What’s the plan?—Lee Christmas, Track ’em, find ’em, kill ’em—Barney Ross. Sebuah jawaban sederhana dari seorang kepala geng Expendables, ketika ditanya oleh anak buahnya, apa rencana selanjutnya. Jawaban singkat, padat dan jelas dari karakter yang dimainkan oleh Sylvester Stallone tersebut, seperti mengisyaratkan jika sekuel ini memang tidak ingin banyak omong, tidak mau basa-basi, tapi langsung “serbu” penonton dengan adegan-adegan yang mereka inginkan. Jika mengibaratkan film pertama sebagai sebuah pemanasan, “The Expendables 2” adalah permainan yang sebenarnya, film action yang sebenar-benarnya film action. Ditulis oleh Sylvester Stallone bersama Richard Wenk, halaman demi halaman skrip seperti sebuah surat cinta untuk para penggemar film bag-big-bug-jedor. Sama seperti film pertama yang disutradarai oleh Stallone, kali ini “The Expendables 2” masih mengusung nuansa aksi 80-an yang kental, lengkap dengan segala pernik plot yang klisewalaupun tak ada ceritanya sama sekali pun saya tidak peduli. Bedanya, selain sekarang tongkat estafet penyutradaraan sudah diwariskan ke Simon West, film ini juga menyiapkan legenda baru untuk disoraki, Chuck Norris dan Jean-Claude Van Damme. Arnold Schwarzenegger dan Bruce Willis yang sebelumnya hanya diberi porsi cameo, kali ini akan ikut “terjun” ke medan peperangan, menghajar para penjahat a**h**. Yup “The Expendables 2” tidak akan main-main lagi, tujuan para begundal action-hero yang dikumpulkan oleh Stallone hanya satu: menendang keras bokong penonton.

Tidak muluk-muluk, “The Expendables 2” langsung “menggempur” saya dengan apa yang dimanakan opening ter-badass tahun ini, pembuka film yang sanggup membuat saya kencing di celana. Gerombolan jagoan tidak bisa mati, senjata kelas berat yang memuntahkan segunung peluru, kepala pecah, tubuh tercabik, banjir darah, dimana-mana hanya ada mayat, dan setumpuk adegan aksi tanpa otak. “The Expendables 2” seperti mengajak saya untuk berpesta lebih awal dan mabuk dengan bergalon-galon adegan aksi menggila, padahal film baru bermanuver di menit-menit awal, kakek-kakek berotot dan para dedengkot film aksi ini sudah membuat saya “kelelahan”. Satu kosong untuk kemenangan “The Expendables 2”, dan seterusnya saya memang akan kalah dihajar oleh bertubi-tubi keasyikan sebuah film aksi, saya di-bully habis-habisan oleh Stallone dan kawan-kawan, dan mereka tak punya belas kasihan untuk berhenti, selama 103 menit tak ada kompromi, aksi non-stop sampai saya akhirnya mengibarkan bendera putih tanda menyerah. Walau tak lagi muda, Stallone sekali lagi membuktikkan di sekuel ini, jika umur tidak pernah menghentikannya dan geng Expendables untuk menyajikan hiburan yang sebenarnya, sebuah film aksi yang tak peduli seberapa idiot ceritanya, tapi begitu jenius dalam urusan “memukul” dan juga “memecahkan” kepala penonton dengan segala hiburannya yang tak berotak itu.

Stallone tampaknya tak sia-sia merekrut Simon West untuk menggantikan perannya sebagai sutradara, karena “The Expendables 2” bisa dikatakan sudah mengungguli predesesornya, ini adalah sekuel dengan dosis injeksi steroid tiga kali lebih banyak, efeknya, setelah menonton film ini saya merasa badan saya lebih berotot, tapi tentu efek sampingnya kepala terasa ringan tak berisi apapun. Lebih banyak ledakan yang sanggup melemparkan saya bersama bangku yang saya duduki ke tingkat keasyikan yang maksimal, lebih banyak penjahat untuk dibunuh—setengahnya dipersiapkan hanya untuk Chuck Norris, senjata yang lebih besar untuk Arnold Schwarzenegger, dan sederet adegan aksi yang lebih badass dari sebelumnya. Untuk menikmati itu semua, saya tak perlu pusing memikirkan cerita, karena memang “The Expendables 2” tidak punya waktu untuk bercerita. Dialog-dialog yang ada di film ini tidak keluar dari mulut para pemainnya, melainkan dari moncong senjata, semburan peluru yang menyampaikan segalanya. Yah bagaikan puisi, peluru-peluru tersebut berterbangan dengan indah, “melukiskan” kata kematian dengan darah yang kemudian serempak kita soraki, seakan itu sesuatu yang beradab untuk dirayakan. Well, persetan dengan yang namanya chemistry, tanpa akting bagus pun, saya sudah “terikat” oleh film ini, tak perlu basa-basi perkenalan, kita sudah tahu siapa mereka, dan saya tidak peduli nama-nama karakter yang memang mudah dilupakan itu.

Melihat Mister Rambo, Mister I’ll Be Back, Mister Yipikaye dalam satu scene, satu tim kakek-kakek super-badass, saling melontar celaan dan berlomba siapa yang paling banyak menghabisi penjahat, adalah mimpi terindah yang bisa diberikan oleh “The Expendables 2”. Saya menyebutnya “The Avengers”-nya film-film action, jika Marvel punya universe, dan berhasil mengumpulkan jagoan-jagoan komiknya, film action pun punya universe-nya sendiri, dan “The Expendables 2” berhasil mengumpulkan jagoan-jagoan yang sebenarnya—the real badass superheroes yang bisa menghajar segambreng musuh tanpa terlihat lelah dan keringatan sama sekali. Stallone dan kawan-kawannya adalah dewa yang sesungguhnya, dan di film ini mereka semua sukses memperlihatkan kekuatan super-nya, membuat adrenalin saya “ereksi” dan tempurung tengkorak ini serasa pecah “dipukuli” deretan atraksi baku-hantam-dar-der-dor yang luar biasa menghibur. Dan “The Expendables 2” pun masih sempat-sempatnya membuat kita tertawa terbahak-bahak di tengah desingan peluru yang riuh dan dunia yang sebentar lagi terancam hancur oleh bom nuklir. Chuck Norris hadir bagaikan maskot, tak hanya bagian dari dedengkot aktor laga 80-an, tapi juga bagian dari lelucon di film ini, mewakili generasi internet, khususnya di twitter yang sering “memuja” namanya untuk segala macam kekonyolan. Kemunculan di film ini adalah salah-satu “kemewahan” yang bisa diberikan “The Expendables 2”, saya dan penonton langsung tepuk tangan begitu Chuck Norris nongol dengan super-keren. Akhirnya saya hanya bisa katakan puas, puas, dan puas, “The Expendables 2” adalah hiburan tergila tahun ini, sebuah wet dream bagi penggemar film laga.