“Jangan sok pintar, tak perlu repot mencari-cari kesalahan dalam film, tak perlu pusing dulu mencoba menjawab semua pertanyaan, nikmati saja permainan yang akan disodorkan oleh Joko Anwar”. Formula sederhana itulah yang saya terapkan ketika menonton “Modus Anomali”, walaupun keinginan untuk menebak-nebak siapa orang yang berada di balik semuanya, memang secara naluri muncul begitu saja ketika film bergulir dari menit ke menitnya. Namun saya mencoba untuk memasrahkan diri saya untuk “dibodohi” Joko, membiarkan “apa maunya” si sutradara yang tiga tahun lalu membuat “Pintu Terlarang” itu. Semaksimal mungkin saya mem-block setiap interupsi dari otak yang terus berteriak “siapa?”, “kenapa?”, dan pertanyaan-pertanyaan tolol lainnya, agar nantinya saya bisa leluasa membiarkan Joko menjawab semua pertanyaan yang sudah menumpuk di kepala, tentu saja pada akhirnya saya bisa menikmati “Modus Anomali” tanpa perlu menyuntikkan obat penenang karena terlalu stress memikirkan ini-itu.
Ah tapi tak perlu ketakutan lebih dahulu karena berpikir nantinya tidak akan ngerti sama filmnya, lagipula ini bukan ujian nasional. Tapi seperti juga ujian sekolah dulu, sebaiknya “belajar” seperti apa film Joko Anwar itu memang perlu, setidaknya jadi tidak kaget ketika menonton “Modus Anomali”, tidak belajar pun sebetulnya film ini masih asyik untuk ditonton. Apa yang “mengerikan” di film ini justru datang dari “bagaimana” Joko menyajikan sebuah thriller yang tak hanya seenaknya mengorek-ngorek otak penonton sampai berantakan, tapi berbeda dengan “Pintu Terlarang”, kali ini Joko dengan “baik hati” menuntun penonton yang otaknya sudah kusut (seperti saya) untuk mengerti filmnya, membantu penonton untuk mengumpulkan sisa-sisa otaknya yang berceceran tumpah ke bangku penonton di sebelahnya. Singkat kata, ini adalah film thriller sederhana dari Joko, mudah dicerna tapi tetap dibungkus berkelas dan Joko sekali lagi bisa “mendongengkan’ ceritanya untuk nyaman dilihat dan kali ini juga dimengerti.
Jika dibandingkan dengan “Pintu Terlarang”, film ke-4 Joko Anwar ini memang tidak se-mindblowing apa yang saya bayangkan. Menunggu selama tiga tahun untuk film terbaru-nya Joko, ya wajar jika saya mengumpulkan ekspektasi menggunung untuk film ini. Tapi tak memenuhi ekspektasi tersebut tidak serta merta membuat saya ngambek terus keluar dari bioskop cepat-cepat. Sebaliknya, “Modus Anomali” sejak dari menit pertama sudah sukses merantai saya ke bangku penonton, dalam hati saya sudah pasrah “disiksa” oleh film ini. Tapi santai, “Modus Anomali” tidak akan buru-buru menjejali kita dengan adegan-adegan menyiksa mental atau menantang nalar. Joko perlahan terlebih dahulu ingin menyeret penonton untuk ikut masuk ke dalam “permainan”-nya, ber-setting di hutan, bersama dengan seorang bernama John Evans (Rio Dewanto). Siapa John Evans? Apakah ada hubungan keluarga dengan sutradara “The Raid”? kita semua tidak tahu, kita semua dibuat jadi bodoh (pada awalnya), sama seperti John yang tiba-tiba muncul dari gundukan tanah, menemukan dirinya dikubur hidup-hidup dan hilang ingatan. Nama John Evans pun baru diketahui setelah dia baru ingat kalau dia punya dompet, dengan identitas didalamnya.
