Jangan kaget kalau tidak ada “The Raid” di daftar film terbaik 2012 versi saya ini, bukan…bukannya saya tidak menyukai film tersebut, terus tak memasukkannya ke dalam top ten, duh! bisa digampar-tendang-bulak-balik sama Mad Dog. Seperti yang saya singgung di bagian pertama, “The Raid” sudah masuk di daftar terbaik tahun lalu, jadi saya seenaknya tidak kembali menyelipkannya di list tahun ini. Ah benar-benar tahun yang menyenangkan untuk film Indonesia, ke-lima karya film dibawah ini benar-benar yang sudah membuat saya semakin jatuh cinta, ya jatuh cinta kepada film Indonesia tentunya. Film-film yang mengingatkan orang-orang yang bilang film Indonesia itu sampah, untuk setidaknya nengok sebentar ke bioskop dan sekali-kali nonton, kita punya banyak film yang berkualitas, lho. Selain sepuluh film di daftar ini, sebetulnya masih ada beberapa film keren yang sayangnya tidak terpilih, mungkin kalau saya bikin top 20, film-film itu pastinya masuk dalam jajaran film terbaik tahun ini. Sebelum saya lanjut dengan posisi ke-5 sampai yang terbaik, inilah film-film yang patut juga di acungi jempol, film-film berkualitas yang menghiasi wajah perfilman nasional tahun 2012, special mentions: Jakarta Hati, Hello Goodbye, Habibie & Ainun, Negeri 5 Menara, Atambua 39 Derajat Celcius, Republik Twitter dan Tanah Surga Katanya.

Untuk momen paling berkesan, pantaslah jika saya menyebut film “Lewat Djam Malam” (1954) karya Usmar Ismail, adalah sebuah pengalaman menonton film Indonesia yang luar biasa di tahun 2012. Hasil restorasinya benar-benar cantik, walau ada beberapa bagian yang sulit diperbaiki, namun tidak mengurangi rasa kagum saya terhadap film yang juga sempat ditayangkan di Cannes tahun lalu ini. Sebuah masterpiece, sebuah sejarah.

05. Mata Tertutup

Produser: Asaf Antariksa, Endang Tirtana Sutradara: Garin Nugroho Penulis: Tri Sasongko Pemeran: Jajang C Noer, M Dinu Imansyah, Eka Nusa Pertiwi, Kukuh Riyadi.

Film yang menghantarkan Jajang C Noer memenangkan Piala Maya 2012, untuk kategori aktris pemeran utama terbaik. “Mata Tertutup”, yang sayangnya tidak begitu lama nangkring di bioskop ini begitu menyita perhatian saya, bukan saja karena ini filmnya Garin Nugroho, tapi juga tema yang ia ambil. Ada tiga kisah di film ini, ada seorang gadis yang sedang kebingungan dengan identitasnya justru malah terlibat dengan suatu kelompok yang katanya sesat. Kisah lain bercerita tentang seorang remaja yang karena faktor ekonomi, lalu terjun ke dalam sebuah organisasi teroris. Ada juga cerita tentang seorang ibu yang berjuang demi bisa kembali bertemu anaknya yang dikabarkan ikut dengan kelompok “tidak benar”. Semua kisah itu terlebur bersama fakta-faktanya, yang sesuai judulnya membuka mata kita. Memberitahu kita bagaimana sih kelompok-kelompok yang berkedok agama ini bekerja, merekrut orang-orang yang sedang dalam keadaan labil, dan setelah menjadi anggota, sangat sulit untuk bisa keluar. Garin Nugroho pun tidak serta-merta menghujani film dengan ajaran moral, pesannya jelas ada tapi oleh Garin disisipkan tanpa ingin menceramahi penonton. Dan, kelompok yang sesat, katanya itu, juga tidak dijadikan target penghakiman. Film berjalan apa adanya, membiarkan penonton untuk mengambil kesimpulannya sendiri. Ini juga karya Garin yang tidak bermain dengan banyak simbol, tapi blak-blakan, dikemas juga dengan humor-humor menyegarkan. Film penting…kata saya.

