Poppy (Nurul Arifin) yang sedang patah hati, berlinang air mata sambil memainkan piano, dengan latar belakang suara guntur dan derasnya hujan. Mereka yang pernah menonton “Lupus: Tangkaplah Daku Kau Kujitak” (1987), pastilah ingat adegan itu, terkesan melodramatis, tapi memang pas dengan jamannya. Beda dengan sekarang, mungkin tak lagi relevan memasang adegan itu di film-film remaja, karena toh ABG kebanyakan mana ada sih yang galau terus duduk main piano sambil mewek, galau yah pelampiasannya “memainkan” tombol handphone, twitter-an sampai pulsa atau baterai habis. Well, setelah tahun 2011 lalu, anak-anak 80 dan 90-an diajak nostalgia lewat hadirnya “Catatan Harian Si Boy”—film yang masih terlihat asyik, mem-blend gaya lama dan baru untuk menghasilkan sesuatu yang bisa dibilang kece. Tahun ini, ada “Bangun Lagi Dong Lupus”, satu lagi idola remaja era 80 dan 90-an, yang coba dibangkitkan tak hanya untuk menyapa mereka yang memang mengenal siapa itu Lupus, tapi juga memperkenalkan (lagi) sosok remaja yang doyan ngunyah permen karet ini ke penonton era 2000-an. Jika formulanya benar, film yang ceritanya ditulis oleh Hilman Hariwijaya ini—orang yang menuliskan novel-novel Lupus, memiliki kesempatan untuk mencuri hati mereka yang datang ke bioskop untuk bernostalgia, termasuk saya, sambil menjaring penonton yang bisa saja jadi fans baru Lupus. Duh sayangnya, “Bangun Lagi Dong Lupus” bukan film seperti itu. Bangun, Pus!

Sempat terbesit, satu-satunya yang cocok mewarisi tongkat estafet pemeran Lupus di film, menggantikan Almarhum Ryan Hidayat, yah Abimana (Belenggu). Kemudian saya pasrah saja ketika melihat sosok Miqdad Auddausy sebagai Lupus, sabar dulu menonton filmnya sampai habis, baru ngomel. Perbedaan Lupus lama dengan Lupus baru tentu saja banyak, toh generasinya beda, tentu saja “Bangun Lagi Dong Lupus” juga harus dipaksa mengikuti jamannya, termasuk tidak lagi memberikan jambul ala poster top’s collection yang biasa terpajang di tukang cukur rambut. Tapi tenang, dia masih suka permen karet. Lupus diceritakan baru saja pindah ke SMU Merah Putih, klise, anak baru wajib diganggu “preman” sekolah, namanya Daniel (Kevin Julio), si anak orang kaya yang marah karena Lupus dekat dengan Poppie (Acha Septriasa), pacarnya. Karena anaknya asyik, mudah bagi Lupus untuk berkawan dengan siapa saja, tidak saja dengan Poppie, melainkan juga dengan Boim (Alfie Alfandy), playboy yang tidak pernah ngaca sebelum ngejar-ngejar cewek idamannya, Gusur  (Jeremiah Christiant), yang paling doyan makan, suka melukis dan cinta dengan sastra, apalagi yang namanya puisi, ngutang sama ibu kantin pun dipuitisasikan. Satu lagi si kutu buku bernama Anto (Fabila Mahadira). Jalan cerita “Bangun Lagi Dong Lupus” baru bertabrakan dengan konflik ketika Poppie putus dengan Daniel, katanya sih karena Lupus, tapi tampaknya Lupus tidak menyadari Poppie suka padanya… apa iya?

Keluar bioskop saya cuma bisa geleng-geleng kepala dan menarik nafas, sambil lega akhirnya film selesai. “Bangun Lagi Dong Lupus” jauh dari apa yang saya bayangkan dan tidak bisa dikatakan sebuah film yang asyik. Oke, awalnya saya memang tertarik ketika melihat bagian perkenalan Lupus dan Poppie di bis TransJakarta, naik level sedikit dari film pendahulunya yang hanya di bis kota biasa. Tapi setelah turun dan masuk ke sekolah Lupus dan berkenalan dengan dunianya, saya agak menyesal, yah film yang disutradarai oleh Benni Setiawan (Madre) ini memang masih menyimpan beberapa bagian menariknya, tapi kebanyakan terlalu mengada-ngada buat saya. Ok saya mulai dari tokoh sentral, Lupus, yang seharusnya punya peran penting dalam urusan mengikat film ini dengan penontonnya. Justru bikin muak, sah-sah saja jika mau membentuk karakternya menjadi panutan bagi penonton, khususnya generasi muda, namun jangan melupakan kalau Lupus itu juga manusia biasa, masih remaja, jangan merusak sisi asyik dari karakter Lupus yang pernah saya kenal. Menonton Lupus sekarang, malah jadi kasihan, karakter yang terlalu dibebani pesan moral dan dipaksa untuk menjadi model inspirasi yang dibuat-buat. Kenikmatan yang pernah saya rasakan ketika menonton film-film Lupus dulu, sama sekali tidak saya rasakan di “Bangun Lagi Dong Lupus”, filmnya terasa asing buat saya. Jika saya sudah tidak peduli pada Lupus, saya tidak lagi punya alasan untuk peduli dengan filmnya.

Ah tunggu dulu, ternyata ada yang buat saya peduli, Acha Septriasa, tak saja karena aktingnya yang membuat film ini lebih terlihat hidup, tapi juga karena Poppy adalah satu-satunya karakter yang menurut saya paling normal, tidak mengada-ngada. Duh lihat karakter Boim yang hanya ditempatkan untuk jadi bahan ledekan saja, apa iya lucu? tidak juga. Gusur, seperti anak yang tidak dilahirkan di bumi, beda dari anak-anak lain boleh, suka puisi, terserah, tapi karakter di film ini sudah kelewat dibuat-dibuat malah terkesan Gusur adalah anak sangat freak. Ditambah Anto, makin aneh saja geng persahabatan Lupus. Belum lagi Kepala Sekolahnya, Guru Olahraga yang suka dengan poco-poco, wah semakin mengada-mengada hanya untuk memancing tawa penonton, sayangnya saya tidak mengerti dimana letak lucu film ini saat tiba waktunya menyodorkan porsi komedinya. “Bangun Lagi Dong Lupus” tentu saja tak bisa mengandalkan komedi saja, tapi berbagi durasi dengan drama cinta-cintaannya yang ternyata tidak banyak membantu, dalam urusannya mengangkat film ini jadi tambah menarik. Bagian romansa antara Lupus dan Poppy terbangun tak asyik, lagi-lagi terbantu oleh akting Acha yang justru punya peran ganda, bermain jadi Poppy dan menutupi gerak-gerik Miqdad Auddausy yang tidak luwes, dalam membangun chemistry yang cukup. Ketika Lupus dipaksa bangun, jalan ceritanya justru membuat saya tertidur, alhasil wajar saja jika “Bangun Lagi Dong Lupus” pada akhirnya sangat mudah dilupakan, saya hanya ingat untuk membeli permen karet. Tidur lagi, Pus.