Saya tidak akan banyak-banyak bercerita, bukannya pelit tapi tidak mau lebih dulu meng-ekspos kejutannya (bilang saja malas nulis), walaupun sebenarnya gatel juga kalau tidak spoiler di review ini. Selama paruh awal setelah kita dijejali oleh keindahan hutan yang menjadi lokasi syuting film ini, lengkap dengan aneka serangga yang dipotret indah, kemudian diperkenalkan dengan protagonis yang amnesia, Joko kemudian menginginkan penonton untuk “lebih dekat” dengan si John Evans, didukung oleh pergerakan kamera yang sangat “intim”, digawangi oleh Gunnar Nimpuno dengan sinematografi-nya yang apik, melekatkan kita tak hanya dengan protagonis tetapi juga dengan hutan sebagai arena bermain di film ini. Joko membiarkan pengetahuan penonton untuk berkembang bersama si pria amnesia, jika dia tidak tahu apa-apa, kita pun ikutan bego bersamanya. Jelasnya, kita seperti orang yang menguntit di belakang protagonis, lengkap dengan kaca-mata kuda yang menutup akses kita untuk melihat sekeliling, karena ruang yang diberikan kamera memang sesempit ingatan yang dimiliki John. Yah, Joko tahu betul bagaimana mengajak penontonnya bermain-main, dan “Modus Anomali” adalah permainan yang mengasyikkan dari awal sampai selesai.
Durasi film yang hanya 86 menit, benar-benar diatur dengan baik oleh Joko, tak hanya menyodorkan aksi lari-larian sang protagonis kesana-kemari, selagi lelah berlari, penonton juga diperlihatkan perkembangan karakter yang walaupun tak disadari secara jelas tapi ada pada diri John Evans, dari hanya seorang pria yang malang tidak ingat apa-apa berubah menjadi seorang suami dan ayah yang ingin balas dendam, dari pria yang tadinya hanya bisa bersembunyi, sekarang berubah menantang “sang musuh” untuk keluar, lengkap dengan sederet sumpah serapah dalam bahasa Inggris. Apakah saya spoiler? semoga tidak banyak hahahaha. Oh ya “Modus Anomali” memang berbahasa Inggris, apapun alasannya, penggunaan bahasa selain bahasa Indonesia ini sama sekali tidak mengganggu asyiknya saya menonton, toh pada akhirnya memang jadi pas dengan dunia antah-berantah (bukan Indonesia) yang menjadi setting “Modus Anomali”. Apalagi yang pas di film ini? atau bisa dibilang sangat pas, tentu saja dukungan musik pengiring atau score yang memandu mood kita untuk naik turun dengan nyaman. Menempatkan musik yang tepat disaat Joko sedang asyik-asyiknya mengajak penonton untuk tegang berjamaah. Efek-efek suara yang menemani saat-saat kebersamaan kita dengan John di hutan pun dibuat sedemikian apik, yup seketika saya sepertinya sedang berada di hutan beneran, bravo untuk departemen musik dan suara.
Terima kasih untuk Joko Anwar, karena saya tidak perlu repot banyak berpikir, seperti sewaktu menonton “Pintu Terlarang”, ketika saya sudah buntu, Joko ada disana untuk menuntun saya menyusun teka-teki, well sekilas “Modus Anomali” jadi seperti sebuah film thriller for dummies. Tapi tentunya film yang diproduseri lagi oleh Sheila Timothy ini tidak begitu saja dicap sebagai film “mudah”, walau Joko sudah dengan baik hati memberi “kunci jawaban”, tetap saja film ini tidak berhenti menantang saya untuk kembali berpikir, pertanyaan “kenapa?” itu tetap saja ada. Tidak perlu bilang lagi kalau “Modus Anomali” juga punya banyak cara untuk mengejutkan saya, porsi dag-dig-dug itu dimainkan dengan baik, bersama permainan akting matang dari seorang Rio Dewanto. Di hutan, dikelilingi banyak pertanyaan dan ketidakpastian, satu-satunya yang saya harapkan hanya Rio, dan dia sukses menuntun saya untuk tidak tertidur dan tertinggal di hutan sendirian. “Modus Anomali” memainkan permainannya dengan “sinting”, walau tidak se- wah “Pintu Terlarang” atau “Kala”, Joko sekali lagi memberikan sebuah totalitas, kemampuan terbaiknya untuk “memuaskan” saya yang haus akan thriller lokal yang sakit. “Modus Anomali” tentu saja tepat jika dibilang “sakit”.
