Setelah “Bandung Berisik” di bulan April kemarin, saya kembali menyambangi kota kembang, kali ini untuk menyapa Deftones yang dijadwalkan manggung pada 30 Mei 2013, di The Venue Concert Hall. Konser Chino Moreno dan kawan-kawan ini adalah pertemuan kali kedua saya dengan band yang baru saja ditinggal pergi pemain bass-nya (untuk selama-lamanya), Chi Cheng, rest in peace. Tidak seperti konsernya sewaktu di Jakarta—entah saya yang ketinggalan info atau bagaimana, berita kedatangan Deftones kembali ke Indonesia memang bisa dibilang tak seheboh di tahun 2011, promonya pun hampir “sayup-sayup”, infonya saja baru sampai ke telinga saya (baca: linimasa twitter) kira-kira 3 minggu sebelum hari-H. Sekali lagi mungkin saya saja yang telat tahu, well sudahlah, tidak penting untuk dibahas. Untuk band sekelas Deftones, apalagi salah-satu band yang bisa dibilang “saya tumbuh bersama Deftones”—layaknya Toy Story untuk film animasi—tentu saja bolak-balik Bandung pun akan saya hajar. Untuk musik yang saya sukai, untuk hobi, untuk Deftones, untuk menghormati Chi Cheng, saya rela walau pegal-pegal, pergi siang dan langsung pulang pada hari yang sama.

Berembel-embel tur untuk mempromokan album terbaru “Koi No Yokan”, konser yang dipatok harga 350 ribu rupiah ini, terbilang salah-satu event musik sejenis yang diakui di-organized dengan baik dan niat, terkesan rapih dari luar venue hingga di dalam area konser, termasuk pelaksanaan konser dan tetek-bengek teknisnya. Jujur nih, saya selalu salut ketika Bandung bikin acara, patut dijadikan contoh untuk kota-kota lain jika bikin konser-konser-an, tak terkecuali Jakarta. Saya puas walau harus melahap seratusan kilo untuk sampai ke Kota Bandung, thanks to teknologi yang namanya GPS dan kawan dari Bandung (@ariasparrow) akhirnya, orang yang buta jalanan Bandung ini sampai juga di lokasi—kesan pertama saya: “asyik juga tempatnya, cuy!”. Saya tiba sekitar setengah 6 sore, rintik-rintik hujan tidak mengurangi antusias saya dan ratusan orang yang terlihat sudah tidak sabar melihat Deftones beraksi. Untungnya, panggungnya di dalam gedung alias indoor, jadi tak perlu kuatir basah-basahan kaya di Bandung Berisik, atau konser outdoor lain: “Lamb of God”, misalnya. Kerumunan orang-orang terkonsentrasi di dekat pintu masuk, satu-persatu masuk dengan tertib macam antrian orang-orang yang mau salaman di kawinan—ngomongin kawin, ciee mau kawin yah.

Tiket diperiksa, tangan dicap—anyway cap-nya keren, hahahaha—badan digrepe-grepe petugas keamanan, uh saya merasa kotor oldsport, sampai di dalam saya disambut oleh Burgerkill. Sayangnya, saya agak telat masuk, jadi harus rela hanya menikmati basian outro dari suara gitarnya Kang Ebenz dan teriakan terima kasih dari Vicky. Burgerkill yang memang jadi opening act Deftones malam itu pun cabut dari atas panggung. Agak lama menunggu Chino dan kawan-kawan nongol dari balik pangggung, sekitar setengah jam sambil duduk, sampai akhirnya The Venue Concert Hall bergetar oleh geberan gitar Stephen Carpenter, hentakan drum Abe Cunningham, betotan bass Sergio Vega, diiringi oleh permainan apik keyboards dan turntables dari Frank Delgado, serta diikuti suara khas Chino Moreno mendendangkan “Diamond Eyes” (dari album berjudul sama yang rilis di tahun 2010). Tak banyak basa-basi, Deftones menghajar habis penonton dengan lagu-lagu andalan berikutnya yang tak kalah hits: “Be Quiet and Drive (Far Away)”, “My Own Summer (Shove It), dilanjut “Lhabia” yang ketiganya dari album “Around The Fur” yang rilis di tahun 1997. Setelah diajak nostalgia dengan sound oldskul Deftones era-era awal, termasuk “Knife Prty” dari album “White Pony” (2000) yang mengajak penonton bernyanyi bersama sekeras-kerasnya menyaingi suara sang vokalis, sambil berdansa liar, penonton yang sedari awal loncat-loncat, ada yang moshing, mengepalkan tangan ke udara, kemudian diajak mendengarkan lagu-lagu dari album teranyar: “Rosemary”, “Poltergeist”, “Tempest”, dan “Swerve City” yang videoclip-nya menampilkan landskap ciamik padang rumput sebagai latar seorang cewek yang asyik berkuda kesana-kemari.

Sangat disayangkan ada kendala di tengah-tengah konser, biasalah technical problem, suara bass Sergio tiba-tiba mati, bassist yang terkenal enerjik di setiap konser ini pun terpaksa improvisasi menemani Chino bernyanyi sambil joget-joget hahaha. Setelah itu show sempat ngerem sejenak, sambil menunggu perbaikan, agar tak mematikan mood penonton, Stephen yang selalu terlihat anteng di sebelah kanan panggung pun mencoba menghibur telinga penonton dengan melodi-melodi yang terdengar misterius, ditemani suara-suara magis yang dihasilkan oleh Frank yang sibuk dengan set turntables-nya. Ok tidak lama kemudian Chino muncul dan konser dilanjutkan, setelah permintaan maaf, Deftones kembali menyeret penonton untuk bersenang-senang dengan lagu: “Feiticeira” “Digital Bath”, “Elite” dan “Bloody Cape”. Tata lampu makin liar, aksi panggung semakin menggila dan penonton seakan tak pernah lelah dihajar oleh nomor-nomor sangar dari Deftones, headbanging berjamaah pun menemani lagu demi lagu. Chino yang memang tidak bisa diam, berusaha berinteraksi dengan caranya sendiri, mengajak penonton ikut bernyanyi dan sesekali turun dari panggung, mendekati penonton, dan naik pembatas, berdiri berbaur dengan penonton, keren. Walau Deftones tidak mainin lagu “Hole in the Earth” yang saya tunggu-tunggu, tapi tembang “Change (In the House of Flies)” sukses membuat saya dan sekitar ribuan penonton ber-sing-a-long-ria, membuat The Venue bergema dengan “I’ve watched you change…it’s like you neveeer had wings…ahhh ahh ahhh”. Kembali bernostal-gila, Deftones balik mengajak penonton menggila lewat album pertama mereka “Adrenalin” (1995)—“Bored”, “Root”, “Engine No. 9” dan “7 Words” tak hanya jadi encore pamungkas tapi juga membuat penonton yang sebelumnya terlihat “anteng” jadi bringas bak kesurupan. Walaupun “kentang” karena setlist-nya hanya 19 lagu, overall Deftones tampil seperti Deftones.