Setelah Kim Jee-woon (I Saw The Devil) dengan “The Last Stand”-nya, yang telah lebih dulu rilis di Indonesia pada bulan Februari lalu, invasi sutradara kenamaan asal Korea Selatan ke Hollywood berlanjut dengan “Stoker”, disutradarai oleh Park Chan-wook (Oldboy)—dan disusul oleh Bong Joon-ho, yang terkenal lewat film monster-nya, “The Host”, yang menyutradarai film fiksi ilmiah berbalut aksi berjudul “Snowpiercer”. Seperti “The Last Stand”, yang mampu stand out dengan tidak meninggalkan ciri khas film-film Kim Jee-woon, Park Chan-wook terbilang mampu beradaptasi dengan film Amerika, bahkan terkesan “Stoker”-lah justru yang dipaksa untuk mengikuti gaya penyutradaraan Park Chan-wook. Walaupun saya akui skrip yang ditulis oleh Wentworth Miller, yup si Michael Scofield dari serial televisi “Prison Break”, terlalu biasa saja untuk sebuah debut dari seorang Park Chan-wook, namun Park mampu memvisualisasikannya dengan gemilang. Walau begitu, buat yang memuja film-film Park, termasuk trilogi Vengeance-nya, jangan dulu terburu-buru tumpuk ekspektasi “Stoker” akan jadi film bangsat ala Park, yah masih tetap ngehe dengan segala kekurangannya yang bisa dimaklumi. Well, apalah artinya nilai minus, jika Park kemudian mampu membius penonton, termasuk saya untuk terhibur selama 99 menit dengan “Stoker”.

Dimulai dengan adegan pembuka yang di-shot sinting, ditemani oleh narasi dari India Stoker (Mia Wasikowska) yang menggemaskan, film berlanjut dengan title sequence yang boleh dibilang menggairahkan. Melihat nama cast and crew yang dipajang begitu artistik berbarengan dengan gambar-gambar yang juga disajikan indah…“Stoker” langsung bikin saya girang, itu baru opening saja, apalagi filmnya secara kesuluruhan, pasti lebih brengsek lagi. Setelah itu, ekspektasi saya jujur langsung kemana-kemana, senang sendiri seperti anak kecil yang mau dibelikan es krim. Terakhir menonton film yang punya title sequence cakep itu yah di film “Life of Pi”. Fokus “Stoker” akan setia mengikuti India, seorang anak baru gede yang terbilang sudah kepingin buru-buru jadi wanita dewasa, cantik, agak freak, termasuk anak paling pintar di sekolahnya, namun sama sekali tak punya teman dan malah sering kena bully anak-anak cowok. Teman satu-satunya adalah sang Ayah, yang sering mengajaknya berburu di hutan sejak India kecil, India memang sangat dekat dengan Ayahnya, Richard (Dermot Mulroney). Sayang kedekatan mereka harus terampas, India kehilangan Ayahnya yang tewas akibat kecelakaan mobil. India pun makin menutup diri, dan kini hidup dengan dua orang yang tak India “kenal”, Ibunya, Evelyn (Nicole Kidman), yang diceritakan tak pernah akrab dengan anak perempuannya. Serta, sang Paman, Charlie (Matthew Goode), yang tiba-tiba saja muncul setelah lama menghilang bak ditelan bumi.

Seperti sebuah permainan petak-umpet, “Stoker” langsung mengajak saya untuk bermain, mencari-cari siapa sebenarnya India, Evelyn dan khususnya Charlie, si Paman karismatik. Ketiganya jelas menyembunyikan sesuatu dibalik kepalsuan yang sudah diumbar sejak film baru melangkah di menit-menit awal, kita diajak menebak-nebak sambil berkenalan dengan masing-masing karakter. Sebetulnya tidak ada yang istimewa dari cerita yang mengusung tema thriller psikologis ini, tapi oleh Park Chan-wook setiap layer­ cerita yang disodorkan kemudian dilapisi lagi oleh kepiawaiannya menambah citarasa sebuah film yang berkelas ke dalam jalinan cerita “Stoker”. Walaupun saya akui, untuk benar-benar menikmati film ini memang butuh sedikit kesabaran, keasyikan Park Chan-wook dalam urusan mengolah plotnya baru benar-benar terasa ketika film beranjak di menit ke-30. Bagian “perkenalan” memang agak membosankan, apalagi dengan alur “Stoker” yang tidak juga bisa dibilang bersahabat. Tapi untuk sebuah film yang memajang nama sutradara “Oldboy”, saya rela sabar menunggu hingga Park Chan-wook tak asyik sendiri dan membiarkan penonton juga ikut bermain. Nah, menjelang film loncat keparuh keduanyalah, permainan petak-umpet antara saya, India, Ibunya, serta pamannya yang misterius dibalik senyumnya yang creepy tersebut semakin menarik, berbarengan dengan terbukanya kengerian yang selama ini ngumpet di balik karakter-karakternya yang menipu.

Misteri kelam diungkap perlahan, perkembangan karakter India dibangun makin menarik, sambil melihat sosok Paman yang bulu dombanya mulai “rontok”, serta layer demi layer cerita yang ditumpuk stylish dengan editing agak sinting Nicolas De Toth (The Sum of All Fears). “Stoker” berubah dari permainan petak-umpet yang membosankan pada awalnya, menjadi sebuah thriller yang menjanjikan, ya tidak perlu waktu lama sampai akhirnya saya bilang “anj*ng”. Ditemani scoring-nya yang tahu bagaimana mencekik mood penontonnya, dengan terus-menerus menjejalkan telinga dengan alunan musik maha indah dari Clint Mansell, Emily Wells dan Philip Glass. Khususnya “Duet” karya Philip Glass (The Hours) yang dentingan pianonya masih terngiang-ngiang sampai saya menulis review ini, dan mengingatkan saya pada salah-satu adegan terbaik di “Stoker”, duet antara India dan Charlie, sesuai dengan judul lagunya. Park Chan-wook tak hanya memaksa film untuk mengikuti gaya khasnya, bagi yang sudah melihat karya-karya Park, pasti akan melihat trade mark-nya disini, termasuk dari film “Thirst”. Segala hal sinting dari bagaimana cara Park mengemas “Stoker” menjadi sajian yang masih tetap berkelas, tidak dipungkiri juga karena peran Chung Chung-hoon, si penata kamera, sinematografer handal yang sudah jadi langganan film-film Park. Chung membuat “Stoker” jadi visual yang memanjakan mata. Tidak fair juga jika tidak menyebutkan akting cemerlang Mia Wasikowska, Nicole Kidman, dan Matthew Goode, ketiganya berhasil mengelabui saya dan berakhir jadi penonton bodoh. Khususnya Mia yang sejak awal sudah menyita perhatian mata saya untuk tidak pindah ke lain hati hahahaha. Well, sekali lagi “Stoker” tidaklah sebangsat yang saya kira, tapi tetap menjadi sebuah sajian psychological thriller yang ngehe dan juga menyenangkan, nikmati saja tanpa harus pusing memikirkan twist apa yang akan film ini tawarkan, toh yang paling penting bagaimana Park menyajikan “A ke B”-nya, twist nomor kedua. Not bad, Park!