Observer
Setelah menonton Modus Anomali, banyak kekecewaan yang saya dapatkan. Mungkin karena saya datang ke bioskop dengan ekspektasi tinggi. Banyaknya Plot-holes disana-sini yang mengganjal terasa menyesakkan dada setelah kesimpulan cerita dijelaskan diakhir film.
Jujur, saya merasa dijebak sama film ini. Bukan dijebak dalam arti ceritanya berhasil membuat saya tidak bisa menebak endingnya (itu betul), tapi dijebak karena trailer dan hint-hint dalam film banyak yang sengaja misleading untuk menipu tebakan penonton.
SPOILER WARNING***:
Kekecewaan saya langsung muncul pada saat judul Modus Anomali
terpampang dilayar menutup film. ada shot-shot di trailer ternyata tidak saya temukan di film. Lihat trailer ini:
http://www.youtube.com/watch?v=77su-ztGhZ0
1. Shot terakhir di trailer ini menunjukkan mata si ” pembunuh” , tapi ternyata tidak ada shot tersebut di sepanjang film. Saya jelas merasa ditipu, karena seharusnya trailer itu berisi shot-shot atau adegan-adegan cuplikan dari film. Shot ‘mata’ tersebut adalah bukti kecurangan filmmaker untuk memanipulasi jalan cerita, karena diakhir film sangat jelas digambarkan bahwa selama ini ‘pembunuh’ yang mengejar karakter Rio Dewanto ternyata adalah dirinya sendiri (dan itu jelas bukan mata Rio).
2. Kemudian, kalau karakter Hanah Al-Rasyid adalah istri dari seorang ayah yang dibunuh oleh karakter Rio Dewanto, kenapa suara dari Rio Dewanto yang berbicara saat mengambil karakter Hanah sedang menyisir rambut di depan kaca lewat handycam? suara dan aksen ingrrisnya jelas sekali kalau itu Rio. Menurut saya ini untuk me-mislead penonton supaya berpikir bahwa karakter Rio adalah sang Ayah dari keluarga yang dibunuh.
3. Kemudian, kenapa karakter si anak perempuan sebelum mati dipelukan karakter Rio Dewanto berkata “Daaaddy…” sebelum mati? jelas diakhir cerita karakter Rio bukan Ayahnya. Bisa saja dengan dalih orang sebelum meninggal wajar menyebut nama orang yang dicintainya, tapi bagi saya ini adalah pengalih cerita agar penonton semakin yakin karakter Rio Dewanto adalah Ayah dari anak gadis tadi, tapi sayang sekali sedikit dipaksakan.
4. Lalu selama ini si “pembunuh” dengan baju dokter menenteng crossbow itu hanyalah halusinasi dari kakater Rio? kalau benar halusinasi, bagaimana bisa halusinasi melepas anak panah, melukai dan membakar peti dengan bensin?
5. Penggunaan bahasa inggris dengan tujuan mendapatkan international exposure sah-sah saja, tapi aksen Rio masih belom sempurna seperti native speakers. Aksen Anak gadis sudah sangat bagus, sayang aktingnya tidak begitu meyakinkan sebagai anak yang kedua orang tuanya dibunuh.
Faktor lain kekurangan film ini adalah Reason Why. Apa alasannya karakter Rio yang jelas Psycho itu melakukan itu semua? untuk apa dia rela mengubur dirinya semalaman,berlari-lari, keringetan, muntah-muntah, untuk apa?
Menurut saya, sebuah karakter yang memorable adalah dia punya motif atau alasan mendalam kenapa dia melakukan hal yang dilakukannya. Contohnya karakter Norman Bates dalam film ‘Psycho’ karya Alfred Hitchcock. Di akhir cerita dijelaskan kenapa dia bisa menjadi seorang Psycho hingga membunuh orang-orang dengan menggunakan pakaian Ibunya. Penjelasan bahwa Norman adalah anak yang selalu di dikte keras oleh Ibunya, kemudian ia membunuh ibunya sendiri dan mencoba menghapus dosanya dengan berperan sebagai ibunya adalah alasan yang kuat kenapa ia menjadi seorang Psikopat.
