Bagi mereka yang tidak puas dengan karya-karya Tim Burton belakangan ini, ya termasuk saya, walau tidak terlalu sampai membencinya—saya masih suka sama “Dark Shadows” (2012) dan bahkan memuji “Alice in Wonderland” (2010). Maka film animasi stop-motion terbaru Burton bisa dibilang sebuah privilege, mengajak kita untuk kembali bernostalgia layaknya menonton film-film klasik Burton yang kita cintai. “Frankenweenie” adalah sebuah tiket emas, layaknya di “Charlie and the Chocolate Factory”, yang memberikan kita ijin untuk kembali masuk ke dunia Tim Burton yang sebenarnya, merasakan lagi “kepuasan” hasil olahan imajinasi liar dari isi kepala produser “The Nightmare Before Christmas” (1993) tersebut. Menonton “Frankenweenie” jelas adalah sebuah penyegaran, walaupun film ini sebenarnya tidak benar-benar orisinil, karena toh diadaptasi/di-remake dari film pendek Burton berjudul sama di tahun 1984. Namun setelah disodorkan karya-karya yang itu-itu saja dengan bintang kesayangannya, Johnny Depp dan Helena Bonham Carter—yang selalu dipermak seaneh mungkin—“Frankenweenie” saya tekankan sekali lagi adalah penyegaran dan tidak ada salahnya jika memberikan film ini embel-embel salah-satu film terbaik Tim Burton, karena memang pantas.

Menceritakan Victor Frankenstein (Charlie Tahan) yang berhasil menghidupkan kembali anjingnya, Sparky, yang sudah mati ditabrak mobil dengan bantuan ilmu pengetahuan yang diajarkan di sekolah. “Frankenweenie” dari awal sudah begitu menarik perhatian, khususnya dari keberadaan seekor anjing unyu (kalau anak sekarang bilang) bernama Sparky, tingkah laku anjing bermuka lonjong-lancip dengan mata besar ini benar-benar langsung membuat kita jatuh cinta. Jaminan, siapapun yang melihat tampaknya ingin memelihara Sparky di rumah, termasuk saya yang begitu melihat untuk pertama kalinya langsung bilang “lucuuuu!!” (sok imut). Yah Sparky memang imut, tapi sekali lagi ini adalah film Tim Burton, imut-nya “Frankenweenie” pun dipoles dengan gaya kelam dan gothic yang sudah jadi ciri khas sutradara berambut berantakan ini. Tapi tentu saja karena disana ada nama Walt Disney Pictures, batasan itu tetap ada, Tim Burton tak bisa seenaknya membuat “Frankenweenie” jadi tidak bisa ditonton anak-anak. Well walau begitu bukan berarti film yang punya bujet hampir 40 juta dolar ini, menjadi karya yang setengah-setengah, Burton bisa dibilang “lepas” dalam berimajinasi, batasan itu masih bisa diolah sedemikian rupa tapi tidak serta merta meninggalkan gaya khasnya, keliarannya tidak kenal kompromi jika itu berbicara soal kreatifitas. Bagi anak-anak memang tampaknya “Frankenweenie” akan jadi seperti tontonan penghasil mimpi buruk, tapi selain nantinya menghibur untuk orang dewasa seperti saya, menurut saya film ini masih layaklah ditonton penonton cilik. Boo!

Berdurasi 87 menit, “Frankenweenie” yang keseluruhan filmnya dibungkus oleh hitam dan putih, alias tidak berwarna, awalnya memang terkesan lamban dalam mendongengkan kisahnya, tapi bersabarlah, karena Tim Burton justru tidak mau terburu-buru dan dengan ritme yang “aman” membiarkan kita untuk kenal dekat dengan masing-masing karakter. Termasuk nantinya dibuat gemes oleh perilaku Sparky yang memang menggemaskan itu. Well, begitu “Frankenweenie” masuk ke paruh kedua, tanpa sadar saya benar-benar seperti Sparky yang diikat, mata saya tak bisa kemana-kemana dan perhatian saya “terikat” untuk memandang ke layar, menyaksikkan begitu asyiknya Burton kali ini menceritakan bagian demi bagian dari filmnya, sesuatu yang tampaknya hilang di beberapa film live-action dia belakangan ini. “Frankenweenie” tampak jelas memperlihatkan seorang Tim Burton yang sedang bersenang-senang, seluruh hatinya seperti ditumpahkan di film ini. Saya bisa merasakan “film yang dibuat dengan hati” itu di setiap bagian “Frankenweenie”, seolah-seolah ini adalah surat cintanya kepada bidang yang ia cintai, yaitu film. Berterima kasih kepada film, “Frankenweenie” pun kemudian dikemas menjadi sebuah tribut bagi film-film monster klasik, selain jelas terlihat homage untuk film Frankenstein, nantinya kita juga akan melihat penampakan manusia serigala, mumi, sampai godzila, monster legendaris dari negeri sakura. Walaupun semua monster-monster itu didesain “seenaknya” Tim Burton, namun penonton—apalagi mereka yang penggemar film-film monster—pastinya akan langsung tahu darimana Burton mengambil inspirasi desain karakter monster-monster di film ini, termasuk bentuk Sparky setelah dihidupkan kembali.

Menyenangkan bisa melihat Tim Burton bisa melakukan apa yang dia cintai, bisa melihat dia bersenang-senang lagi, rasa menyenangkan yang pernah dirasakan sewaktu saya menonton film-film seperti “Big Fish” (2003) ataupun “Edward Scissorhands” (1990). Sekali lagi “Frankenweenie” adalah sebuah kesempatan emas bagi para fans Burton untuk nostalgia, membuat kita kembali ingat kenapa dulu kita jatuh cinta dengan Burton dan film-filmnya. “Frankenweenie” tidak saja dibuat dengan kualitas animasi stop-motion yang brilian dengan detil-detil yang luar biasa, berisi karakter-karakter aneh khas Burton yang sengaja didesain yah untuk membuat penonton terkesima Tapi juga diberikan cerita yang membuat saya enggan untuk cepat-cepat keluar dari bioskop, sebuah kisah yang jauh dari kata membosankan, walaupun pada akhirnya begitu ringan dan sederhana. Well, sesederhana itu pula “Frankenweenie” membuat saya jatuh cinta, tak hanya dari sisi artistik yang bisa dibilang “Tim Burton banget”, tapi lebih kepada bagaimana di film ini Burton sanggup memberikan seluruh hatinya. Didukung juga oleh para pemain yang suara mereka telah membangkitkan setiap karakter di film ini jadi tampak bernyawa, termasuk Charlie Tahan yang meminjamkan suaranya untuk karakter utama Victor. Diiringi oleh alunan scoring yang sama-sama kelam di beberapa bagian dan secara keseluruhan memang pas dengan mood yang ingin ditampilkan, berkat Danny Elfman, komposer langganan Burton. Yah cinta itu katanya bikin kita buta, mungkin itu yang jadi penyebab kenapa saya baru sadar jika “Frankenweenie” adalah film hitam putih, karena sejak awal film ini begitu “berwarna”, mewarnai hati penonton dengan sebuah cinta, cinta seorang anak kepada anjing kesayangannya dan juga Tim Burton pada film.