Osama Bin Laden akhirnya berhasil ditemukan dan ditembak mati, mungkin saya akan langsung dilempari hujatan dan caci-maki karena sudah spoiler berat. Tapi kita semua sudah tahu kemana perburuan terhebat sepanjang sejarah ini akan berakhir, dan tidak perlu repot menebak-nebak apa yang akan terjadi dengan Bin Laden, kecuali selama ini kamu hidup di gua. Terlepas dari sudah tahu ataupun belum tahu, “Zero Dark Thirty” bukan soal ending yang semua orang ketahui, namun apa yang terjadi di balik layar perburuan yang puncaknya terjadi pada penyerbuan tengah malam pada tanggal 2 Mei 2011 tersebut, dimana orang paling dicari di planet bumi akhirnya ditemukan. Seakurat apapun fakta sejarah yang ada di “Zero Dark Thirty”, yang katanya didasarkan pada kisah nyata tersebut, tidak dipungkiri jika film yang di sutradarai oleh Kathryn Bigelow ini tetap disusupi banyak sekali dramatisasi. Yah bagaimanapun juga “Zero Dark Thirty” bukanlah murni film dokumenter, walaupun didukung setumpuk fakta, penyajiannya tetap sebagai film yang ingin menghibur. Saya tidak peduli sejauh mana fakta itu melenceng ataupun dimain-mainkan oleh si penulis Mark Boal, yang jelas “Zero Dark Thirty” sudah sukses dalam misinya untuk menghibur penonton, termasuk saya yang pulang dengan bentol-bentol di tangan, saking seriusnya nonton tidak sadar digigiti nyamuk.

“I’m the motherf*cker that found this place, Sir!”, saya tidak percaya ketika kemudian mendengar Maya (Jessica Chastain) yang awalnya kelihatan seperti anak baru yang culun, berbicara seperti itu di tengah-tengah pertemuan dengan petinggi CIA. Iyah, pertama kalinya melihat kemunculan Maya di sebuah black site—julukan CIA untuk tempat penahanan orang-orang yang ada sangkut pautnya dengan teroris, al-Qaeda dan Bin Laden—saya memang tidak bakal mengira Maya akan menjadi agen cewek yang totally badass, walaupun diperlihatkan tidak pernah memegang senjata sama sekali di sepanjang film, karena statusnya memang bukan agen lapangan tapi fokus mengurusi intelejen, memburu Bin Laden dari balik meja. Butuh waktu bertahun-tahun bagi Maya mencapai targetnya, dan dua setengah jam bagi penonton, melihat aksi Maya yang tak pernah semangatnya terlihat sedikitpun kendor. Dari gigihnya Maya mencari tahu dimana keberadaan Abu Ahmed, seorang yang disinyalir paling dekat dan kurir kepercayaan Bin Laden, selamat dari pemboman hotel Marriott di Pakistan, ditembaki oleh sekelompok orang bersenjata, sampai pada akhirnya, saat semua orang tidak yakin bisa menemukan Bin Laden, hanya Maya yang sepertinya masih percaya 100% bisa menemukan lokasi orang yang bertanggung jawab untuk aksi penyerangan 11 September, yang meluluh-lantahkan Amerika Serikat.

Ketimbang judul “Zero Dark Thirty” yang diambil dari istilah militer untuk setengah jam setelah tengah malam (ribet bahasanya) atau 12.30 am, menunjuk pada waktu pelaksanaan misi penyerbuan ke lokasi yang diduga tempat persembunyian Osama Bin Laden. Saya lebih memilih judul “Maya: The Motherf*cker”, siapa juga yang akan memilih judul film macam itu. Toh, film ini memang tentang Maya vs. The World dan perburuannya mencari satu orang berjenggot yang susahnya minta ampun. Seperti sebuah film superhero tapi tidak dibalut layaknya film superhero, Maya tidak punya kostum baja layaknya Iron Man, tapi kekuatan, semangat dan kegigihannya bolehlah diadu dengan anggota The Avengers manapun. Kathryn Bigelow melahirkan seorang karakter heroine dalam diri Maya, luar biasa badass-nya walau tanpa senjata segede gaban, bisa kickass walau tanpa harus menghajar musuhnya sampai babak belur. Dia tidak pernah diperlihatkan menembakkan senjata, kecerdasan adalah satu-satunya senjata Maya, otaknya tidak pernah berhenti mencari cara menemukan Bin Laden. Kata-kata yang keluar dari mulut Maya mampu “menghajar” siapa saja, meyakinkan orang-orang untuk bilang “iya”, dari rekan kerja sampai bos CIA sekalipun. Karakter yang dimainkan oleh Jessica Chastain dengan cemerlang inilah yang membuat saya yakin dari awal jika “Zero Dark Thirty” bakal menjadi film yang awesome.

Untuk sebuah film yang berdurasi agak mematikan, jika yah 157 menit itu memang dianggap lama, “Zero Dark Thirty” dengan segala adegan ngehek-nya justru terasa begitu sebentar. Skrip yang ditulis oleh Mark Boal memang zero bullsh*t dan begitu rapih dalam mengurutkan kejadian-kejadian yang rentang waktunya panjang, punya banyak halaman yang isinya tidak hanya mempertajam konflik semakin runcing tapi juga fokus pada pendalaman karakter utamanya, yaitu Maya yang semakin menarik dari halaman ke halaman. Entah apa jadinya jika “Zero Dark Thirty” jatuh ke tangan James Cameron, yang awalnya didekati untuk menyutradarai film ini, walau mantan suami Kathryn Bigelow tersebut sudah fasih betul mengurusi cewek jagoan dalam film-filmnya. Namun ditangan Bigelow-lah “Zero Dark Thirty” di-treatment dengan tepat, Maya yang se-motherf*cker itu pun masih diperlihatkan kalau dia perempuan biasa, yang terbentuk jadi demikian karena gemblengan CIA dan attitude-nya yang bangsat itu hasil asahan perburuannya mencari Bin Laden bertahun-tahun. Kita bisa melihat perubahan Maya yang significant di film. Bigelow mampu menata tahap per tahap aksi perburuan orang paling dicari di planet bumi ini untuk tidak kehilangan momentumnya, durasi seperti dilahap perlahan oleh briliannya Bigelow menaikkan tensi ketegangan dan mengulik konflik untuk semakin ngehek dari menit ke menit, menjauhkan penonton dari rasa bosan, saya sampai lupa menguap. Dari setting yang meyakinkan sampai helikopter siluman, dari jajaran pemain yang canggih berakting sampai adegan action yang maut, “Zero Dark Thirty” adalah tontonan yang langka, memang tidak cukup berhati tapi sebagai sebuah hiburan yang sekaligus memberi penonton asupan wawasan bergizi, ini adalah film yang luar biasa. Keren!