Sama halnya dengan film ‘Saw’, karakter Jigsaw Killer memiliki alasan yang sangat mendalam. kita menemukan diakhir cerita bahwa si pembunuh adalah orang yang mengidap penyakit kronis sehingga ia membenci orang-orang yang tidak menghargai hidup mereka.
Di dalam film ini tidak ada penjelasan kenapa karakter Rio Dewanto berbuat demikian, tidak ada motif sama sekali. he’s just a plain character with psycho habit and does that just for fun. Alangkah ceteknya.
Saya tadinya berharap bahwa dia seorang Ayah yang tidak berhasil memiliki keluarga yang bahagia sehingga berusaha menjadi ‘Ayah’ bagi keluarga lain lalu membunuh satu persatu, mungkin dengan begitu ada sedikit makna dibalik ketidakwarasan karakter Rio. Tapi nyatanya dia memiliki keluarga yang baik-baik saja yang selama ini tidak tahu apa yang ia lakukan. Lalu pertanyaannya kembali lagi: what is the reason-why?
Lepas dari banyaknya kejanggalan dan kecurangan storyline yang dibangun Joko, film ini tetap layak tonton. Akting Rio Dewanto musti saya kasih two thumbs up. Dia berhasil membuat penonton relate dengan apa yang karakter-nya rasakan: bingung, kelelahan, takut etc.
Art Direction dari Mas Iwen juga sangat mendukung jalan cerita sekaligus sukses membuat ‘dunia’ yang seakan bukan di Indonesia seperti yang diharapkan Joko. Sound design film ini juga luar biasa membuat mood scene by scene terasa mencekam sehingga bunyi alarm seperti berasal dari penonton di depan saya. Sinematografi Unay juga sangat apik dalam membuat lighting cahaya bulan di hutan belantara pada waktu malam terasa sangat alami. Tapi adegan muntah entah kenapa sangat terlihat palsu, rio terlihat muntah disebelah selang air. Kekurangan Unay adalah dimana ada satu shot sewaktu kamera mengintip ke dalam rumah dan bergerak mundur menampilkan silhouette bentuk kamera pada dinding kaca. Buat saya hal itu cukup mengganggu ketegangan saat menonton film.
untuk film ini saya kasih nilai 1-10:
Naskah cerita – 4
acting – 9.5 (only for Rio Dewanto)
Music & Sound – 8
Sinematografi – 7
Art Direction – 8
Penyutradaraan – 8.5
Overall grade: 6
sofian
Respon pendapat aja ya 🙂
No.4 kejanggalan ini dijelaskan di akhir film. Bukan halusinasi yg memanah si john. Tapi anak2 kecil ini yg dibekali senjata2 dan pesan harus membunuh sang phsyco. Jadi yg ngebakar peti + panah adalah usaha bocah2 ini.
No. 5 si joko mau fokus tentang kejanggalan modus pembunuhan aja. Gak perlu jelasin background knapa jd pembunuh. Gw inget film hostel. Ada orang yg hobby golf ada hobby mancing, john hobbynya adrenalin-nya ditantantang habis2an. Diceritakan dia punya keluarga harmonis pure mengartikan, ini adlh pure hobby orang sakit aja.
No.2 si anak perempuan yg ngomong “dady” bisa jadi dia cuma penasaran, bapaknya msh hidup ato gak? Karena pesanya sama. “Klo loe mau nyelametin ayah loe, loe harus bunuh gw dulu”. She can’t finish her sentence.
