Jika Tarsem Singh lewat “Mirror Mirror”-nya yang lebih dahulu rilis, mengadaptasi dongeng “Snow White” dengan pendekatan lebih komedi. Sayangnya, walau film tersebut dikemas masih dengan rasa Tarsem, secara keseluruhan saya kecewa. Well, mungkin “Snow White and the Huntsman” (SWATH) bisa memulihkan kekecewaan, tidak saja karena versi Rupert Sanders ini lebih terlihat serius dan punya paket menghibur yang juga “lebih”. Punya greget visual yang sama-sama memanjakan mata, tapi jika harus dibandingkan, saya jauh lebih menyukai SWATH, yah tampilan dark forest yang mengerikan itu adalah sebuah mimpi buruk bagi anak-anak. Walau ada polesan berwarna berkat hadirnya hutan peri yang “unyu” itu, SWATH tetap bukanlah film dongeng yang pantas ditonton anak-anak, keseluruhan film dikemas begitu kelam, orkestra kegelapan itu dipimpin oleh sang Ratu Jahat Ravenna. Satu-satunya yang pada akhirnya meluluh-lantahkan imajinasi saya akan versi “Snow White” yang dark dan keren, hanyalah kehadiran Kristen Stewart yang disepanjang film justru lebih menciptakan “kehancuran” ketimbang Ravenna.

Snow White kecil harus merasakan kepahitan hidup, ketika ayahnya, Raja Magnus (Noah Huntley) dibunuh oleh Ratu, ibu tirinya, Ravenna (Charlize Theron). Setelah wafatnya sang Raja, Ratu Ravenna merebut tahta kerajaan dan menguasai negerinya dengan sangat zalim. Sedangkan Snow White yang malang dibiarkan hidup dalam kurungan selama 15 tahun. Ratu Ravenna ternyata adalah seorang penyihir, dengan bantuan kaca ajaibnya, Ratu sibuk menghisap kecantikan para wanita agar dia dapat terus menjadi “the fairest of them all”. Ratu kemudian mengetahui lewat kaca ajaib, jika Snow White yang sudah besar akan melampaui kecantikannya, hanya hati Snow White-lah yang bisa membuat Ratu menjadi abadi, dia pun berniat memakannya. Beruntung Snow White berhasil kabur dari menara tempatnya dikurung, sampai ia akhirnya tiba di Dark Forest, dimana nantinya dia akan bertemu dengan Eric (Chris Hemsworth), seorang yang memburu Snow White untuk sang Ratu namun berbalik menolongnya. Jalan takdir untuk Snow White sudah ditentukan, kerajaan, negeri dan rakyatnya pun menunggu untuk diselamatkan dari genggaman Ratu.

Satu hal yang mutlak, Lily Collins jelas lebih pas melakonkan Snow White, lebih ada karisma ketimbang Kristen Stewart dan tentunya lebih “hidup”. Bukannya mau jadi berlebihan, lebay dan semacamnya, tapi dari awal saya melihat K-Stew tampak tidak ada gairah hidup memerankan sang tokoh utama, kurang lebih sama ketika melihat dia menjadi Bella Swan di “Twilight”. Ekspresinya terlihat datar, entah itu ketika sedang berada di momen sedih, bahagia, maupun saat di ujung peperangan. Apakah K-Stew lupa kalau dia sedang berada di negeri dongeng Snow White, bukan lagi di dunia vampir bling-bling. Ketika semua orang bilang “She is the one”, walau cerita kelak akan membawa kita dengan “paksa” menuju kesana, ke bagian dimana Snow White menyelamatkan semua orang dan kerajaan, mata sayu tanpa kehidupan yang dimiliki Snow White sendiri berbicara “tidak yakin”. Saya senang pada akhirnya K-Stew berakting meyakinkan ketika sedang tidur, well kita semua tahu cerita Snow White dimana dia akan memakan buah apel beracun, setelah Snow White memakan apel tersebut, dia akan “tertidur”. K-Stew benar-benar menjiwai peran tidurnya, tapi sayangnya apel yang tergeletak di sebelahnya lebih meyakinkan, K-Stew lagi-lagi harus kalah, sekarang oleh apel. Lupakan dialog-dialog yang keluar dari mulutnya, tidak saja masih bisa dihitung jari (karena kebanyakan K-Stew hanya diam, bengong bodoh selama di film), tidak satupun mampu membuat saya simpatik atau tergerak ketika dia mulai diberi dialog-dialog heroik sekalipun.

SWATH beruntung tidak hanya dimainkan oleh K-Stew saja, ada Charlize Theron (Hancock) disana, memainkan lakonnya sebagai Ratu bengis dengan sangat-sangat sinting, Theron jadi salah-satu yang membuat SWATH ini pantas untuk dipantengin sampai selesai. Thor… eh maksud saya Chris Hemsworth juga bermain tidak jeleklah sebagai seorang pemburu, walau karakternya tidak konsisten dan andilnya di film agak kurang jelas. Mengajari Snow White bertarung sangat nanggung, penonton pun digantung, apakah dia sebenarnya suka sama Snow White atau tidak, plus lagi-lagi K-Stew memang mem-block semua chemistry yang seharusnya ada antara mereka. Visual SWATH pun jadi obat yang manjur ketika saya bosan melihat Snow White dan Eric berlari-lari saja selama 2 jam, yup durasi film ini terlalu lama bagi saya. Tone kelamnya sangat terasa, walau tidak secara menyeluruh menyelimuti film ini, dibarengi oleh efek-efek khusus yang kaya akan aksi-aksi memanjakan mata serta makhluk-makhluk ajaib yang meramaikan SWATH, Rupert Sanders sukses hadirkan dunia dongeng seru versinya sendiri. Ditemani scoring menggelegar dari James Newton Howard, SWATH masih pantas untuk dibilang film yang menghibur, tunggu sampai kalian bertemu dengan kurcaci-kurcaci lucu, yang diantaranya Nick Frost yang “dikurcacikan”. Menonton “Snow White and the Huntsman” itu seperti sebuah gabungan film-film Narnia ditambah sedikit unsur “The Lord of the Rings”.