“Bangsat!”, well mungkin satu kata itu sudah cukup untuk menggambarkan kaya apa film ini, jadi saya tidak perlu repot-repot menuliskan review ini, filmnya pun sudah “basi”, nga penting dibahas. Anyway, saya tetap akan bahas. Labil. Menempelkan ide menyambung manusia menjadi seperti centipede (kelabang), mulut dijahit ke anus, jadi siapapun yang buang kotoran, yang berada di posisi belakang bersiaplah untuk menikmati. Sesuatu yang tidak mudah dilupakan, walaupun tidak sesulit melupakan mantan pacar. Ide menjijikkan itulah yang ditanamkan “The Human Centipede”, yah film pertama memang kurang begitu berkesan, Tom Six masih “pemalu” menyajikan apa yang sudah ditawarkan premisnya, alih-alih film yang mengacungi jari tengah ke penontonnya, First Sequence justu bikin saya patah hati. Tom Six memilih untuk jadi anak baik-baik—bukan sesuatu yang saya harapkan sebelumnya. Jadi apa yang dia lakukan di film kedua, simple! Tom hanya melakukan apa yang seharusnya dia lakukan di film pertama. “The Human Centipede 2” adalah balas dendam Tom, Full Sequence adalah bentuk kemarahan dia, saya yang menyebut dia anak baik-baik, ya sekarang justru berbalik, saya “dihajar”, mental ini “di-bully” dan “disiksa” oleh Tom, yang berubah dari baik-baik menjadi seorang anak yang membawa senapan mesin ke sekolah dan menghujani kantin sekolah dengan peluru. Biadab.

Semenarik premis film pertama, “The Human Centipede 2” juga punya premis yang bisa dibilang jenius. Pasti akan ada sekelompok orang, pergi ke suatu tempat, mobil mogok di tengah jalan, tidak ada sinyal, ada yang menolong, ternyata orang gila yang sama tergila-gilanya dengan kelabang seperti Dokter Heiter. Semua terulang. Tentu saja itu versi cerita bodoh dari saya. Satu-satunya yang benar hanyalah film ini tetap punya orang gila, dalam wujud Martin Lomax (Laurence R. Harvey), punya kelabang sebagai binatang peliharaan dan waktu luangnya sebagai petugas keamanan hanya dihabiskan untuk menonton “The Human Centipede” berulang-ulang. Yah sama kaya saya, Martin adalah seorang penikmat film, bedanya jika ditanya apa film favoritnya yang tidak bosan ditonton berulang kali?—Martin tidak akan menjawab “Little Miss Sunshine”, sambil tersenyum dia pasti jawab “The Human Centipede”. Apa yang jadi pertanyaan saya adalah apa yang terjadi jika dari awal Martin menonton “Twilight”, apakah dia juga akan terinspirasi menjadi vampir “bercahaya” atau manusia serigala yang doyan buka baju. Uugh, ternyata lebih horor! Saya lebih memilih Martin tetap menonton “The Human Centipede” sampai berbusa kalau begitu. Hahahahahaha.

Terispirasi, terobsesi dan 12 orang korban untuk dijadikan “The Human Centipede”, sebuah tantangan yang sepertinya mengasyikkan dari Tom Six. Tanpa bertele-tele melalui Martin yang menggantikan peran Heiter, Tom menghadirkan “pesta” yang sesungguhnya. Mengundang banyak adegan ngehe, bergalon darah dan lebih banyak mulut yang menempel ke anus, hoek. Dengan tone yang sok asyik, Tom benar-benar tahu bagaimana membuat saya move on dari patah hati gara-gara film pertama, dan dia tahu saya tidak lagi peduli pada cerita, jadi “The Human Centipede 2” tidak perlu pakai cerita, thanks Tom. Jadi, karena Tom tidak lagi perlu mengkhawatirkan cerita, dia bisa lebih punya banyak waktu untuk membuat 90-an menit durasi film ini jadi sebuah mimpi buruk yang benar-benar mimpi buruk. “Banyak omong lo semua, nih gw kasih apa yang lo mao”, itulah “The Human Centipede 2”, tidak perlu lagi banyak protes, film pertama kurang sadis, Tom sekarang menyodorkan apa arti “sadis” yang sebenarnya, dengan dosis yang melebihi batas pula. Film pertama “malu-malu”, Tom sekarang buka-bukaan, kepala dipukulin besi sampai hancur, gigi dirontokin pakai palu, kulit pantat dirobek sampai darah meluber, bayi baru lahir main injek sampai hancur… fiuh itu belum semuanya.

“The Human Centipede 2”, itu memang berlebihan tapi biarlah Tom asyik sendiri, saya tidak akan lagi banyak komentar ini-itu, tidak pernah berharap ceritanya akan sebrilian konsep premisnya, lagi pula siapa yang peduli pada cerita untuk film kaya “The Human Centipede 2”. Toh saya tidak akan terangsang jika ceritanya bagus pun. Tom Six hanya ingin membuat saya puas, dan dia melakukannya dengan benar kali ini. Mengacungi saya dengan jari tengah belepotan darah, sekaligus meludahi tepat ke wajah, yang saat itu sedang berseri-seri melihat Martin asyik “bermain” dengan mainan barunya, 12 orang yang siap dijadikan replika binatang favoritnya, kelabang. Sebetulnya bagian paling menjijikkan dan mengerikan di film ini tidak hanya datang dari beraneka-ragam adegan gore-nya, seorang Martin yang diperankan Laurence R. Harvey lebih sinting 10 kali lipat dari Heiter sendiri. Tanpa dia memegang sebuah linggis dan bermandi darah, hanya melihat wajah dan cekikikan tawanya, bagi saya sudah cukup jadi teror tersendiri. Sebuah poin menguntungkan untuk “The Human Centipede 2” karena sudah menemukan arti kata “sakit” dalam bentuk seorang yang bernama Martin. Entahlah darimana Tom Six menemukan Martin, saya tidak pernah peduli. Mungkin khusus dipesan dari rumah sakit jiwa. Apa yang jadi perhatian saya adalah “The Human Centipede 2” sukses mempecundangi film pertama, menampar saya dan “memperkosa” mental. Adrenalin saya pun berdiri dan tepuk tangan. Anj*ng lo, Tom Six!