“Nasib seseorang itu, ditentukan oleh orang itu sendiri…”, kata seorang kakek kepada Agus (karakter utama di film ini)—yah begitu pula nasib film Indonesia, ditentukan oleh penontonnya. Film bagus, kadang hanya ditonton oleh belasan ribu orang, katanya “minta” film Indonesia yang berkualitas, ketika disodorkan malah nga ditonton. Sepi penonton, akhirnya film bagus macam “Rayya, Cahaya Di Atas Cahaya” misalnya, harus “mengalah” turun layar dan tersingkir. Nasibnya tidak berbeda dengan “Cita-citaku Setinggi Tanah”, di minggu pertamanya hanya mendapat 13 ribuan, mirisnya lagi jumlah bioskop yang menayangkan film karya Eugene Panji tersebut terus berkurang, harus berebut dengan jam tayang film-film lain baik itu film Hollywood atau film lokal yang baru saja tayang. Di salah-satu bioskop di bilangan Kalibata saja, yang dulu “setia” dengan film-film lokal, “Cita-citaku Setinggi Tanah” di hari ke-tujuh penayangannya ini hanya kebagian satu slot jam tayang. Sudah banyak himbauan untuk menonton film Indonesia, termasuk seruan #KamisKeBioskop di twitter—sebuah ajakan untuk menonton film Indonesia di hari pertama penayangannya, karena jumlah penonton di hari pertama sangat menentukan nasib film “A”, klo “kosong” yah ada kemungkinan akan cepat turun layar dari satu-persatu bioskop yang menayangkan. Namun ya gencarnya ajakan untuk menonton film Indonesia tetap saja berbanding terbalik dengan jumlah penonton film Indonesia berkualitas, yang dari tahun ke tahun itu justru makin berkurang…

“Cita-citaku Setinggi Tanah” (CCST) adalah salah-satunya, film lokal berkualitas yang juga punya niat mulia, selain membuat film yang “bener” tapi juga beramal. Seluruh penjualan tiket kabarnya akan didonasikan melalui Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia, awesome. Dari judulnya saja, yang menyinggung soal cita-cita, sudah bisa ditebak apa yang akan diceritakan oleh Panji di filmnya. Namun yang menjadi pertanyaan saya adalah “kok setinggi tanah, Panji?”, karena seingat saya, pesan kedua orangtua dan guru di sekolah dulu adalah “gantungkan cita-citamu setinggi langit”, apa saya yang salah ingat? Well, setelah menonton barulah saya mengerti apa arti dari “setinggi tanah”, yang merujuk pada cita-cita salah-satu karakter di film ini, Agus (M Syihab Imam Muttaqin). Berbeda dengan sahabat-sahabat dan teman-temannya di sekolah yang punya cita-cita tinggi, Agus hanya ingin makan di restoran Padang, itulah cita-citanya. Sahabat-sahabat Agus tentu saja langsung menertawakan cita-citanya yang “dangkal” tersebut, yah dibanding dengan cita-cita Sri (Dewi Wulandari Cahyaningrum) yang ingin menjadi artis, Jono (Rizqullah Maulana Daffa) yang bercita-cita menjadi tentara, dan Puji (Iqbal Zuhda Irsyad) yang hanya ingin membahagiakan orang lain, cita-cita Agus pasti terlihat bagaikan lelucon saja. Namun tentu saja CCST bukan soal cita-cita siapa yang paling keren atau cita-cita “sederhana” Agus yang hanya ingin makan enak di restoran Padang. Film yang ditulis oleh Satriono ini menyorot bagaimana cita-cita itu dicapai, melalui Agus, penonton akan disuguhkan kisah penuh inspirasi, walaupun hanya dari sebuah cita-cita yang sederhana dari seorang bocah yang juga sederhana. Kalau dilihat lagi film ini memang sederhana kok, tapi…

