Film bertema “jalan-jalan” (road movie) bisa dikatakan jarang diangkat ke layar lebar oleh film kita, salah-satunya ada “3 Hari untuk Selamanya” karya Riri Riza. Iyah yang sama-sama dibintangi oleh Adinia Wirasti (pemeran Karmen di “Ada Apa dengan Cinta?”), kali ini Adinia balik jalan-jalan di film, tidak sama Nicholas Saputra tapi ditemani oleh Prisia Nasution (Sang Penari). “Laura & Marsha” akan mengajak penonton travelling ke Eropa—dari Amsterdam ke Venice, tidak hanya melihat-lihat pemandangan tapi nantinya juga ikut transit melihat jatuh-bangun sebuah persahabatan, dari dua orang perempuan yang tak saja beda sifat, tetapi juga sudut pandang mereka melihat perjalanan mereka. Laura yang diperankan Prisia, awalnya ogah-ogahan meng-iya-kan ajakan sahabatnya, Marsha (Adinia), untuk ikut ke Eropa, sambil katanya mengenang kematian sang Ibu. Segala bujuk rayu sudah dilakukan, tapi Laura dengan segala alasannya, termasuk tidak bisa meninggalkan buah hatinya, tetap geleng kepala. Pada akhirnya sih, Laura yang sempat ditubruk oleh mobil dan koma, pergi juga bersama Marsha. Kalau tidak yah filmnya tidak mulai-mulai. Dilatari pemandangan indah kota-kota yang nanti dilalui oleh Laura dan Marsha, perselisihan yang sedari awal sudah ada semenjak sebelum berangkat, tetap setia menemani perjalanan mereka. Perselisihan kecil pun bertumpuk jadi sebuah konflik yang tidak asal numpang lewat.

Disebut film yang menyenangkan, “Laura & Marsha” memang sanggup membuat saya senang diajak jalan-jalan gratis (dengan modal tiket bioskop tentunya) ke luar negeri, ke Eropa pula. Girang seperti Marsha yang berteriak “Amsterdaaam!” ketika sampai di ibukota Belanda tersebut. Ditemani gambar-gambar indah, film ini begitu mudah membuat saya betah untuk nantinya selama 103 menit, tidak saja menemani Laura dan Marsha hinggap dari kota ke kota, tapi juga jadi teman curhat mereka, sekaligus jadi penonton ketika mereka ribut. Menyenangkan juga ketika film yang ditulis oleh Titien Wattimena (Hello Goodbye) ini bisa hadirkan interaksi apa adanya antar dua karakter utamanya, yang sepanjang jalan ada saja yang diributkan, dijadikan bahan untuk diselisih-pahami. Cekcok antara Marsha yang terkesan urakan, nyeleneh dan cewek pemberontak itu, dengan Laura yang sebaliknya kaku dan hidup dalam aturan-aturannya, memang selalu jadi atraksi yang menarik untuk disaksikkan. Dari hal sepele seperti salah jalan dan telat dua jam untuk pindah ke kota berikutnya, karena Marsha ketiduran, sampai konflik yang meruncing ke perselisihan-perselisihan yang topiknya lebih personal,

Perselisihan-perselisihan yang hadir di tengah jalan-jalan Laura dan Marsha di negeri orang pun dijadikan semacam “celah” oleh Dinna Jasanti (Burung-Burung Kertas), agar kita yang menonton tak saja melihat, tapi juga ikut masuk ke dalam cerita untuk (setidaknya) mengenal karakter-karakternya. Dinna menurut saya bisa menghidupkan karakter Laura dan Marsha tersebut, mampu memanfaatkan karakteristik masing-masing tokoh, kemudian sengaja ditabrakan untuk hasilkan chemistry yang cukup menarik. Laura dengan sikapnya yang terkesan innocent, sekaligus ditempatkan sebagai karakter yang mengesalkan dan Marsha yang tak peduli dengan aturan-aturan, hidupnya seolah tak punya beban, apa-apa spontan saja, termasuk nyolong roti hahaha. Ketika dipertemukan, hasilnya adalah seru, dua karakter bertolak-belakang yang saling mengisi kekurangan satu sama lain, saling melengkapi, saling menolong, saling mengerti, terkadang juga saling adu “tinju”, dalam soal berargumen, bukan berantem adu jotos. Pokoknya saat bicara soal persahabatan antara Laura dan Marsha, Dinna tak asal nyatuin dua karakter, tapi bisa mempermainkan karakter-karakter tersebut untuk terlihat seperti dua orang sahabat beneran, chemistry yang tidak palsu dan bisa membuat saya tidak dipaksakan juga untuk bersimpati pada persahabatan Marsha dan Laura.

Jalan-jalan Laura dan Marsha tak semulus itu, seperti konflik yang nantinya juga menghadang perjalanan dari Amsterdam ke Venice—diselipi juga agenda yang masing-masing sembunyikan. Bagian awal “Laura & Marsha” terkesan dipacking buru-buru, seolah-seolah film ini tidak sabar untuk segera cabut ke Eropa. Saya sih mencoba untuk membiarkan pembuka cerita untuk mengalir dulu, tapi tetap cukup terganggu dengan adegan-adegan yang melompat-lompat, apalagi dengan unsur-unsur yang tiba-tiba itu, tiba-tiba kecelakaan terus koma dan tiba-tiba lagi sudah sembuh. Tiba-tiba Laura mau menerima ajakan Marsha, tiba-tiba mereka sudah sampai Amsterdam. Saya tidak diijinkan untuk “salaman” dengan karakter Laura dan Marsha, karena porsi perkenalan memang banyak dialihkan ke tengah cerita ketika Eropa jadi latar belakang film ini. Sedangkan latar belakang Laura dan Marsha dibiarkan tak terjamah, saya dipaksa menebak-nebak, kapan mereka mulai sahabatan misalnya, dari SMA? atau sedekat apa persahabatan mereka, oh seperti Karmen dan gengnya di “Ada Apa dengan Cinta?”, saya hanya bisa geleng kepala. Detil tersebut diacuhkan padahal bisa dijadikan pondasi, untuk nantinya kita diajak melangkah jauh melihat persahabatan Laura dan Marsha berkembang sepanjang perjalanan di Eropa. Pergi buru-buru dan belum sempat kenal banget sama teman travelling, perjalanan “Laura & Marsha” juga banyak dipermudah oleh rentetan kebetulan-kebetulan, beberapa bisa dianggap “Oh, okay!”, sisanya saya respon dengan “kebetulan banget” sambil memamerkan wajah datar. Well, terlepas dari terburu-buru di paruh awal, bagian yang “tiba-tiba” dan kebetulan-kebetulannya, “Laura & Marsha” tetap sebuah film yang menyenangkan, dengan chemistry asyik yang ditampilkan Prisia Nasution dan Adinia Wirasti.