lebih sulit dilupakan, tidak mudahlah untuk dilepaskan, begitu juga untuk mendapatkan yang namanya cinta. Adriana, jelas tahu bagaimana membuat permainan “kejar daku kau kutangkap” menjadi bukan sekedar permainan untuk menjerat laki-laki pilihannya, tapi memberikan sesuatu yang lebih menarik dengan beragam teka-teki bikin pusing. Sekali lagi ya untuk tahu siapa cowok yang benar-benar mencintainya dengan tulus, dikerjain dikit tidak apa-apalah. Untuk paruh awal ini, Fajar Nugros masih tahu inginnya “Adriana” mau dibawa kemana, saya juga masih bisa menikmati cerita.

Tibalah pada bagian yang membuat saya mengkerutkan dahi, “Adriana” yang di paruh pertama tampak mengasyikkan, berbalik menyebalkan kala melompat ke paruh kedua. “Adriana” seperti kehilangan triknya untuk membuat penontonnya bertahan, semua triknya bisa dikatakan sudah dikeluarkan di paruh awal, paruh selanjutnya pun hanya mengulang-ngulang dan berputar-putar. “Adriana” seolah terlalu fokus pada teka-teki, kemudian terjebak pada teka-tekinya sendiri. Tanpa ingin melakukan hal yang lain kecuali bermain teka-teki dan teka-teki, akhirnya elemen-elemen lain mulai terlupakan, walaupun ada itikat baik untuk mengajak kita untuk lebih kenal dengan karakter-karakternya, dengan adegan-adegan kilas balik. Tapi saya pikir, itu belumlah cukup untuk memberikan karakter-karakter di “Adriana” sebuah latar-belakang yang layak, kita hanya tahu sosok Mamen, Sobar dan Adriana sendiri dari kulitnya saja, tidak banyak waktu untuk memberi perkenalan lebih dalam. Mamen itu sebetulnya kuliah apa? lalu kenapa Sobar tuh baru sekarang ikut-ikutan mencari Adriana, kalau memang dia katanya cinta, tak ada background story yang menceritakan dia pernah mencari Adriana. Detil-detil kecil seperti itu terlupakan, pengetahuan tentang siapakah itu Mamen, Sobar dan Adriana dipersempit ruangnya, perkenalannya begitu instant dan jangan salah ketika mereka juga pada akhirnya mudah untuk dilupakan. Penyakit di film kita, yang inginnya selalu mempermudah semuanya, termasuk memperjelas karakter dalam film untuk tak hanya numpang lewat. Sayang sekali.

Untuk menutupi kekurangan tersebut, “Adriana” memang punya bermacam trik, salah-satunya menghadirkan Eva Celia yang membuat saya betah berlama-lama menghabiskan 107 menit durasi film (hahahaha). Jakarta sebagai latar-belakang cerita berlangsung pun dimanfaatkan betul untuk tak saja jadi hiasan, tapi juga penyambung rasa, menghantarkan rasa yang ingin pembuat film inginkan ketika penonton melihatnya. Apalagi ketika rasa itu dimanipulasi oleh sentuhan magis sinematografer handal macam Yadi Sugandi, yang selalu bisa membuat film-film Indonesia menjadi lebih indah, ketika dia yang merekamnya. Tak hanya mata ini dimanjakan, tapi ada rasa yang bergejolak ketika visual-visual tersebut tampil di depan mata. Wajah Jakarta dipotret menjadi tak hanya cantik tapi juga misterius, seperti mewakili karakter Adriana yang juga punya penampakan serupa. Jakarta yang sebenar-benarnya Jakarta memang disembunyikan di film ini, wajah yang biasa kita lihat dikaburkan, karena “Adriana” pun menurut saya berada di dunia yang berbeda dengan kita, bisa dibilang Jakarta versi alternate universe, makanya karakter-karakternya pun wajar ketika terkesan jauh dari believable. Menengok lagi film-film garapan Fajar Nugros, saya akui, baru kali ini lewat “Adriana” saya bisa dibuat tertarik dengan formula cerita yang unik, walaupun masih terganggu dengan caranya mengisahkan “Adriana” yang diadaptasi dari novelnya sendiri. Petualangan Nugros memang tak sempurna, tapi setidaknya saya salut dia masih mau membuat sesuatu yang berbeda dan di beberapa bagian saya pun terhibur.