04. Ambilkan Bulan

Produser: Putut Widjanarko Sutradara: Ifa Isfansyah Penulis: Jujur Prananto Pemeran: Lana Nitibaskara, Landung Simatupang, Hemas Nata Negari, Jhosua Ivan Kurniawan, Berlianda Adelianan Naafi, Bramantyo Suryo Kusumo.

Jika musikal adalah nyawa di “Ambilkan Bulan”, maka visual dalam film ini bisa saya artikan sebagai tubuh indah yang membungkus nyawa tersebut. Sangat jarang saya bisa melihat sebuah film anak Indonesia yang dipoles oleh visual efek yang begitu niat. Segala macam imajinasi “liar” yang ada dikepala Amelia, mampu diterjemahkan dengan sangat baik, terwakili oleh visual-visual fantasi yang menggemaskan, manis, lucu dan unik. Dengan mudah sajian visual tersebut tak saja memanjakan mata yang sedang asyik meraba-raba keindahannya, tapi juga mengajak penonton untuk ikut bermain bersama di dunia yang sudah diciptakan oleh Amelia. Sejak opening, film ini sudah membuat saya “betah” dengan gaya berceritanya yang unik, memanfaatkan gambar-gambar layaknya buku cerita anak-anak. “Ambilkan Bulan” pun tak terus-menerus mengumbar sisi kanak-kanak, adakalanya drama yang lebih serius juga dihadirkan, ditambah dengan konflik “sederhana” yang tak kalah menarik. Berjalan beriringan dengan cerita, pesan-pesan kebaikan bisa terlihat ikut mengikuti, tapi Ifa tahu cara terbaik untuk menyampaikannya pesan tersebut. “Ambilkan Bulan” sejak awal adalah film yang menyenangkan, tak ada kesan menggurui, semua pesan yang baik-baik itu mengalir bersama cerita, bersembunyi diantara adegan-adegan yang sedang “bermain”, menunggu untuk dipetik.

03. Rayya, Cahaya di Atas Cahaya

Produser: Bayu Priyawan Djokosoetono, Lila Bayu, Dewi Umaya Rachman, Sabrang Mowo Damar Panuluh Sutradara: Viva Westi Penulis: Titi Sjuman, Tio Pakusadewo, Christine Hakim, Lila Azizah, Verdi Solaiman, Alex Abbad, Masayu Anastasia, Arie Dagienkz, Fanny Fabriana.

Dengan dialog sok indah-nya dan karakter Rayya yang nyebelin memang perlu waktu untuk saya mengenal film ini, tapi jeda itu tak lama. Karena dengan asyik, Westi mengajak saya untuk duduk di kursi belakang, berebut tempat dengan koper-koper milik Rayya, hanya untuk “ikut” dalam perjalanan yang tujuannya masih nga jelas. Tapi ikut saja tidak cukup, “Rayya” memberikan kita kesempatan untuk tak hanya jadi penonton, tapi juga memberikan saya kesempatan untuk jadi pendengar yang baik, karena dua orang ini memang butuh didengar. Mendengar Rayya meledak-ledak dibalas bijak oleh Arya dan sesekali tawa khasnya, mendengar segala curhatan kegalauan dan ketika keduanya saling jujur membuka masa lalu untuk ditertawai. Ya, tanpa sadar saya memang bukan lagi penonton, tapi juga teman seperjalanan yang ikut mereka dari awal sampai akhir perjalanan. “Rayya” membuka jalan untuk saya peduli pada apa yang terjadi pada dua karakter utamanya, didukung memang dengan kekuatan akting yang luar biasa dari Tio Pakusadewo dan Titi Sjuman, menghasilkan sebuah chemistry yang asyik dan apa adanya. Perjalanan “Rayya” tak sekedar “jalan-jalan” tapi juga petualangan batin, mencari cahaya untuk menerangi kata “ikhlas” dalam lembaran hati mereka masing-masing. “Rayya” bukan sekedar mengunjungi lokasi-lokasi pemotretan yang memanjakan mata, tapi juga mengajak saya bertemu banyak potret individu-individu menarik sepanjang perjalanan. Well, seperti kata Rayya, perjalanan ini adalah Universitas kehidupan, saya banyak belajar dari hanya duduk manis di kursi belakang mobil Range Rover-nya Arya. Terima kasih Viva Westi untuk jalan-jalan serunya.