No.1 gw setuju 🙂
raditherapy
Setuju soal background kenapa Rio psikopat, film model begini emang nga harus terang benderang soal latar belakang “kenapa”, mungkin itu cuma hobi si Rionya aja yg sedikit beda hahaha
Observer
Kalau yang mengejar Rio bukanlah Halusinasi, kenapa yang penonton dan karakter Rio lihat adalah seseorang dengan baju dokter menenteng crossbow? Karena diakhir film karakter Rio diperlihatkan berganti baju dokte.) Di tiap scene dimana karakter anak-anak ditunjukkan, juga tidak terlihat mereka memiliki keberanian bisa melakukan hal-hal tersebut seperti memanah, membakar peti dll. Mereka cenderung, sembunyi, takut dan menjaga jarak dari karakter Rio. Sebaliknya saat “si pembunuh” “diperlihatkan” mengejar-ngejar karakter Rio, kita medapati karakter yang brutal, (menggedor-gedor pintu, menusuk peti dengan parang etc). Sangat bertolak belakang.
Memang banyak sebenernya model film yang merasa tidak perlu menjelaskan “kenapa”. Film Hostel memang mereka jelas aim di gory dan slasher nya yang “bermandi darah” . tapi film ini, gory nanggung, tegang juga nanggung, psychological juga gak mendalam. apa yang mau dikejar sama Joko? makanya saya merasa film ini seharusnya merasa perlu menjelaskan “reason why” yang mendalam, jika ingin menjadi Psychological Thriller yang baik.
Joko diawal sudah membuat Set Up yang baik diawal cerita, tapi sayangnya dia nampak kebingungan menutup plot holes cerita disana-sini. Modus Anomali seharusnya bisa menjadi Psycho Trailer yang stand out, jika saja Joko mau berpikir lebih keras menutup lubang cerita yang ia gali diawal film.
movie enthusiast
saya setuju hampir sepenuhnya dengan Observer.
Joko nampaknya ingin Modus Anomali bisa menjadi psychological thriller yang tidak hanya mengandalkan darah. dari karya-karya Joko yang lalu, jelas bahwa Joko merupakan seorang sineas yang mementingkan plot, dan bukan sekedar thrill penuh kesadisan.
tapi menurut saya pribadi dia gagal, dengan alasan seperti yang sudah dijabarkan Observer. psychological-nya gagal karena tidak ada insight ke dalam motif John Evans. thriller-nya pun tidak seberhasil itu. saya yang termasuk mudah takutan jika menonton film horor/thriller saja merasa kurang dipacu adrenalinnya melalui film ini.
**SPOILER ALERT
spesial efek dalam Modus Anomali juga sungguh mengecewakan. selain bagian muntah, saya juga terganggu dengan adegan anak perempuan mati tertusuk perangkap John Evans. pertama ditampilkan bahwa perangkapnya menusuk hingga menembus tubuh si anak. namun setelah John Evans mengangkat tubuh si anak, baju si anak bahkan tidak bolong di bagian yang tertusuk.
saya hanya tidak setuju dengan Observer tentang satu hal. saya pribadi tidak menyukai performa Rio Dewanto sebagai John Evans. saya merasa Rio memainkan John Evans dengan baik, tapi sama sekali belum MENJADI si tokoh psikopat.
satu momen yang saya ingat jelas adalah kala Rio bersembunyi di belakang pohon. saya melihat bahwa napasnya tersengal-sengal, matanya melirik kanan-kiri dengan liar, sesekali matanya terpejam dan ia menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. tapi saya tidak melihatnya ketakutan.
saya seperti bisa melihat otak Rio memerintahkannya untuk melakukan gerak-gerik ketakutan. bukannya Rio sebagai John yang sungguh ketakutan. ini hanya opini pribadi, dari kacamata seorang aspiring actor yang sudah sering ditegur karena kurang mendalam karakter.
bila dibandingkan dengan Fachri Albar dalam Pintu Terlarang, maaf tapi Rio Dewanto kalah jauh.
dalam Pintu Terlarang, Fachri adalah Gambir. dalam Modus Anomali, Rio adalah Rio yang memainkan John Evans.
mungkin ekspektasi saya terhadap film ini terlalu tinggi (akibat materi promosi yang menggembar-gemborkan kebrilianan film ini). tapi tak bisa disangkal. saya sangat kecewa terhadap Modus Anomali, termasuk akting Rio Dewanto di dalamnya.
momen paling thrilling yang jadi favorit saya sepanjang film hanya ketika John melihat melalui pantulan layar televisi bahwa ada yang bangkit dari tumpukan selimut di atas sofa. bangkitnya sosok itu yang secara sangat perlahan-lahan begitu perfek dalam membangun ketegangan penonton.
overall setelah menyaksikan Modus Anomali, Pintu Terlarang yang semula terlihat “oke, tapi gak luar biasa” di mata saya langsung meroket menjadi “baguuuus!”.
semoga karya Joko Anwar berikutnya bisa lebih baik.
