Apa jadinya yah jika Jason Voorhees, Freddy Krueger dan Michael Myers benar-benar hidup di dunia nyata, bukan sekedar hanya karakter pembunuh bertopeng dan bermuka jelek di film saja? Bagaimana pula jika “pembunuh berantai” bukan sekedar hobi iseng yang mengasyikkan tapi “bisnis”, sebuah pekerjaan layaknya tukang kebun atau tukang hotdog, bedanya disini mereka para serial killer tentu saja tidak mendapatkan sepeser uang-pun, tapi lebih kepada “kepuasan” setelah membasahi tangan mereka dengan darah para korban-korbannya. Ya, “Behind the Mask: The Rise of Leslie Vernon” awalnya mungkin akan tampak seperti film-film slasher konvensional, ketika melihat poster atau cover DVD-nya. Saya sama sekali tidak menyangka kalau film yang disutradarai Scott Glosserman ini sukses menjungkir-balikkan ekspektasi saya, dari “ah paling film slasher gitu-gitu aja”—sampai akhirnya “anj*ng, film apaan nih?! Goblok!”, bukan makian tetapi justru respon terlalu girang saya begitu menginjak 10 menit pertama film ini. “Behind the Mask…” adalah tipe film yang memang harus ditonton sendiri—walau sudah mendengar review-review positif tentang film ini, untuk membuktikan dengan mata dan kepala sendiri kenapa film ini masuk jajaran meta horor terbaik.

Dikemas ala film-film dokumenter, bisa dibilang semi-mokumenter, “Behind the Mask…” akan memfokuskan ceritanya pada tokoh antagonis yang bernama Leslie Vernon (Nathan Baesel), anak baru di dunia pembunuh berantai yang kemudian dijadikan objek film dokumenter oleh Taylor Gentry (Angela Goethals). Bersama kedua temannya yang bertugas sebagai kameramen, Taylor mengikuti kemana Leslie pergi, mereka mewawancarai dan merekam segala aktivitas Leslie yang sedang sibuk menyiapkan “proyeknya”, tentu saja berkaitan dengan membunuh orang tidak bersalah. Dari memilih korban-korban yang tepat sampai Taylor pun diberitahu bagaimana cara membunuh mereka, seolah-olah semuanya adalah rutinitas normal bagi Leslie. Di dunia dimana para pembunuh bertopeng macam Jason dan kawan-kawan diceritakan benar-benar nyata, sampai-sampai di awal Taylor sempat menyempilkan cerita tentang mereka, apa yang dilakukan Leslie memang tampak sebagai suatu “pekerjaan unik”, yang menarik untuk menjadi bahan berita atau film dokumenter. Apa yang dilakukan Taylor tidak jauh beda dengan acara-acara investigasi di salah-satu stasiun televisi, yang membongkar kecurangan-kecurangan para pedagang makanan “jahil”. Hanya saja kali ini objek investigasi yang dibongkar adalah seorang pembunuh… pembunuh beneran dan bukan tukang bakso yang mencampurkan boraks ke baksonya.

Jika selama ini saya hanya disodorkan apa yang terlihat di layar, bagaimana satu-persatu korban dibunuh dengan berbagai cara oleh para pembunuh bertopeng, “Behind the Mask…” bisa dibilang proses dibalik layar film-film slasher yang saya pernah lihat, macam “Halloween”. Leslie Vernon akan mewakili para “seniornya”, untuk mempresentasikan langkah-langkah jitu menjadi pembunuh sejati di film slasher. Menguak apa yang selama ini tersembunyi di balik remang semak-semak tempat favorit para pembunuh bertopeng mengintai korbannya, untuk menjadi seperti Jason dan kawan-kawan tidak asal modal pisau segede gaban, tapi juga strategi dan persiapan matang sebelum beraksi. Memilih korbannya pun tak asal pilih, tapi Leslie Vernon punya aturan-aturannya sendiri agar nantinya dia tidak kesusahan membunuh mereka. Jika “Zombieland” punya deretan survival rule—untuk bisa selamat dari para zombie, “Behind the Mask…” secara tidak langsung mengajari kita bagaimana selamat dari sebuah film slasher, jurus-jurus rahasia agar kita tidak berakhir mati ditangan para pembunuh-pembunuh itu, diungkap di film ini. Leslie Vernon ini seperti pesulap bertopeng yang sengaja mengungkap rahasia-rahasia sulap, saya lupa nama acaranya, tapi pasti kalian tahu siapa yang saya maksud. Well, “Behind the Mask…” adalah buku panduan untuk mereka yang ingin berkarir di dunia per-slasher-an, menjadi pembunuh seperti Leslie, ini “Serial Killer for Dummies”.

Walau kesannya mengolok-ngolok film slasher, “Behind the Mask…” bukan film parodi, jangan samakan ini dengan seri-seri “Scary Movie”. Lebih serius daripada “Tucker and Dale vs Evil” yang konyol dan lebih tidak rumit ketimbang “The Cabin in the Woods” yang mengocok-ngocok isi kepala kita, film yang hadirkan cameo Robert Englund (Freddy Krueger di film-film A Nightmare on Elm Street) ini, sama seperti kedua film tersebut juga dipenuhi segudang referensi dari film-film horor terkenal yang tentunya makin membuat film ini menarik, termasuk pakem film slasher yang menghadirkan si perawan sebagai final girl. “Behind the Mask…” tidak saja juara dari cara film ini mengemas dokumenter palsunya yang terlihat rapih, walaupun tidak sepenuhnya bergaya mokumenter, tapi juga cara film ini menyampaikan ceritanya. Scott Glosserman yang juga menuliskan skrip bersama David J. Stieve tahu bagaimana cara membuat penonton “setia” untuk mengikuti kemana pun Leslie Vernon pergi, tentu saja karena penasaran dengan kejutan-kejutan lain yang akan disuguhi film yang berdurasi 90 menitan ini. Saya tidak sabar untuk mengomel dan memaki, berteriak “anj*ing” dan menyumpahi film ini karena “Behind the Mask…” memang film yang wajib di-goblok-globokin. Film horor yang menghibur secara cerdas dengan kekonyolannya yang juga tak asal “tusuk”, tapi tepat sasaran “membunuh” keseriusan penonton. Yah, jangan pernah meremehkan “Behind the Mask: The Rise of Leslie Vernon”, yang tampak seperti film-film slasher “biasa”, namun ternyata luar biasa. Anj*ng!