Jauh sebelum mengenal film-filmnya, saya tahu nama Rob Zombie memang dari karya musiknya, termasuk sewaktu dia masih jejingkrakan di “White Zombie”, ya sampai akhirnya band tersebut bubar di tahun 1998. Untuk urusan musikalitas, saya bisa dibilang mendewakan nama Rob Zombie, musik bernuansa industrial-metal-nya sudah seperti ayat-ayat dari kitab suci yang “mendamaikan”. Mungkin karena alasan itulah, jika sudah berbicara soal filmnya saya sulit untuk mereview secara objektif (biasanya juga “terserah gw”), ujung-ujungnya saya selalu terlihat agak membela film-filmnya dari orang-orang yang bilang jelek. Well, tapi diakui Rob Zombie memang bukan sutradara yang konsisten untuk urusan kualitas dan cerita, dalam film-filmnya bisa sangat terlihat jelas egonya lebih sering merusak filmnya sendiri. Gaya “semau gw” Rob memang tidak selamanya berujung negatif pada filmnya, tapi sudah saatnya dia setidaknya bisa menahan untuk tidak asal “masturbasi” dan “membuangnya” kemana-mana. “Easy Meeeen!” (kalau kata AA Gatot, eh Azrax) toh ketika Rob bisa mengabaikan egonya, hasilnya bisa terlihat jauh lebih baik, tengok saja “The Devil’s Reject” yang menurut saya (sampai saya menulis review ini) adalah film terbaik Rob Zombie—saat dia tidak giting.

Kecintaan Rob Zombie pada film-film horor tahun 70-an dan awal 80-an—bisa dilihat di “House of 1000 Corpses” yang merupakan debut film panjangnya pada tahun 2003—tampaknya kembali jadi referensi Rob di “The Lords of Salem”, film terbarunya yang sekali lagi mengusung tema pemuja setan. Ngomong-ngomong, walaupun berjudul sama, film ini tidak ada sangkut pautnya dengan salah-satu lagu Rob di album ketiganya “Educated Horses” (2006), satu-satunya yang bisa dikait-kaitkan hanyalah tema penyihir-penyihir Salem tersebut. Well, membahas film Rob memang akan selalu mengajak saya untuk melirik sebentar soal musik, tidak saja karena Rob sendiri adalah seorang musisi (bak dewa buat saya), tapi semata-mata karena Rob juga selalu bisa menyelipkan playlist asyik dalam setiap film-filmnya. Saya tidak akan pernah bisa melupakan adegan klimaks Baby, Otis dan Captain Spaulding di “The Devil’s Reject”, diiringi tembang “Free bird” dari band jadul Lynyrd Skynyrd. Begitu menghipnotis. Kali ini dibantu rekan se-band, John 5 (ex Marilyn Manson), “The Lords of Salem”-pun tidak saja jadi sajian yang “memabukkan” lewat visualnya, tapi juga ketika musik-musik bikinan John 5 itu mulai merangkak masuk ke dalam telinga. Sesuai dengan tema yang diusung oleh film ini, musiknya pun diracik sedemikian rupa untuk ikut menyihir, tanpa sadar ketika alunan The Lords Theme diperdengarkan, saya tiba-tiba saja sudah berada di depan televisi, berdiri dan berdansa liar tak karuan hahahaha.

Tidak perlu giting untuk menikmati apa yang disodorkan “The Lords of Salem”, daftar soundtrack-nya sendiri sudah cukup untuk membuat saya mabuk, dalam artian yang sesungguhnya. Termasuk ketika “Requiem” milik Wolfgang Amadeus Mozart bergema, menciptakan sebuah atmosfir tidak mengenakan, seakan-akan saya sedang dirasuki sesuatu dan jiwa saya diseret untuk dijadikan tumbal. Iyah, untuk urusan beginian, maksud saya musik, Rob sudah melakukan tugas dengan baik (seperti biasanya), namun itu tidak menjadikan “The Lords of Salem” benar-benar jadi film terbaiknya. Esekusinya lagi-lagi tersandung oleh gaya sok-asyik-semau-gw seorang Rob Zombie, penyakit lamanya kambuh di film ini, walaupun tak parah-parah amat. Okay, walau begitu ego Rob Zombie tak benar-benar bikin filmnya jadi rusak total, “The Lords of Salem” toh berada di tengah-tengah antara film-film gitingnya dan film dia tidak giting. Setidaknya, di film ini dia masih niat bercerita sambil kemudian sibuk (lagi) men-crot-kan visual-visual disturbing dan gambar-gambar aneh dimana-mana. Jadi ketika dia sadar sedang menceritakan Heidi (Sheri Moon Zombie) dan rekaman misterius dalam bentuk piringan hitam, yang ternyata berkaitan dengan sebuah kutukan para penyihir Salem, bersiaplah ketika Rob seketika itu juga tanpa warning apapun menjejalkan gambar-gambar aneh. Sebagian imajinasi liar Rob yang diselipkan diantara cerita memang diakui mampu mempertegas apa yang ingin disampaikan film ini, betapa kacaunya sang tokoh utama pada saat sudah dipengaruhi oleh musik dari sebuah grup bernama The Lords tersebut. Maksud dan tujuan masih jelas, bikin kita ikut gila, terganggu dan giting bareng.

Beberapa gambar menyimpang, nyeleneh, tak bermoral dan bejat bin jahanam yang nantinya berkeliaran di “The Lords of Salem” terbilang  masih tetap relevan dengan cerita, tujuannya menunjukkan “mimpi buruk” yang sedang dihadapi dan dialami oleh Heidi. Sedangkan sisanya hanya visual-visual sok asyik Rob, gambar tambal-sulam untuk menuh-menuhin durasi yang keberadaannya tak jelas, well kecuali hanya untuk membuat saya kebingungan, visual numpang lewat saja kok. Bagaimana pun Rob Zombie tetaplah Rob Zombie yang saya kenal (sok kenal sih) dimana dia mampu memvisualkan apa yang sutradara horor lain tak bisa. Walau tidak sesuai ekspektasi awal, walaupun orang-orang yang bermain di film ini tak tampak cemerlang dalam berakting, termasuk Sheri Moon Zombie yang terlihat kosong melompong tak bernyawa, “The Lords of Salem” setidaknya terlihat asyik dalam urusan menyeret saya ke dalam mimpi buruk. Terkesan film yang tampak ingin menunjukkan “gw bisa loh bikin film kaya gini”, Rob Zombie toh nyatanya bisa mempertanggung-jawabkan apa yang dia buat, semua tidak asal jadi, visinya yang sinting tidak disia-siakan begitu diterjemahkan dalam bahasa gambar. Yah, terlepas dari ego dan sok asyiknya Rob, “The Lords of Salem” tetaplah film yang tahu bagaimana cara mengeja B-R-E-N-G-S-E-K dengan benar, hasilnya memang tak sesuai bayangan tapi (persetanlah) saya menyukainya.