“Optatissimus, Optatissimus, Optatissimus, Optatissimus, Optatissimus”, semoga saya tak lagi salah menyebut judul film ini jadi optimus, optatimus, optasimus. Ya, judulnya bisa dibilang sulit untuk diucapkan, apalagi diingat—pendekatan yang langka dilakukan oleh sebuah film Indonesia, yang berani bermain-main dengan judul filmya, terakhir ada “What They Don’t Talk About When They Talk About Love”, dengan judul panjangnya. Pastilah ada alasan ketika si pembuat film agak nekat bikin judul seribet “Optatissimus”, apapun itu sah-sah saja, itu bagian dari sebuah proses kreatif juga. Well, mari move on dari hanya ngomongin judul saja, “Optatissimus” termasuk kategori film Indonesia yang tiba-tiba nongol, artinya tanpa ada basa-basi promo dan hype, tahu-tahu sudah ada di jadwal now playing. Film yang tidak “terdeteksi” buat penonton yang jarang online, bagi yang sering nengok-nengok ke website yang khusus menyajikan berita soal film Indonesia, atau yang aktif ber-twitter-ria, ceritanya beda lagi. Dengan judulnya yang cukup unik itu, saya jujur agak acuh dengan “Optatissimus”, apalagi setelah mengintip trailer-nya (versi unofficial) yang memperlihatkan hamparan padang rumput, di tengah-tengahnya terbentang jalan dan dua orang sedang berjalan menjauh.

Trailer dua menitan itu sebetulnya memberikan rangkuman akan seperti apa isi film yang dibintangi Rio Dewanto dan Nadhira Suryadi ini. Sepi dipenuhi dialog-dialog bermakna yang melelahkan. Mungkin saya hanya penonton tolol, dalam sebuah tontonan yang tak saya mengerti. Saya bukannya tidak bisa menikmati film-film seperti “Optatissimus”. Saya menyukai “Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Lives” dengan segala ke-absurd-an dan tampilan surreal, membungkus tema relijius yang terkandung dalam filmnya dengan tidak biasa. “Optatissimus” mengingatkan saya pada film Apichatpong Weerasethakul tersebut, walau tidak bakal seaneh “Uncle Boonmee”. Saya bisa menikmati “Tree of Life”, saya begitu mencintai “Amour”-nya Michael Haneke dan “Honey”-nya Semih Kaplanoglu. Toh jika kemudian saya tidak ingin (sok) mengerti “Optatissimus”, itu semata-mata karena saya tidak bisa menikmati “khotbah” Dirmawan Hatta, walaupun isi film ini maknanya baik dan pesannya bagus. Sebagus apapun isi khotbah sholat Jumat saya kadang tetap akan tertidur, dengan berbagai alasan. “Sepi” bukanlah alasan yang membuat saya kelelahan mendengarkan “Optatissimus”, tapi ketika film ini dengan seenaknya-asyik-sendiri menceritakan kisahnya, tanpa sesekali peduli untuk melihat sebentar ke arah penonton yang mungkin beberapa juga sedang asyik…asyik tertidur, saya termasuk yang beberapa kali terkantuk-kantuk.

“Optatissimus” bisa diumpakan seorang yang sedang presentasi, tapi asyik saja menghadap ke slide presentasinya, membaca apa yang tertulis pada slide, seolah audience tidak bisa membaca. “Optatissimus” terus saja berbicara, tanpa melihat balik ke penonton, interaksinya nihil dan ketika tidak ada emosi yang melekat, satu-satunya yang saya lirik adalah handphone, untuk melihat jam beberapa kali. Saya sudah tidak peduli dengan “Optatissimus”, sebelum menonton saya punya harapan filmnya tidak akan seribet judulnya, tapi saya salah. Film yang katanya diinspirasi kisah nyata ini sebetulnya mempunyai plot yang sangat sederhana, tapi “Optatissimus” tidak memilih untuk menceritakannya dengan cara yang juga sederhana, melainkan cara tersulit dan (sok) ribet. Saya menyukai film dengan gaya penceritaan yang ribet, kenikmatan tersendiri ketika penonton diajak untuk berpikir, tapi untuk orang yang juga menyukai film-film Transformers, sayangnya “Optatissimus” sulit untuk dinikmati, apalagi ketika paruh keduanya sedang sok bermain-main dengan dialog-dialog baku yang menjemukkan. Padahal saat awal film ini memulai berkisah, saya mengucap dalam hati, “kayaknya asyik”. Tapi ternyata…jauh dari kata asyik.

Menceritakan tentang Andreas (Rio Dewanto) yang sedang sedikit clash dengan Tuhan-nya, dan mencoba untuk “baikan”. “Optatissimus” banyak menghadirkan gambar-gambar indah, salah-satunya pemandangan Gunung Semeru. Tapi semua itu hanya hiasan yang mengaburkan betapa membosankannya film ini, saat kata-kata mengalir deras dan bermuara membentuk kalimat-kalimat baku, simbolik nan puitis, memaksa saya untuk mengerti apa yang sedang dinarasikan Andreas, sekaligus merasakan apa yang dirasakannya. Saya malah makin tidak mengerti dan hampa emosi. Jenuh bertumpuk dan keinginan untuk walk-out sebetulnya sudah menodong lama semenjak tengah film. Hanya rasa penasaran bagaimana “Optatissimus” berakhir yang membuat saya setia untuk tidak pergi, saya tidak mungkin meninggalkan film ini sebelum mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Pesan kebaikannya melimpah, tinggal dicomot satu-persatu, saya masih maklum dengan kemasannya yang agak preachy, yang tidak baik itu justru cara film ini menyajikan ceritanya yang terlalu ingin terlihat tidak biasa. Mungkin film ini tak cocok dengan saya, segmented? bisa dibilang seperti itu. Seperti yang saya bilang di paragraf sebelumnya (yang saya copy paste dari kicauan di twitter), mungkin saya hanyalah penonton tolol dalam sebuah tontonan yang saya tidak mengerti. Walaupun saya mengerti, “Optatissimus” toh tetap jadi tontonan yang tidak bisa saya nikmati. Percuma. Melelahkan.