Melihat trailer-nya saja, saya sebenarnya sudah dibuat shock! terganggu dan ya tentu saja penasaran dengan keseluruhan isi “The Act of Killing” (Jagal), tapi rasa penasaran itu harus rela dipendam, karena akses untuk menonton film ini bisa dibilang “terbatas”, apalagi menyangkut konten filmnya yang sangat sensitif. Jadi ketika film dokumenter yang disutradarai oleh Joshua Oppenheimer ini tayang di sebuah cafe bernuansa perpustakaan di daerah Kemang, saya segera ngacir, tak ingin kehilangan kesempatan menonton film yang berisi pengakuan para algojo-algojo 65 ini. Hadir di tempat screening lebih awal pun jadi keharusan, jika tidak mau berebut kursi yang jumlahnya sangat terbatas, kecuali ingin nonton sambil berdiri selama 159 menit, ya silahkan saja. Beruntung saya dapat kursi kayu, yah agak tidak nyaman memang, tapi ya sudahlah—sambil menatap dengan iri orang yang duduk di sofa disebelah, ah enaknya ha-ha-ha. Well, lupakan soal kursi, saya pada akhirnya lupa ketidaknyamanan itu, digantikan dengan rasa tidak nyaman lain ketika “Jagal” mulai menyuapi saya dengan “kepahitan” dalam bentuk curhat para pembunuh, yah pembunuh dalam arti yang sebenarnya.

Dulu sewaktu rejim orde baru masih bertahta di Indonesia, kita bertahun-tahun dicuci-otaknya oleh sebuah film propaganda berjudul “G 30 S PKI”, diputar tiap tanggal 30 September hanya untuk mengingatkan bangsa Indonesia bahwa PKI dan komunis itu jahat, kejam dan wajib dimusnahkan, sekaligus sebuah “modus” untuk menyorot siapa sang pahlawan. Setelah rejim orba runtuh dari singgasana, kita semua “dicerahkan”, film itu ternyata hanya rekayasa yang menutupi fakta yang sebenarnya, sebuah kudeta terselubung yang kemudian berlanjut dengan pembantaian berdarah. Orang-orang yang dituduh sebagai antek PKI dihabisi, dan jumlahnya tidak sedikit, dari buku yang saya baca, bahkan korbannya hingga jutaan orang, tersebar di seluruh Indonesia. Lewat “Jagal”, sejarah kelam bangsa ini pun kembali diceritakan, kali ini melalui sudut pandang sang pembantainya langsung, Anwar Congo dan kawan-kawannya.

Kesaksian para algojo 65 ini, Anwar Congo dan geng pembunuhnya benar-benar membuat hati nurani saya “melotot”, mereka dengan bangga menyebut diri mereka sendiri “tukang jagal”, membunuh ratusan orang atau bahkan ribuan orang yang dituduh PKI, tanpa ada sedikitpun rasa sesal. Bahkan disini, Anwar Congo secara terang-terangan memperlihatkan bagaimana dulu dia membunuh orang, bermodalkan tali kawat dan kayu. Sambil asyik tertawa, pria berusia 72 tahun tersebut dengan fasih melilitkan kawat ke leher seorang pria yang berpura-pura menjadi korban. “Kalau PKI kejam, kita lebih kejam”, kata Adi Zulkadry, salah-satu rekan Anwar Congo yang juga ikut serta dalam pembantaian PKI di Sumatera Utara di tahun 1965. Saya tidak peduli siapa lebih kejam, apa yang kemudian menggerogoti isi pikiran saya adalah kok bisa para pembunuh ini bebas tak tersentuh oleh hukum dan hidup enak, jawabannya jelas, keadilan di negeri inilah yang kejam, bahkan bisa dibilang sadis.

Jangan bayangkan “Jagal” akan dikemas ala film-film dokumenter Michael Moore, yang menghibur itu. Sebaliknya dengan durasinya yang hampir 3 jam, jujur saja saya agak kelelahan melahap apa yang disuguhkan Joshua Oppenheimer, apalagi dengan cara film ini merekontruksi apa yang terjadi di tahun 1965, sebuah film di dalam film yang terkadang disampaikan begitu absurd, belum lagi Joshua tidak “bersahabat” ketika berurusan dengan perpindahan adegan ke adegan yang agak acak, butuh waktu memang untuk beradaptasi dan mencerna apa yang sedang terjadi di “Jagal”. Walau begitu, sebagai sebuah dokumenter yang berniat untuk mengungkap kebenaran, entah berapa persen kebenarannya, “Jagal” setidaknya membuka mata saya lebih lebar, untuk melihat sisi lain dari sejarah kelam yang pernah terjadi pada bangsa ini dari sumber yang berbeda. Kali ini melalui sudut pandang mereka yang tangannya pernah bersimbah darah, bercerita apa adanya layaknya sebuah dongeng sebelum tidur, “Jagal” pun mendokumentasikan cerita mereka apa adanya, walau sekali lagi dikemas “aneh”, Anwar Congo dihadirkan sebagai sosok manusia biasa, bukan monster, seorang pembunuh yang ternyata juga bisa kasihan melihat anak itik yang kakinya terluka, seorang kakek dari dua orang cucu yang sayang dengan keluarganya. Ngeri, horor, shock, speechless, kejam, jahanam, biadab, marah, sesak, sedih, menjagal hati nurani! “Jagal” pada akhirnya hanya menyisakan mimpi buruk, dan pandangan menakutkan tentang negeri ini, negeri yang dikelola oleh preman, atau Anwar menyebutnya sebagai “free-man”. Ketika saya keluar dari tempat screening, seorang teman bertanya, “bagus?”, saya kemudian menjawab “silahkan tonton sendiri deh”. Joshua jelas sinting, dan jika ada yang menyebut “Jagal” film penting, saya setuju.