Berbicara soal Juan Antonio Bayona, tiba-tiba “The Orphanage” tanpa saya panggil langsung menyelinap keluar dari ingatan. Film yang tidak mudah untuk dilupakan, menuliskan judulnya saja, saya jadi ingat salah-satu adegan yang sukses menghantui saya selama beberapa hari. Salah-satu film horor yang menyeramkan. Berbekal dari pengalamannya menangani film horor tersebut, Bayona bersama dengan Sergio G. Sánchez, partner-in-crime-nya di “The Orphanage”, kembali lagi menyuguhkan film yang “menyeramkan”. Namun “The Impossible” bukan lagi akan mengajak penonton untuk ikut ketakutan karena dijejali dedemit-dedemitan, tapi sebuah horor yang datangnya dari alam, ketika alam tidak sedang berstatus “ramah”, menyembunyikan keindahannya dan berbalik murka. Jika “The Orphanage” sudah membuat saya tidak selamat dari yang namanya mimpi buruk, kali ini berlatar belakang bencana alam tsunami di tahun 2004 silam, saya lagi-lagi tidak selamat, “The Impossible” sukses menyeret emosi saya. Tipikal film “sedialah payung sebelum hujan”, siapkan tissue! Bagi mereka yang mudah nangis. Jadi jangan bilang saya tidak memperingatkan.

“The Impossible” tentu saja tidak langsung “membentak”, tapi perlahan-lahan buat kita merasa nyaman lebih dulu, berkenalan dengan Enrique (Ewan McGregor) dan María Belón (Naomi Watts) serta anak-anaknya, sambil mengumpulkan simpatik dan menjalin chemistry dengan mereka. Film ini punya cukup waktu bagi kita untuk merasakan momen-momen menyenangkan bersama Enrique dan keluarganya, dan kita tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Niat untuk bersenang-senang rayakan liburan natal, berubah! ketika penginapan mereka diterjang tsunami. Pesisir pantai Thailand luluh-lantah dan Enrique tercerai-berai dari keluarganya. Seperti tsunami yang datangnya tiba-tiba, “The Impossible” pun tak pernah memberitahu penonton kapan akan diterjang oleh adegan-adegan yang menyesakkan, tahu-tahu saya sudah terseret arus deras film ini yang memilukan. Emosi ini seakan tergulung-gulung dan dibiarkan terombang-ambing tidak karuan. Ditambah berdasarkan kisah nyata yang memang dialami keluarga Enrique, batin ini pun ikut terkoyak dan tersayat, tidak bisa membayangkan apa yang terjadi di film ini benar-benar menimpa mereka. Yah, sama seperti saat saya melihat berita-berita/ video-video tentang tsunami, termasuk yang belum lama ini terjadi di Jepang, “The Impossible” juga membuat hati ini tenggelam.

Bayona tahu bagaimana membuat “The Impossible” mencekam, seperti yang pernah dilakukannya di “The Orphanage”. Ketika tsunami menerjang, menyeret María Belón, kemudian meninggalkan jejak kerusakan yang dahsyat, semua digarap dengan detil yang fantastis. Art direction-nya luar biasa, membangun Thailand paska tsunami dan dengan kehancuran yang meyakinkan, dan juga tidak asal membuat seting porak-poranda, namun memberikan emosi ke dalam setiap jengkal kehancuran yang saya lihat sepanjang film. Penonton dibuat dekat dengan kehancuran dan penderitaan, kemana mata memandang kita dapat merasakan kepedihan. Semua tentu saja punya level yang tidak dilebih-lebihkan, Bayona tahu batasannya untuk urusan dramatisir, ketika bagian yang memang ditujukan untuk menyentil sisi sensitif penonton, tidak perlu adegan menyedihkan yang terlalu dibuat-buat. Sama dengan setingnya yang meyakinkan, dramanya pun dibangun wajar, ada dramatisasi, walau bagaimanapun ini film, tapi semua tampak jujur di layar. Ini bukan film yang ingin mengeksploitasi mentah-mentah kehancuran dan penderitaan, tapi soal “harapan itu selalu ada”, yah apapun kondisinya. “The Impossible”, menceritakan harapan itu, deretan kebetulan-kebetulan yang terjadi di film adalah juga bagian dari membangun brick by brick sebuah harapan. Bukan “dasar film!”, sebuah kebetulan juga terjadi di kehidupan nyata kok, film ini menggambarkan semua dengan porsi wajar.

Naomi Watts jadi highlight disini, rela tampil jelek, dipoles hancur-hancuran, semua tidak sia-sia, karena seimbang dengan aktingnya yang luar biasa. Begitu pula dengan Ewan McGregor yang penampilannya juga tak kalah bagus. Disini, para orang tua tak jadi satu-satunya yang memikat perhatian saya, tapi juga para pemain anak-anaknya yang ikut berakting cemerlang di hadapan kamera. Tom Holland berperan sebagai Lucas, Samuel Joslin sebagai Thomas dan Oaklee Pendergast sebagai Simon yang berusia 5 tahun, ketiganya ikut memberikan nafas kepada film untuk semakin hidup dan makin mendekatkan layar untuk bisa menyentuh hati. Dengan durasinya yang hampir 2 jam, “The Impossible” punya banyak waktu untuk membuat saya sesak nafas, bukan karena asma saya kembali kambuh, tapi oleh ulah brengsek Bayona, apalagi ketika melihat seorang Naomi Watts harus digulung-gulung oleh terjangan tsunami, ini lebih mengerikan dari adegan “pemerkosaan” di Evil Dead sekalipun. Ini jelas film “horor”, Bayona melakukannya lagi, beberapa penonton dibelakang saya pun entah berapa kali terdengar teriak, di sebelah saya setiap kali menutup mulut. Begitu lampu menyala, saya bisa melihat penonton menuju pintu bertuliskan “exit” dengan mata yang habis nangis, apakah saya ikut menangis?