#KamisKeBioskop minggu ini ada dua film Indonesia yang baru saja rilis, yang satu “Air Terjun Pengantin Phuket”, katanya sih sekuel dari “Air Terjun Pengantin”, yang saya pikir tidak pernah akan ada lanjutannya. Satu lagi film omnibus berjudul ehmm “3 Sum”, tapi jangan dulu punya pikiran jorok ya, ini bukan film esek-esek hahahaha. Ok singkirkan dulu “Air Terjun Pengantin Tok… eh Phuket”, karena saya pun belum (ada keinginan) menonton, next time mungkin akan saya review juga. Berbicara soal omnibus biasanya selalu ada benang merah yang mengikat film-film di dalamnya, ya misalnya “Histeria”, semua filmnya bicara soal horor, “Jakarta Hati” isinya penghuni Jakarta yang sedang “curhat” kehidupannya kepada penonton, “Sinema Purnama” ngomongin cinta… nah terus “3 Sum”? sesuai tagline, ini omnibus yang pengait-nya lengkap ada cinta, kehidupan dan kematian, semua segment-nya punya ketiga unsur itu, fokusnya saja yang berbeda, misalnya salah-satu segment yaitu “Rawa Kucing” kekuatannya ada di unsur cinta, tapi menyenggol soal kehidupan juga kematian. Nah jadi salah kalau ada yang bilang filmnya tidak punya benang merah. Oh tambahan, satu lagi benang merahnya adalah ketiga filmnya punya semangat, semangat bikin film yang “bener”. Dengan modal itu, “3 Sum” seharusnya didukung, dituntun, bukan kemudian dipadamkan api semangatnya lewat cemoohan asal-asalan.

Saya bukan sok jadi baik, dikarenakan kenal salah-satu pembuat filmnya, toh setelah selesai pemutaran film saya tidak langsung berpura-pura suka “Insomnight”, salah-satu segmen yang menurut saya memang paling lemah dibandingkan dengan yang lainnya. Tidak jelek, saya ngeri nonton filmnya tapi tidak lepas dari unek-unek yang pada akhirnya membuat segmen ini tidak sempurna di mata saya, khususnya setan ala youtube (bagi yang pernah nonton video kacangan setan-setanan di situs berbagi video tersebut, pasti tahu apa yang saya maksud). Saya bilang ke Witra Asliga, “Kok pake penampakan setan kaya gitu”, karena saya pikir sebelum dirubah seram oleh efek pun, penampakan yang ada sudah cukup seram dan mengagetkan. Penonton di belakang saya, dua orang perempuan sudah teriak duluan saat melihat penampakan bermodal polesan make up. Sayangnya, pembuat “Insomnight” sepertinya memang tidak percaya diri dan menambahkan polesan digital yang saya rasa tidak perlu, yah karena pada akhirnya menurunkan efek seram dan mood yang sudah dibangun dari awal film. Bercerita tentang Morty (Winky Wiryawan) yang tidak bisa tidur karena banyak masalah dan diganggu suara-suara aneh, sebenarnya “Insomnight” menurut saya punya dukungan atmosfir yang dibangun dengan baik. Sebagai film horor yang ingin bermain-main dengan psikologis penonton, segmen pembuka ini sebenarnya menjanjikan, ada suasana mencekam ala film-film horor atmosperik Asia, sayangnya Andri Cung dan Witra Asliga seperti ingin banyak cerita dengan waktu yang sempit, yang akhirnya justru meninggalkan banyak detil tidak terjelaskan. Ditambah dengan editing yang cukup mengganggu kenyamanan saya mengolah cerita.

Beda dengan “Insomnight” yang cukup menegangkan, “Rawa Kucing” masih arahan Andri Cung, jadi segmen yang menurunkan ketegangan tersebut. Dibungkus sangat vintage dengan artistik bernuansa budaya etnis Cina yang kental, sesuai dengan apa yang ingin diceritakan. Fokus di sebuah daerah bernama sama persis seperti judul, Rawa Kucing di tahun 80-an. Menyorot wanita cantik kaya raya bernama Ayin (Aline Adita) yang lupa dengan keluarga dan malah asyik pesta-pesta dan mabuk-mabukan bersama sahabat-sahabatnya. Ayin biasa “main” lelaki, tidak terkecuali pada malam di hari ulang tahunnya, dia sudah berniat untuk bersenang-senang bersama lelaki yang sudah dipesan lewat seorang mucikari. Karena semua sudah dipesan, stoknya hanya tinggal Welly (Natalius Chendana), perjaka tulen lugu yang ternyata tak bisa bicara inilah yang akhirnya akan mengubah Ayin. “Rawa Kucing” bisa dibilang tepat ditempatkan setelah “Insomnight” yang agak depresif itu, di segmen kedua ini saya benar-benar bisa melepas “lelah” setelah diajak berhoror-ria. “Rawa Kucing” bikin saya ketawa sambil dibuat takjub dengan artistik yang dipoles begitu cantik. Editing pun lebih baik dan Andri Cung bisa memainkan kedua pemainnya Aline dan Natalius dengan pas, untuk hadirkan chemistry yang dibutuhkan pada porsi yang menyentuh hati. Film cinta yang menyenangkan, walaupun saya tidak suka dengan selipan lagu di akhir film…hmm apa yah, terlalu menyek-menyek.

Segmen terakhir adalah favorit saya, “Impromptu” arahan William Chandra, menjadi satu-satunya segmen di “3 Sum” yang saya pikir bisa menjadi menarik jika dijadikan sebuah film panjang. Pokoknya kalau ada berantemnya dan tusuk-tusukan, terlihat bagus buat saya, hahahaha cetek banget yah. Sepasang pria dan wanita yang sedang terburu-buru ke sebuah tempat tiba-tiba dihadang oleh sekelompok polisi, yang jika dilihat dari seragamnya yang tidak rapih, jelas mereka polisi gadungan. Sebelumnya mereka memang sudah sukses mendapatkan korban wanita muda, dengan modal berpura-pura mengadakan razia, polisi-polisi bohongan ini bergantian memperkosa sang korban. Sayangnya kali ini para polisi berhadapan dengan target operasi yang salah, karena yang diberhentikan adalah dua orang pembunuh bayaran. Bag-big-bug dan diakhiri dengan crot! “Impromptu” jadi penutup yang seru, walaupun diesekusi masih terpincang-pincang dalam urusan koreografi berantem dan pace aksinya, tapi saya tak peduli lagi ketika William Chandra punya gaya asyik ketika berbicara soal adegan baku hantam yang stylish, ditempeli juga dengan scoring musik elektronik yang aduhai, mengajak adrenalin menari-menari sambil bertepuk tangan ketika si cantik Hannah Al Rashid mulai menghajar satu persatu polisi gadungan. Serius, saya penasaran dengan duo pembunuh bayaran ini, dengan durasi yang terbatas, wajar jika pertanyaan-pertanyaan mulai menggerogoti, dan banyak yang tidak terjelaskan oleh filmnya, please buat “Impromptu” jadi film panjang.