Seperti baru kemarin, “Spider-Man” (2002) buatan Sam Raimi rilis, lanjut dengan dua film sekuelnya, dengan hanya berjarak 10 tahun, Sony Pictures yang awalnya ingin melanjutkan kisah si manusia laba-laba di film ke-empat, justru men-twist rencana mereka, bukan lagi film sekuel melainkan reboot. Kejutan? Hmm… tidak juga, Hollywood sedang melakukan “ritual”-nya. Jika masih menjanjikan, sekuel berlanjut sampai kiamat, sebaliknya jika buntu namun masih menjanjikan pundi-pundi uang, reboot? kenapa tidak. Pertanyaannya, dengan jarak begitu “mepet” apakah “The Amazing Spider-Man” menjadi sebuah film daur-ulang yang penting disaat saya masih belum gegar otak dengan trilogi-nya Raimi, yang memang suka diulang-ulang di stasiun televisi lokal. Pertanyaan kedua, apakah kemudian Marc Webb mampu menangani kisah salah-satu superhero Marvel yang paling terkenal ini, berbekal keromantisan-nya di “(500) Days of Summer” dan (jika memang bisa dibilang kebetulan) nama belakangnya yang diplesetin maksa mengandung arti “jaring” (maksa banget nga sih?).

Ya penting atau tidak penting, jika “The Amazing Spider-Man” dilihat dari sudut pandang berbeda, saya sementara akan melupakan status film “reboot” tersebut, anggap saja ini satu-satunya film “Spider-Man” yang pernah dibuat. Yup Webb mampu “mengayunkan” kisah si manusia laba-laba dengan se-amazing judulnya, diluar dugaan ia ternyata sanggup menjawab pertanyaan kedua saya tadi. Iya saya akui “The Amazing Spider-Man” ditangan Webb jadi sebuah suguhan kisah manusia laba-laba yang lebih “manusiawi”, ada unsur kelam disana, walau tidak segelap reboot Batman (untungnya). Pengalaman Webb menjodohkan chemistry dengan baik antara Joseph Gordon-Levitt dan Zooey Deschanel dalam “(500) Days of Summer”, kembali diulang di “The Amazing Spider-Man”, kali ini men-comblangi Andrew Garfield dan Emma Stone. Jika bilang Spider-Man versi Webb lebih drama, tidak ada yang salah, karena skrip yang ditulis keroyokan oleh James Vanderbilt Alvin Sargent dan Steve Kloves, tampaknya memang dibuat begitu untuk “setia” pada sumbernya, yaitu komiknya sendiri.

Porsi drama yang lebih banyak untuk film action-superhero? biasanya saya bawel duluan, tapi kali ini saya mengalah untuk tak banyak mengomel, karena sajian drama yang sudah disodorkan oleh Webb “cocok” dengan saya. Jaringan drama yang sekarang dilebihkan tersebut pun memberikan ruang lebih pula bagi “The Amazing Spider-Man” untuk bercerita tanpa terburu-buru. Webb punya cukup waktu untuk “bermain-main” membangun masing-masing karakter yang hilir-mudik di film ini, termasuk Peter Parker yang dimainkan oleh Garfield, yang jadi spotlight, berbagi layar dengan Gwen Stacy (Stone) dan juga musuh utama disini, yaitu Dr. Curt Connors alias “The Lizard” yang diperankan Rhys Ifans. Seperti mengulang menonton “Spider-Man” versi Raimi, kita akan kembali diajak sekali lagi untuk mengintip kehidupan Peter Parker sebelum dan sesudah “dicubit” oleh laba-laba laboratorium. Tak banyak yang berubah, Peter masih cupu serta diperlihatkan suka di-bully, jenius dan menyimpan rasa sukanya pada salah-satu gadis di sekolahnya, bukan Mary Jane Watson tetapi Gwen Stacy. Peter yang kali ini juga diceritakan tinggal bersama Bibi dan Pamannya, menemukan tas milik ayahnya, berisi sebuah berkas rahasia yang kemudian menggiringnya bertemu dengan mantan rekan kerja ayahnya di OsCorp. Tak banyak menemukan cerita tentang sang Ayah, Peter justru bertemu takdir yang memang sudah disiapkan, tak hanya mempunyai kekuatan laba-laba, Peter kemudian diberikan lawan yang tangguh untuk menjajal kekuatan barunya tersebut.

Untuk total menikmati “The Amazing Spider-Man”, rumusnya cuma satu, lupakan versi Raimi, karena Webb punya caranya sendiri untuk mengolah sebuah produk daur-ulang menjadi kisah “baru” yang tak kalah menarik dari trilogi si manusia laba-laba sebelumnya. Untuk urusan cerita, secara garis besar tidaklah berbeda dengan apa yang sudah pernah dipresentasikan oleh Raimi, karena toh source-nya sama, kita tahu apa yang akan terjadi dengan Peter Parker, Paman Ben, dan bisa dibilang “The Lizard” pun tampak seperti pengganti green goblin dengan balutan sisik dan buntut. Pondasi sebuah trilogi baru, sudah dibuat kuat oleh Webb, di “The Amazing Spider-Man” semua bekerja sama dengan baik, tidak saja dramanya yang diayunkan dengan mantap dari adegan ke adegan lainnya, untuk usahanya menjalin chemistry yang lengket dengan penontonnya, lengkap dengan beberapa adegan menyentuh yang mujarab membuat mata saya berkaca-kaca. Porsi action-nya yang dikemas efektif dan tidak berlebihan, cukuplah untuk jadi ajang unjuk gigi, membuktikan jika Spider-Man versi Webb memang bisa beraksi menghibur penonton. Andrew Garfield memerankan Peter Parker dengan cakap, tidak saja ketika dalam bungkus seorang remaja geek yang penuh ke-awkward-an ketika bertemu gadis yang disukai, tapi juga superhero yang gampang disukai saat Garfield sudah dalam balutan kostum manusia laba-laba. Sebagai lawan mainnya, Emma Stone tak hanya bermain cemerlang, tapi mencuri hati di setiap kemunculannya. Tak lengkap jika tak menyebut nama Rhys Ifans, yang menurut saya menjadikan “The Lizard” musuh “Spider-Man” terbaik sampai saat ini. Dan “The Amazing Spider-Man”, menurut saya adalah film terbaik si manusia laba-laba setelah “Spider-Man 2”-nya Sam Raimi, yang memang favorit saya.