Kesederhanaan ceritanya bukan berarti CCST justru “miskin” hiburan, Panji yang sudah malang melintang di dunia iklan televisi, tahu bagaimana membuat CCST menjadi tontonan yang selain kaya pesan juga imajinatif dan tentunya menarik, ditambah karakter-karakter dalam film ini yang sangat-sangat cemerlang, begitu mudah untuk dicintai, termasuk Puji yang hobinya “menggali” lubang hidungnya itu. Sejak awal CCST sudah mampu menculik perhatian, secara mengejutkan walaupun CCST berselimut film anak-anak, tapi Panji mampu mempresentasikan ceritanya tanpa terlihat terlalu kekanak-kanakan, yang membuat saya juga bisa betah sampai 82 menit durasi berakhir. Bersama dengan narasi yang mengalir memperkenalkan Agus, sahabat-sahabatnya dan juga keluarganya, cerita CCST pun mengalir dengan asyik, suara Agus yang sederhana itu seperti menyapa kita untuk masuk ke dunia mereka, mengajak saya untuk menjadi sahabat mereka, dan untuk sesaat saya memang seperti menjadi anak-anak (lagi). Ketika film ini memperlihatkan ruangan kelas Agus dan kawan-kawannya, secara ajaib CCST juga ikut mengajak saya duduk disana, walau hanya di kursi paling belakang, yah hanya untuk mengamati. Ketika ibu guru mulai bertanya “apa cita-cita kalian?”, tidak hanya murid-murid di kelas itu yang ingin menjawab apa cita-cita mereka, tapi juga saya yang sejak dari awal tunjuk tangan dengan semangat dan ingin menjawab “dokter anak” (iya, itu cita-cita saya dulu). Saya malu dengan Agus, walau hanya punya cita-cita ingin makan di restoran Padang, tapi usahanya lebih keras dari saya yang ingin jadi dokter, yah sekecil apapun keinginan kita seperti kata ah saya lupa nama kakek-kakek bijak di film ini, kalau hanya ditulis saja tapi tidak ada aksi untuk merealisasikan keinginan tersebut, yah sama saja bohong. “Cita-cita itu tidak perlu ditulis…”, tapi diwujudkan, ah benar juga ya.

CCST jelas punya agenda untuk “mendidik” penontonnya, khususnya penonton anak-anak, mengisi cerita tidak hanya dengan kelucuan Agus dan kawan-kawan-nya tapi juga menyuapi dengan pesan-pesan inspiratif. Berbeda dengan film-film anak yang selama ini berseliweran, yang selalu takluk dengan yang namanya pesan moral, sampai akhirnya harus mengorbankan sisi hiburan, CCST asyiknya tidak terbebani oleh pesan moral “maksa” yang bertumpuk tak karuan. Panji di film ini ingin pesan-pesan itu membaur dengan cerita yang sedang mengalir, yah membiarkan penonton untuk cerdas mencari sendiri “pesan moral” tersebut. Alhasil saya asyik menyerap setiap pesan yang terselip dalam adegan-adegan di CCST, tanpa harus merasa digurui atau diceramahi. Seperti berada diruang kelas dengan guru asyik, yang tidak hanya menyuruh kita untuk mencatat apa yang ia tulis di papan tulis, tapi membiarkan kita untuk belajar sendiri, jika memang ada pertanyaan, silahkan mengacungkan jari, itulah CCST. Sekali lagi film yang juga dibintangi oleh Agus Kuncoro sebagai Ayahnya Agus ini punya plot sederhana, konfliknya pun sudah bisa ditebak, tapi tak perlu sok pintar, film ini hadir untuk dinikmati. Didampingi gambar-gambar yang indah, CCST mengajarkan apa yang selama ini kita lewati begitu saja, cita-cita yang tinggi tidak salah, tapi apakah itu memang yang kita inginkan—kenapa tidak kita mulai dari apa yang benar-benar kita inginkan, sesederhana makan di restoran padang seperti Agus misalnya. Cita-cita juga tidak terbatas hanya satu, kita bisa punya banyak cita-cita, setiap hari punya cita-cita juga boleh, tapi jangan hanya dicita-citakan saja, diwujudkan. CCST memotivasi saya untuk mewujudkan cita-cita saya yang selama ini hanya tertulis di kepala, membuat film dan menulis buku sendiri… Well, itu cita-citaku, apa cita-citamu?