02. Cita-Citaku Setinggi Tanah

Produser: Eugene Panji Sutradara: Eugene Panji Penulis: Satriono Pemeran: M Syihab Imam Muttaqin, Rizqullah Maulana Daffa, Iqbal Zuhda Irsyad, Dewi Wulandari Cahyaningrum.

CCST jelas punya agenda untuk “mendidik” penontonnya, khususnya penonton anak-anak, mengisi cerita tidak hanya dengan kelucuan Agus dan kawan-kawan-nya tapi juga menyuapi dengan pesan-pesan inspiratif. Berbeda dengan film-film anak yang selama ini berseliweran, yang selalu takluk dengan yang namanya pesan moral, sampai akhirnya harus mengorbankan sisi hiburan, CCST asyiknya tidak terbebani oleh pesan moral “maksa” yang bertumpuk tak karuan. Panji di film ini ingin pesan-pesan itu membaur dengan cerita yang sedang mengalir, yah membiarkan penonton untuk cerdas mencari sendiri “pesan moral” tersebut. Alhasil saya asyik menyerap setiap pesan yang terselip dalam adegan-adegan di CCST, tanpa harus merasa digurui atau diceramahi. Seperti berada diruang kelas dengan guru asyik, yang tidak hanya menyuruh kita untuk mencatat apa yang ia tulis di papan tulis, tapi membiarkan kita untuk belajar sendiri, jika memang ada pertanyaan, silahkan mengacungkan jari, itulah CCST. Didampingi oleh gambar-gambar yang indah, CCST mengajarkan apa yang selama ini kita lewati begitu saja, cita-cita yang tinggi tidak salah, tapi apakah itu memang yang kita inginkan—kenapa tidak kita mulai dari apa yang benar-benar kita inginkan, sesederhana makan di restoran padang seperti Agus misalnya. Cita-cita juga tidak terbatas hanya satu, kita bisa punya banyak cita-cita, setiap hari punya cita-cita juga boleh, tapi jangan hanya dicita-citakan saja, diwujudkan. CCST memotivasi saya untuk mewujudkan cita-cita saya yang selama ini hanya tertulis di kepala, membuat film dan menulis buku sendiri.

01. Lovely Man

Produser: Teddy Soeriaatmadja, Indra Tamoron Musu, Adiyanto Sumardjono Sutradara: Teddy Soeriaatmadja Penulis: Teddy Soeriaatmadja Pemeran: Raihaanun Soeriaatmadja, Donny Damara.

Puas dengan cerita, “Lovely Man” juga dibungkus Teddy dengan shot-shot yang tak kalah indah dengan ikatan emosi yang sudah terjalin antara Ipuy, Cahaya dan juga penontonnya, termasuk saya. Digawangi oleh Ical Tanjung, Jakarta yang keras jadi selembut hati Ipuy yang lama-lama melunak, terpotret indah menjadi latar belakang manis menemani perkenalan-ulang yang singkat antara ayah dan anak. Namun tetap keindahan Jakarta itu hanya akan jadi kerlap-kerlip nge-blur, pemanis yang cukup takarannya, ketika adegan-adegan dimana kamera fokus untuk menangkap emosi antara Cahaya dan Ayahnya saja sudah dibuat sedemikian indah. 75 menit seperti belum cukup bagi saya untuk meninggalkan “Lovely Man”, tidak rela untuk berpisah dengan Ipuy dan Cahaya, perkenalan tadi malam sungguh luar biasa. Teddy sudah menghadirkan kisah yang begitu membekas di hati saya, jalan-jalan malam yang mengajak saya tidak hanya melihat Jakarta dibalik keglamorannya tetapi menengok kehidupan para transgender yang biasanya kalau di “film lainnya” hanya dijadikan bahan lawakan, disini mereka di-manusiakan. Atraksi konflik dan perjalanan antara Cahaya dan Ipuy dalam mencari ikatan ayah dan anak yang selama ini hilang, disajikan tanpa dramatisasi yang berlebih, semua porsinya sangat pas, termasuk porsi akting Donny Damara dan Raihaanun Soeriaatmadja.

Maju Terus Film Indonesia!!