Walaupun wajah Arnold Schwarzenegger sempat muncul di dua film “Expendables”, tapi baru di “The Last Stand” sesepuh film action yang satu ini tampil untuk pertama kalinya sebagai pemain utama, sejak “Terminator 3: Rise of the Machines” di tahun 2003. Sempat rehat sejenak dari urusan akting dan terjun di dunia politik, termasuk terpilih menjadi Gubernur California, tampaknya membuat Arnold kangen bermain film dan seperti yang kita lihat di “Expendables 2”, sang terminator ini masih belum lupa bagaimana cara untuk tampil kick-ass. Yah, karisma badass-nya bisa dikatakan belum luntur, dibalik kerutan-kerutan dan umur yang tidak lagi muda, Arnold tetap mampu menghajar habis musuh-musuhnya. Dalam “The Last Stand”, yang juga jadi debut film Hollywood pertama sutradara Kim Ji-woon (I Saw the Devil), Arnold pun membuktikan dirinya masih tetap Arnold yang dulu, makin tua justru makin badass, masih menyukai senjata-senjata gede untuk memberondong musuh-musuhnya. Apa yang disajikan “The Last Stand” jelas sesuatu yang saya tunggu-tunggu, formula film action yang membuat saya tidak peduli se-klise apapun plotnya, karena saya hanya ingin menikmati barisan aksi-aksi oldskul yang ditawarkan film ini.

Setelah pindah dari LAPD dan sekarang menetap di kota kecil bernama Sommerton Junction, Arizona, kehidupan Ray Owens (Arnold Schwarzenegger) boleh dikatakan lebih tenang. Los Angeles tentu berbeda dengan Sommerton, kota kecil yang juga sekaligus perbatasan dengan Meksiko ini jauh dari tindak kriminal serius, walaupun tetap menjadi abdi hukum, Ray jarang beraksi. Tapi statusnya sebagai Sheriff akan diuji ketika seorang bos kartel narkoba, Gabriel Cortez (Eduardo Noriega) kabarnya akan melewati kota kecilnya, setelah berhasil melarikan diri dari iring-iringan mobil tahanan FBI. Dengan kecepatan tinggi, mengendari mobil Chevrolet Corvette C6 ZR1 versi modifikasi, Gabriel dalam hitungan jam akan tiba di Sommerton Junction. Ray pun tidak bisa diam setelah mendapat kabar tentang Gabriel dari FBI, apalagi anak buah Gabriel sudah lebih dulu tiba dan membuat “keributan”, termasuk membunuh seorang petani tua dan menembak deputi muda Sommerton hingga akhirnya tewas. Ray sekarang hanya punya satu misi, menangkap Gabriel Cortez sebelum dia sempat menjejakkan kakinya di tanah Meksiko, dan itu tidak akan mudah.

Nama Kim Ji-woon tentu jadi magnet selain nama besar Arnold Schwarzenegger di “The Last Stand”, tapi jangan terburu-buru membandingkan film ini dengan “A Tale of Two Sisters”, tentu salah besar karena film tersebut bukan horor. Nga perlu juga mengharapkan film seperti “I Saw the Devil”, karena hanya akan menyengsarakan ekspektasi mengada-ngada kalian. Bayangkan “The Good, the Bad, the Weird”, nah kira-kira seperti itu gaya “The Last Stand”, masih juga mengadopsi film-film western, koboi-koboian di dunia modern, dimana sang penjahat sekarang tidak menaiki kuda tapi mobil muscle car Amerika, Chevrolet Corvette bermesin V8 supercharger yang menghasilkan 638 tenaga kuda. “The Last Stand” memang film yang dibuat untuk the real comeback-nya Arnold Schwarzenegger, film aksi bernuansa lawas, film yang bermodalkan lebih banyak peluru ketimbang lebih banyak dialog untuk bercerita. Untuk penggemar Arnold Schwarzenegger dan film aksi-aksi oldskul yang tak butuh otak, “The Last Stand” adalah film untuk anda. Tapi buat mereka yang masih berisik mempertanyakan kenapa Arnold diberondong peluru tidak satupun yang kena, yah mungkin ada baiknya menjauhi film ini. “The Last Stand” dibuat untuk mereka yang kangen dipukuli oleh aksi-aksi badass sampai babak belur.

Ditangani dengan baik dari awal oleh Kim, “The Last Stand” menghadirkan elemen-elemen aksi yang menyenangkan, hampir separuh durasi dari keseluruhan 100-an menitnya memang dihabiskan untuk memberi penonton waktu untuk mengenal lebih dekat siapa Sherif Ray Owens dan seperti apa Sommerton Junction. Setelah itu Kim punya banyak waktu untuk mempersiapkan atraksi berikutnya, membuat saya duduk tercengang disodorkan berbagai aksi seru dengan sentuhan Kim yang tetap masih terasa layaknya di film-film Korea-nya. Jadi nama Kim Ji-woon bukan sekedar tempelan, dan ketika Hollywood seperti kehilangan ide membuat film action yang tidak basi, invasi sutradara-sutradara Asia justru seperti pukulan telak, termasuk Kim Ji-woon yang justru mampu menghadirkan film aksi yang polanya terformula, klise, tapi dikemas dengan fresh—dengan Arnold Schwarzenegger yang memimpin “pawai” aksi-aksi menegangkan bercampur juga dengan bumbu kekonyolan yang membuat saya tidak merasakan waktu yang berlalu begitu cepat. Semuanya menjadi satu kesatuan yang utuh, drama, aksi, pemain, ledakan, tembak-tembakan, komedi, yang baik, yang jahat, dan yang aneh, dipaketkan untuk menghibur penonton. Tidak satupun adegan di “The Last Stand” yang bisa dianggap membosankan, menghibur dari awal hingga peluru terakhir ditembakkan dan pukulan terakhir dihempaskan.