Setelah saga film vampir menye-menye berakhir, tampaknya pengaruh “Twilight” belum enggan untuk lenyap, justru ekspansinya semakin melebar, formula cinta remaja ala Bella dan Edward sekarang mulai meracuni genre lain. Untungnya sih “Warm Bodies” yang kesannya ter-Twilight tersebut mampu tampil tidak terlalu ikut-ikutan, walaupun polanya rada mirip tapi rasa-rasanya masih jauh lebih oke ketimbang penyajian “Twilight” dan seri-serinya. Begitu pula dengan “Beautiful Creatures” yang sama-sama diadaptasi dari novel, melihat materi promo film ini (ngomong-ngomong saya belum baca bukunya) dari poster dan trailer-nya, saya langsung beranggapan kalau film yang disutradarai oleh Richard LaGravenese (Freedom Writers) ini akan menjadi pengikut setia “Twilight”. Tuduhan saya tak sepenuhnya benar, “Beautiful Creatures” memang terkesan bilang “lupakan saja Twilight, karena sekarang ada penyihir-penyihir yang lebih keren”, sambil tetap agak ambisius menggantikan posisi Bella dan Edward. Masih ada rasa Twilight, tapi Richard LaGravenese tentu tidak mau filmnya hanya dikira “aji mumpung” dan membonceng kepopuleran Bella dan teman-teman. Untuk tujuan itulah, yah “Beautiful Creatures” akhirnya bisa menunjukkan kalau ini bukan the next… film menye-menye ala “Twilight”, saya bisa melihat usaha Richard LaGravenese untuk lepas dari status tersebut, sayang usahanya tidak 100%, sayang…

Ada anak baru di sekolah, bukan, bukan Edward dan keluarga vampir pucet-nya, melainkan Lena Duchannes (Alice Englert) yang belakangan diketahui memang bukan manusia biasa, dia seorang penyihir atau film ini menyebutnya “caster”. Kehadiran Lena tentu saja tidak disambut dengan baik, tidak saja karena status anak barunya tetapi juga karena dia datang dari keluarga yang dianggap sebagai pemuja setan oleh penduduk kota Gatlin. Datang ke sekolah, Lena hanya menjadi bahan bully-an, namun ada satu orang yang tampaknya tidak menganggap Lena sebagai freak, dia adalah Ethan Wate (Alden Ehrenreich). Dari bertemu di tengah jalan, kemudian mengantarkan Lena ke depan gerbang rumahnya, akhirnya jadi awal dari sebuah hubungan yang terlarang. Keduanya saling suka, dan Ethan tak peduli apapun yang terjadi, dia akan terus menjaga dan mencintai Lena, apalagi ketika dia mengetahui siapa sebenarnya pacarnya itu, cintanya semakin besar. Sayang cinta sejati harus terhalang-halangi ancaman dari sebuah kutukan lama, dimana disebutkan jika seorang caster terlarang untuk jatuh cinta dengan mortal alias manusia. Ditambah dengan ketakutan Lena akan takdirnya yang ditentukan pada hari ulang tahunnya yang ke-16, apakah dia akan tetap menjadi penyihir putih atau menyeberang ke kegelapan dan menjadi penyihir jahat.

Cukup ngomongin “Twilight”, toh “Beautiful Creatures” secara mengejutkan tidak bikin saya mual-mual ketika porsi romantisme cheesy-nya dengan segala ucapan cinta-cintaannya mulai dilontarkan ke depan mata penonton. Saya masih anggap Richard LaGravenese melancarkan serangan romansanya dengan level wajar, ya bersahabat dengan mata dan kuping saya yang tidak tahan dengan segala macam menye-menye berlebihan di film sejenis. Klise dengan gaya penceritaan dan urut-urutan narasinya yang tidak banyak menghadirkan sesuatu yang terbilang baru, sebenarnya tidak saya hiraukan di paruh pertama, karena Richard LaGravenese saya akui mampu menciptakan suasana nyaman, masih dibuat penasaran dengan segala pernak-pernik dunia penyihir yang membalut “Beautiful Creatures”. Well tidak banyak yang bisa diceritakan, setidaknya ada beberapa informasi menarik terkait para caster dan seluk-beluk dunianya ini, mengenai keluarga Ravenwood yang dianggap pemuja setan, serta kisah tentang penyihir jahat dan baik, sebagai pendamping porsi love story yang tentunya lebih banyak. Cerita “sampingan” itu yang sebenarnya membuat saya dipaksa betah menunggu durasi 124 menit film ini berakhir. Karena jujur usaha “Beautiful Creatures” untuk memantra-mantrai saya agar tidak bosan, mulai kendur dan tidak manjur ketika film melompat ke paruh kedua menuju akhir film. Film tidak lagi menawarkan apa-apa selain kita disuruh melihat ribut-ribut keluarga dan menunggu nasib Lena dan Ethan.

Dengan akhir yang tentunya predictable dari awal, disempilkan beberapa twist untuk mendukung rumusan kisah cinta yang happy ending, “Beautiful Creatures” seperti mengkhianati keyakinan saya jika film ini bisa tampil menarik, greget dan punya aksi-aksi perang sihir yang seru nantinya. Sayangnya semua itu hanya ada di kepala saya dan tidak pernah terjadi, adu mantra yang diperlihatkan pun bisa dikatakan biasa saja dengan polesan kuas digital yang tidak memuaskan, CGI-nya terlihat payah. Satu-satunya yang bertahan abadi dari awal hingga film selesai, adalah justru chemistry antara Ethan dan Lena, well akting keduanya diakui bisa membuat semua tampak tidak se-fake aksi-aksi visual efeknya. Alden Ehrenreich dan Alice Englert sanggup menghadirkan sosok-sosok remaja yang wajar ketika sedang jatuh cinta, tentunya dengan tempelan-tempelan kekikukan sekaligus, ya film ini masih punya sesuatu yang biasanya dilupakan film sejenis, masih punya sisi charming. Dengan porsinya masing-masing, Jeremy Irons, Viola Davis, Emmy Rossum dan Emma Thompson pun tampil cukup baik memainkan karakternya. “Beautiful Creatures” ternyata tidak seindah judulnya, menyenangkan di paruh pertama kemudian tidak lagi menarik sesudahnya. Mantra yang di awal sanggup membuat saya betah mulai tidak berdaya, beberapa bagian jadi membosankan, setidaknya “Beautiful Creatures” masih bisa mempertahankan chemistry antara kedua karakter utama, ketika pilar-pilar pendukung di sekelilingnya runtuh.