Saya bukan salah-satu orang yang mem-follow @radityadika alias followers-nya, dan bukan juga pembaca buku-bukunya, jadi bisa dibilang jauh dari kata akrab dengan celotehan-celotehannya yang kata orang sih lucu. Well, sampai akhirnya anak-anak kantor memperkenalkan saya dengan “Malam Minggu Miko”, serial komedi dengan durasi pendek hanya 10-13 menitan yang tayang di youtube (kemudian mengudara juga di Kompas TV). Dari sana saya juga menemukan video-video stand up comedy-nya. Lambat-laun saya akhirnya mulai akrab dengan jokes-nya Miko, maksud saya si Raditya Dika, saya akui tidak segaring yang orang bilang dan tidak selucu itu juga. “Malam Minggu Miko” yang biasanya saya setel sambil menemani makan malam di kantor pun tidak semua episodenya lucu, beberapa episode juga krik-krik-krik, saya tidak mengerti dimana lucunya, satu-satunya yang menyelamatkan justru karakter pembantu bernama Mas Anca, dia diam saja sebetulnya sudah kocak. Beneran tidak kenal sama becandaannya Dika? Lho, emang belum nonton Kambing Jantan? sudah, sudah lupa hahahaha, tolong jangan ingatkan saya sama film itu. Kenapa terus mau nonton “Cinta Brontosaurus”?—why not! tidak ada alasan muluk-muluk kecuali yah kepingin nonton saja, bermodalkan episod-episod lucu “Malam Minggu Miko”, saya sih hanya berharap “Cinta Brontosaurus”, bisa bikin saya ketawa.

Ketika sederet anak-anak remaja tanggung yang duduk di atas saya ngakak kenceng hampir di setiap adegan komedi yang disodorkan “Cinta Brontosaurus”, saya justru garuk-garuk kepala mempertanyakan “dimana lucunya ya?”. Mungkin yang benar-benar bisa mengerti letak lucunya Raditya Dika di “Cinta Brontosaurus” sepenuhnya adalah mereka yang me-retweet “markitdur”. Iya, jadi Raditya Dika nge-tweet hanya “markitdur” (mari kita tidur) dan di-retweet sampai ratusan orang, saya tampaknya harus tanya ke mereka untuk dicerahkan lucunya “Cinta Brontosaurus” itu dimana? ini jelas mengganggu hidup saya, lebih mengganggu dari ketika melihat video Arya Wiguna menyanyikan lagu “Demi Tuhan”, terus sekarang ada RBT-nya (wah!). Film yang skenarionya ditulis sendiri oleh Raditya Dika dan disutradarai Fajar Nugros (Cinta di Saku Celana) ini memang terlihat mantap ketika membuka ceritanya, saya tak buru-buru bilang “apaan sih”, berusaha untuk menerima joke-joke yang diumbar untuk kemudian dicerna dan ditertawakan. Dika (Raditya Dika) diceritakan seorang penulis yang baru saja putus dengan Nina (Pamela Bowie). Penjualan bukunya dan pengalaman cinta sama-sama buruk, saking sukanya diputusin sama pacar, Dika pun akhirnya selalu pesimis kalau sudah ngomongin soal cinta, termasuk percaya kalau cinta bisa kadaluarsa. Walau sudah dibantu oleh agennya, Kosasih (Soleh Solihun), Dika belum juga bisa menemukan soulmate-nya, sampai akhirnya Dika bertemu satu cewek aneh di sebuah restoran Jepang, namanya Jessica (Eriska Rein). Dari obrolan absurd dan tukar nomor, hubungan mereka berlanjut…pacaran.

Tak perlu diterawang, kelihatan kok dimana letak kelemahan “Cinta Brontosaurus” sejak awal, Raditya Dika dan skenarionya. Saya tidak tahu apakah bukunya pun juga segaring filmnya, lagi-lagi saya mengelak karena bukan pembaca bukunya. Ada yang bilang “Cinta Brontosaurus” itu lebih lucu kalau dibaca ketimbang ditonton, setuju untuk bagian ditonton-nya. Dengan penggarapan yang terkesan terburu-buru Fajar Nugros, wajar jika “Cinta Brontosaurus” justru terlihat bagai sketsa-sketsa tak lucu, ketimbang sebuah cerita yang benar-benar utuh. Saya tidak bisa salahkan Nugros sepenuhnya, upayanya untuk men-direct memang tersandung oleh skrip yang payah buatan Raditya Dika. Oke, mungkin target komedinya bukan diperuntukan buat saya yang tidak segampang itu membeli jualannya film ini: komedi-komedi galau, apapun namanya. Jelas buat siapa film ini dijual, mereka yang me-retweet “markitdur” tadi itu hahahaha. Mereka tertawa ngakak diatas sana, sedangkan saya ha-he-ho-hi tidak mengerti, well ada 1-2 adegan yang membuat saya tertawa dan bilang “taik banget”, itupun sekarang lupa bagian mana, salahkan saya yang semakin pelupa ini. Untuk film yang jualannya komedi, “Cinta Brontosaurus” di mata saya adalah produk gagal. Mengandalkan joke-joke spontanius, komedinya justru terkesan selalu “terlambat”, seperti orang yang kehabisan bahan, mikir dulu lama, baru nge-bacot lagi, sayang sudah tidak lucu lagi. Lagipula, bagi yang sudah menonton stand up comedy ataupun “Malam Minggu Miko”, jokes di “Cinta Brontosaurus” hanya sebuah pengulangan.

Saat komedinya tak mampu membuat saya tertawa, lebih dari dua kali, perhatian saya pun dialihkan untuk menikmati keromantisan “Cinta Brontosaurus”, berharap setidaknya ada yang saya suka di film ini. Ternyata tak ada bedanya, saya juga tidak mengerti cara terbaik untuk menikmati porsi drama romansanya, yang lagi-lagi diisi oleh cinta-cintaan cheesy dan mengeksploitasi kegalauan Dika. Ketika membangun kegalauan lebih penting, chemistry antara Dika dan Jessica pun diabaikan, hubungan mereka dibiarkan terkurung tak berkembang, bertele-tele, dipanjang-panjangkan, pada akhirnya cinta yang membosankan, wajarlah jika Jessica minta putus. Ok, porsi cinta-cintaannya pun tak berhasil membuat saya tertarik, saya memutuskan untuk kembali mengalihkan perhatian saya ke komedi, yang memang jadi jualan utamanya “Cinta Brontosaurus”. Ternyata lompat ke paruh kedua menuju akhir, tidak ada yang beda—becandaan film ini tetaplah sekaku akting Raditya Dika yang untuk bermain sebagai dirinya sendiri pun tampaknya kesulitan. Satu-satunya yang bisa menghibur saya justru ketika Dika satu frame dengan keluarganya di meja makan, ada momen asyik yang diciptakan ketika keluarga Dika dikumpulkan, sayangnya porsi keluarga hanyalah sebagai pelengkap. Galau, gombal dan petuah-petuah cinta kacangan tetap jadi porsi yang paling banyak disumpalkan ke penonton. Kalau kata Dika cinta bisa kadaluarsa, begitu juga dengan “Cinta Brontosaurus”-nya, kadaluarsa.