Kalau “Iron Sky” menceritakan sepasukan Nazi-Jerman yang mengungsi setelah kalah perang dan ngumpet di bulan selama bertahun-tahun, sambil menyiapkan armada perang baru untuk pulang kampung menaklukkan bumi. Di film buatan Richard Raaphorst, lagi-lagi status Nazi sebagai “villain” di Perang Dunia ke-2, sekaligus momok menakutkan mewakili lambang kejahatan, dieksploitasi dalam wujud “Frankenstein’s Army”. Melirik ke belakang, ide film ini sebetulnya hasil comot dari proyek Richard Raaphorst yang sudah mati. Sayangnya, proyek yang diberi judul “Worst Case Scenario” tersebut harus kandas di tengah jalan karena masalah pendanaan, padahal syutingnya sendiri sudah berjalan pada tahun 2004 dan sempat meliris dua teaser yang menjanjikan. Dari sisa-sisa abu “Worst Case Scenario” inilah kemudian lahir “Frankenstein’s Army”. Well, dari segi produksi, jelas film yang kebanyakan mengambil lokasi syuting di Republik Ceko ini punya batasan dalam urusan bujet, banyak adegan “akal-akalan” hasil rekayasa Richard Raaphorst yang fungsinya untuk menekan bujet tapi tetap tidak terlihat seperti film murahan. Entah apa jadinya jika “Frankenstein’s Army” punya lebih banyak pasokan dana, tapi untuk sekarang saya sudah puas dengan apa yang ada, tanpa bujet yang memadai pun, tidak membatasi kesintingan Richard Raaphorst untuk membuat film yang awesome.

Berangkat memikul misi untuk menolong sesama comrade (sebutan teman atau rekan pasukan di Rusia), sekelompok tentara merah Rusia berkelana menyisir sisi timur Jerman berbekal sebuah kordinat yang dikirimkan oleh pasukan Rusia bersandi “Tiger Bear 303”. Misi yang awalnya terkesan normal, kemudian balik berubah menjadi sangat aneh, tak pernah menemukan jejak pasukan yang ingin ditolong, Dimitri dan kawan-kawan justru menemukan mahkluk-mahkluk yang mengerikan. Berbadan manusia tapi sudah ditempeli oleh mesin dan bermacam-macam alat sebagai senjata, dari gergaji mesin sampai baling-baling pesawat. Ya, usut punya usut mahkluk-mahkluk ini adalah hasil eksperimen seorang dokter gila bernama Victor Frankenstein. Saya begitu maklum ketika Richard Raaphorst menyajikan adegan perang-perangan yang seadanya, sekali lagi menengok bujet yang sudah pasti pas-pasan. Sebagai sebuah latar belakang cerita, itu sudah lebih dari cukup, lagipula “Frankenstein’s Army” bukan mengarah kesana, bukan film perang, tapi horor yang datang dari teror mahkluk-mahkluk steampunk cap dari neraka hahahaha. Sepertiga awal, film ini memang hanya putar-putar mencoba membangun atmosfir perang, sambil memperkenalkan masing-masing karakter tentara Rusia yang nama-namanya tidak mudah diingat, Dimitri, Sacha… tuh kan saya saja lupa. Awal-awal film benar-benar dimanfaatkan si Richard Raaphorst untuk mengeksplorasi lanskap Ceko yang disulap menjadi medan perang sebelah timur Jerman, yang masih dijaga oleh tentara-tentara Nazi. Walaupun tidak bisa memperlihatkan suasana perang yang megah, setidaknya Richard Raaphorst tak asal produksi, tata kostum dan aksesoris perang-perangan macam persenjataan diperhatikan betul oleh film yang memiliki durasi tidak sampai 90 menit ini.

“Frankenstein’s Army” memang tidak akan sekonyol “Iron Sky” yang sejak awal sudah diniatkan untuk jadi film bego-begoan. Dengan kemasan mokumenternya, Richard Raaphorst justru ingin membuat filmnya seserius mungkin, yah sesekali juga tolol-tololan tapi tak keterusan. Fokus film ini tetap untuk menghadirkan sebuah horor dengan level kengerian yang baru, asalnya tentu saja dari ciptaan iseng sang ilmuwan sinting. Dengan perpaduan lokasi yang tepat, sebuah bunker bawah tanah yang ternyata berisi beraneka-ragam makhluk-makhluk aneh, film ini saya akui sukses menyampaikan niatnya untuk meneror penonton. Terlepas dari minimnya bujet, Richard Raaphorst masih mampu untuk mengakali lokasi yang ada jadi tempat bermain yang efektif dan efisien. Terbukti saya beberapa kali dibuat ngeri sekaligus olahraga jantung ketika monster-monster si dokter itu muncul, dengan senjata yang diarahkan kesana-kemari di ruangan sempit. Belum lagi lorong-lorong dengan cahaya ala kadarnya itu sanggup menciptakan sebuah atmosfir yang tidak menyenangkan, dosis claustrophobia yang mematikan. Jadi, disarankan tidak ditonton mereka yang memang takut ruangan gelap dan sempit seperti yang disodorkan di film ini. Esekusi Richard Raaphorst pun tepat sasaran, dia tahu kapan melepaskan monster-monster bangsatnya dan menyeret-nyeret adrenalin penonton sampai ke level keasyikan yang maksimal.

Membungkus “Frankenstein’s Army” menjadi sajian mokumenter tampaknya sih pilihan yang tepat, horor dalam film Richard Raaphorst jadi semakin real walau kita tahu sejak awal semua bohong-bohongan. Dengan dukungan kamera oldskul yang sok asyik, makin menambahkan kesan historik di film ini, apalagi ditambah efek-efek yang menjadikan “Frankenstein’s Army” layaknya sebuah dokumenter perang dunia ke-2 yang baru saja direstorasi. Yah, seperti saat menonton film dokumenter “The Second World War in Colour” tapi disini pasukan Nazi diubah jadi monster-monster mengerikan berjari-jari pisau. Untuk sebuah film dengan gaya mokumenter, saya akui Richard Raaphorst mampu memanipulasi penonton untuk percaya dengan apa yang dia tampilkan, tidak berlebihan dan membiarkan semua terekam apa adanya. Melalui kamera yang bergerak-gerak kemana-mana inilah semua tensi ketegangan dibangun se-real-mungkin, dan di beberapa scene film ini mampu memaksimalkan terornya dengan baik. Dengan tambahan aneka macam adegan berdarah-darah yang cukup menjijikan, “Frankenstein’s Army” jelas tidak pernah main-main untuk mengajak kita bersenang-senang, bermain bersama “mainan-mainan” Victor Frankenstein. Terlepas dari ceritanya yang, iya saya akui cukup dangkal, film ini telah menjalankan misinya dengan sukses, ah bukannya dari awal saya memang menonton film ini bukan karena cerita. Untuk sebuah film yang punya judul “Frankenstein’s Army”, peduli setan dengan cerita, kehadiran monster-monster dengan desain luar biasa sinting itu sudah cukuplah untuk mengantarkan saya ke tempat yang menyenangkan. Apapun hasil akhir film ini, semoga Richard Raaphorst tertarik untuk membuat sekuelnya.