Apapun alasan judulnya yang diganti, yang semula “Samudra Hotel” dipersingkat hanya “308”—katanya sih diprotes. Entah itu memang benar diprotes atau cuma kisruh dibuat-buat yang ujung-ujungnya promo terselubung, saya sebetulnya tak peduli-peduli amat. Toh, pada akhirnya isi filmnya yang saya permasalahkan, yah kenapa nga ikutan diprotes juga, filmnya bisa bikin goblok yang nonton. Saya tak sempat menonton “KM 97”, tapi “Rumah Kentang”, terlepas dari akting “horor” Shandy Aulia, saya masih bisa kasih respek sama beberapa adegan yang memang diniatkan untuk menakuti penonton—walaupun hasilnya impoten. Ok jika “308” pada akhirnya saya nilai buruk, Jose Poernomo bukan satu-satunya biang kerok, Riheam Junianti (Chika), yang bertanggung jawab dalam penulisan skrip, harus kena cipratan protes saya ini hahahaha. Dari opening-nya saja film ini saya pikir sudah salah langkah—warna hijau adalah salah-satu warna favorit saya, maunya biar sreg sama tema filmnya yang ngomongin Nyi Roro Kidul, namun pemilihan warna dan font benar-benar disaster, malah bikin sakit mata, belum lagi scoring-nya yang berisik-berisik tak jelas, mengoyak gendang telinga. Derita tak berhenti disitu, film yang berdurasi kira-kira dua jam ini nantinya memang seperti sebuah penderitaan tanpa akhir. Jika Shandy di “Rumah Kentang” terbilang parah, Shandy memperlihatkan akting terbaiknya di “308”.

Alkisah Naya (Shandy Aulia) yang baru saja lulus kuliah sedang dipusingkan oleh masalah keuangan, harus membiayai sekolah adiknya sendirian, sekaligus bayar tagihan yang menumpuk. Orang tuanya ceritanya sudah tidak ada. Saya sempat kaget, karena dari penampilan Naya—apalagi adegan awal dia pakai baju bagus dengan anggunnya membawa payung, dihiasi guyuran hujan, saya tidak mengira kalau dia miskin. Come on! Naya sampai harus ngalah sama adiknya soal makan, rela tidak ikutan makan mie instant saking tidak punya uang lagi, sisa uang habis untuk bayar tagihan ini-itu. Walaupun tidak punya uang lagi untuk makan, yang penting Naya masih punya blackberry untuk nelpon, masih punya pakaian bagus, baju tidurnya pun mengkilat. Lebih baik kelaparan ketimbang kelihatan seperti gembel. Beruntung Naya belum terpikir untuk menjual barang-barang berharga untuk beli dua bungkus mie instant, jadi kan nanti bisa makan berdua adiknya. Kasihan Naya sampai kurus begitu nahan lapar, tapi masih bisa beli pulsa, masih bisa gaya, sudahlah. Singkat cerita, beruntung Naya masih punya teman-teman yang baik, menolongnya untuk mendapatkan pekerjaan di sebuah hotel bernama Samudra Hotel. Tanpa ada curiga—yah kapan lagi bisa langsung kerja nga pake ribet bawa CV dan tetek bengek diwawancara—Naya akhirnya mau kerja disana, walaupun banyak hal ganjil di Hotel tersebut, salah-satunya dilarang sembarang masuk ke kamar 308. Saya pun mau-maunya ikut menginap di Hotel itu.

Saya memang layaknya konsumen yang tertipu, menginap di Hotel yang ternyata “burik”, tidak nyaman dan bukannya pulang dengan menjinjing senyum ganteng, malah sebaliknya uring-uringan dengan wajah cemberut. Saya tidak serta-merta tunjuk hidung Jose Poernomo, menyalahkan dia sepenuhnya, dengan source yang memang kacau, Jose masih bisa mengulik filmnya untuk punya beberapa momen creepy, tidak banyak tapi cukuplah untuk membuat saya penasaran dan akhirnya tidak tertidur pulas. Orang yang perlu “ditendang” itu Riheam Junianti, skripnya benar-benar brilian, membuat saya jadi betah hanya untuk menunggu ketololan macam apalagi yang akan dihadirkan jalan ceritanya. Belum lagi dialog cerdas di film ini yang membuat saya seperti orang diguna-guna, sangat memperhatikan apa yang karakter-karakternya bicarakan, fokus tak berkedip dan buka kuping lebar-lebar agar tidak ketinggalan satu pun dialog bodohnya. “308” tak lagi jadi film yang menarik karena horornya, saya sudah ikhlas filmnya tidak seram sejak paruh pertama, apalagi setelah kemunculan Ki Kusumo. Apa yang kemudian jadi menarik, justru kebodohan-kebodohan yang film ini sajikan, keram otak deh.

Kalaupun ada yang bisa dipuji dari “308” adalah camera work-nya yang di satu-dua adegan mampu bikin saya bilang “anjrit, keren juga!”, sisanya saya tak ada habisnya memaki-maki dalam hati. Bagusnya film ini yang sedikit itu, sayangnya harus ngalah untuk dihalang-halangi oleh keburikannya. Shandy Aulia yang tiap kemunculannya selalu dipoles make up tebal itu, jadi sorotan utama, tidak saja karena dia begitu piawai memainkan karakternya Naya yang dibentuk untuk jadi karakter bodoh, tapi juga ekspresi Shandy yang apapun momennya, wajahnya itu tak pernah berubah, mau sedang marah, mau sedang sedih, mau sedang takut, entahlah bagaimana kalau sedang nahan boker, ekspresinya datar saja. Well, lead actress-nya bukan satu-satunya yang berakting cemerlang, hampir semuanya tak satupun yang bisa menghadirkan akting yang semestinya, satu sama lain tampak bekerja sama untuk membuat saya depresi melihat mereka berakting. Termasuk Gilang Dirga yang berperan sebagai chef Dudi, karakter ke-2 paling mengganggu, maunya komikal tapi justru teramat sangat bodoh. Semua karakternya tidak ada yang bisa meyakinkan kalau mereka itu manusia—pengecualian untuk pemain cilik yang memerankan adik Naya, saya pikir akan ada twist kalau mereka alien atau dedemit penghuni hotel, ternyata memang sudah di-treatment seperti itu, bodoh tak tertolong lagi. Ketika KKD dan rumah produksinya yang dulu berlogo piramida katanya sudah move on dan tobat bikin film jelek, saya harusnya tidak perlu lagi khawatir setan-setan berwajah bubur basi akan menghiasi bioskop, si pawang sudah menyerah. Nyatanya, masih ada, diwarisi ke “308”, setannya jelek dan penempatan adegan dengan efek CGI bawah laut itu bikin muntah.