33 tahun yang lalu, tepatnya tahun 1979, Ridley Scott mengajak penonton di seluruh dunia menaiki Nostromo, menyaksikkan teror “monster” berkepala lonjong-bergigi tajam-ileran untuk pertama kalinya, dalam “Alien”. Film ber-genre horor fiksi ilmiah tersebut pun tak hanya kemudian sukses secara komersil, tapi juga digemari para kritikus dunia, yah bisa dibilang salah-satu film terbaik dijenisnya. Sekuel-sekuelnya pun “bertelur”, tidak lagi disutradarai oleh Ridley Scott, tongkat estafet franchise “Alien” diteruskan kepada James Cameron (Aliens, 1986) dan David Fincher (Alien 3, 1992). Aksi Ellen Ripley (yang disemua film diperankan Sigourney Weaver) serta tetesan lendir xenomorp tidak berhenti sampai di film ketiga, “Alien Resurrection” (1997) disutradarai Jean-Pierre Jeunet menjadi film ke-empat dan ada dua spin-off “Alien vs. Predator” yang tampaknya tidak perlu dipedulikan. Tentu saja saya belum lahir pada saat itu, ketika film pertama rilis, saya tidak ingat betul kapan pertama kalinya berkenalan dengan “Alien”, berjabat tangan dengan sang jagoan Ellen Ripley dan bertemu dengan mimpi buruk saya, para xenomorp ileran itu. Tapi yang jelas, “Alien” sudah meninggalkan bekas gigitan yang tak pernah hilang.

Yup, Ridley Scott akhirnya kembali ke ranah fiksi ilmiah, setelah berkelana lama dari genre satu ke genre lainnya, dari film epik ke film epik lainnya sambil menggoreskan nama besarnya di dunia perfilman internasional. Betapa cintanya dia dengan “Alien” sampai dia kembali membuat “Prometheus”, proyeknya yang cukup lama tertahan dan awalnya dimaksudkan untuk menjadi sebuah prekuel untuk “Alien” saga. Tapi Scott kemudian memutuskan untuk “mengubah arah” dan “Alien: Paradise” (salah-satu judul awal film ini) ditakdirkan untuk menjadi film yang berdiri sendiri, tunggu dulu karena ada “tapinya”, “Prometheus” masih berada dalam alien universe. Ya jadi wajar jika di film tersebut, walau dibilang bukan prekuel, rasa “Alien” sangat begitu kental mewarnai seluk beluk film yang keseluruhannya direkam dengan kamera 3D. Walau tetap dalam koridor universe yang sama, jelas kemasan “Prometheus” akan jauh berbeda dengan film-film sebelumnya di franchise “Alien”, membandingkannya jadi terasa tidak adil, jika Alien versi 1979 lebih mengedepankan action horor-nya, “Prometheus” justru terlihat seperti sebuah “mata kuliah” fiksi ilmiah yang sekilas membosankan, dengan pemaparan teori tentang “darimana manusia berasal” yang dalam. Tentu saja “Prometheus” tidak meninggalkan sisi action dan horor-nya, tapi kali ini Scott tidak lagi mengajak penonton untuk bersenang-senang saja menikmati sajian yang memang dibuat untuk “menghibur”, tetapi juga mengajak kita berpikir.

Sialan, Jon Spaihts dan Damon Lindelof benar-benar sudah menguraikan cerita fiksi ilmiah yang tidak biasa, film alien yang jauh dari yang saya bayangkan sebelumnya. “Prometheus” tidak saja mengajak saya “bermain”, membuat saya asyik sendirian seperti anak kecil yang diberikan mainan baru, tetapi juga dengan tingkat keparat yang dahsyat film ini ikut mempermainkan saya, hanyut dalam teori-teori yang jadi pondasi alien universe dibungkus oleh misi pencarian “mereka yang bertanggung jawab menciptakan manusia” yang dilakukan oleh Elizabeth Shaw (Noomi Rapace) dan kawan-kawan ilmuwan. Pencarian tersebut mengantarkan pesawat Prometheus (diambil dari nama seorang titan dari mitologi Yunani) pada planet bernama LV-223. Dimana kru ekspedisi yang dibiayai oleh perusahaan bernama Weyland ini menemukan apa yang mereka cari, celakanya mereka juga menemukan hal lain yang mengerikan. Jika ditanya apakah perlu meminjam DVD boxset “Alien Quadrilogy” lalu menontonnya secara maraton untuk bekal perjalanan di “Prometheus”. Lebih baik urutannya diubah, nonton “Prometheus” baru kemudian dilanjut 4 film “Alien”. Semakin sedikit kita tahu tentang “Alien”, semakin berkurang juga tumpukan tanda  tanya berkaitan dengan alien universe, termasuk tetek bengek xenomorp.

Bagi mereka yang baru mengenal dunia “Alien”, mungkin “Prometheus” bisa jadi akan membingungkan, tapi biarlah film ini jadi perkenalan pertama dengan dunia tersebut dan nikmati saja ketidakmengertian yang pastinya muncul setelah selesai menontonnya. Bagi yang sudah menonton “Alien” dan sekuel-sekuelnya, pertanyaan demi pertanyaan seakan muncul tanpa diminta, adegan demi adegan yang disodori oleh Scott tak hanya meninggalkan rasa takjub tetapi juga pertanyaan dan itu tidak bisa dihindari. Brengseknya, tidak semua pertanyaan tersebut dijawab, atau saya yang terlalu bodoh tidak melihat clue yang sebarkan. Semua atraksi Scott dalam usahanya menjejalkan penonton dengan ide alien universe-nya yang saya akui diluar dugaan benar-benar gila, kadang sanggup dicerna dan kebanyakan membuat saya tampak bodoh, tidak serta-merta membuat saya bilang “anj*ng” lalu ngambek. Saya membiarkan cerita dan teori-teori ngejelimet tersebut jadi semacam “hiburan” lain, Toh pada akhirnya jika dipikir-pikir Scott masih menghantarkan “kuliah”-nya untuk enak diikuti, bikin pusing di satu sisi ketika ber-terori sana-sini tapi di sisi lain teori-teori, dunia alien dan paparan tentang penciptaan tersebutlah yang membuat film ini jadi makin mengasyikkan untuk ditonton. “Prometheus” bagai sebuah formula dasar, pondasi ilmu yang membuka gerbang ke dunia yang lebih luas lagi ke film-film berikut yang berada di satu alien universe yang sama, menarik untuk melihat sejauh mana ide ini akan dikembangkan. Biarlah pertanyaan yang tak terjawab tersimpan, Scott mungkin saja sedang menyiapkan jawabannya di film berikutnya.

Yang tak tertarik dengan segala macam teori didalam “Prometheus”, thanks to Scott, film ini masih punya banyak hal yang mungkin lebih menarik ketimbang mendengar orang-orang berbicara soal para engineer. Sambil mendengarkan semua teori yang bertumpuk tersebut, “Prometheus” menyediakan cemilan lezat yang membuat kita lupa sedang duduk di “kelas”-nya Scott, aksi-aksi menegangkan bercampur horor itu akan membuat adrenalin ini serasa digerogoti oleh chestburster, elemen fiksi ilmiah sangatlah kental dan semua dibungkus rapih oleh Scott ke dalam 124 menit penuh dengan visual menggetarkan “iman”. Lihat saja belum apa-apa Scott sudah pamer visual di beberapa menit opening film ini, interior, eksterior, design kostum maupun lanskap pendukung dan para “alien”-nya benar-benar dibangun dengan keindahan, semua bekerja sama membuat film ini fun-tastik. Tak ketinggalan jajaran cast-nya juga turut menghadirkan performa akting yang tak kalah luar biasa, yup termasuk Michael Fassbender yang memerankan android dengan sangat menyakinkan. Tidak peduli apakah “Prometheus” itu prekuel, spin-off, re-boot halus atau film stand-alone yang pasti film ini sukses sudah hadirkan ekspedisi fiksi-ilmiah yang mendebarkan, menantang, sekaligus menyenangkan, sejak terbitnya judul di awal hingga terbenam credits di akhir. Great job Mr.  Ridley Scott!!