Observer
Saya pun setuju dengan mayoritas pendapat movie enthusiast. Walaupun saya juga sdikit kecewa dengan Pintu Terlarang yang ceritanya seperti mengcopy “Shutter Island”nya Scorsese, setidaknya misterinya masih terjalin lebih baik ketimbang Modus.
buat saya akting Rio tidak mengganggu jalan cerita film ini. saya cukup puas dengan penggambaran Rio yang natural. hanya saja aksen inggrisnya justru yang sedikit mengganggu. Mulai dari Kala, Pintu Terlarang, hingga Modus Anomali, menurut saya Joko terus mengalami penurunan dari segi kualitas cerita dan terus terang ini membuat saya khawatir, karena saya punya harapan besar pada Joko untuk masa depan film Indonesia.
Apapun review yang saya katakan diatas, saya tetap menghargai usaha Joko membuat film ini. Saya hanya berharap Joko dan mungkin filmmaker Indonesia lainnya bisa lebih cermat membuat cerita yang lebih terjalin rapi, karena penonton kita juga semakin jeli, kritis, dan well-educated. Maju terus filmmaker Indonesia.
mbahdarmoOoO
ane jawab ya om observer:
1. Shot terakhir di trailer ini menunjukkan mata si ” pembunuh” , tapi ternyata tidak ada shot tersebut di sepanjang film. Saya jelas merasa ditipu, karena seharusnya trailer itu berisi shot-shot atau adegan-adegan cuplikan dari film. Shot ‘mata’ tersebut adalah bukti kecurangan filmmaker untuk memanipulasi jalan cerita, karena diakhir film sangat jelas digambarkan bahwa selama ini ‘pembunuh’ yang mengejar karakter Rio Dewanto ternyata adalah dirinya sendiri (dan itu jelas bukan mata Rio).
Jawab:pengen unik kali om joko,emang penipuan publik kek Bean Kesurupan Depe yak kalo gk masukin itu scene mata,bloopers kali,kalopun itu emng ada scene,itu paling halusinasi om evans
2. Kemudian, kalau karakter Hanah Al-Rasyid adalah istri dari seorang ayah yang dibunuh oleh karakter Rio Dewanto, kenapa suara dari Rio Dewanto yang berbicara saat mengambil karakter Hanah sedang menyisir rambut di depan kaca lewat handycam? suara dan aksen ingrrisnya jelas sekali kalau itu Rio. Menurut saya ini untuk me-mislead penonton supaya berpikir bahwa karakter Rio adalah sang Ayah dari keluarga yang dibunuh.
Jawab:btw kalo diperhatikan lebih DITEL lagi,kan waktu itu John Evans dalam pengaruh obat,dia meyakini dirinya bahwa dia itu laki2 itu orang,eg.penampakan om2 pake sorban,karena pas nonton itu film kan kita ngambil 1st personnya si evans,jadi evan meyakini itu suaranya dia,kita juga meyakini itu suara evans,walaupun pada kenyataanya,itu suara istri hannah yang jelek mukanya,jadi bukan cuman penglihatan evans yang dipengaruhi,tapi otak,insanity,sama pendengaran juga kena pengaruh
3. Kemudian, kenapa karakter si anak perempuan sebelum mati dipelukan karakter Rio Dewanto berkata “Daaaddy…” sebelum mati? jelas diakhir cerita karakter Rio bukan Ayahnya. Bisa saja dengan dalih orang sebelum meninggal wajar menyebut nama orang yang dicintainya, tapi bagi saya ini adalah pengalih cerita agar penonton semakin yakin karakter Rio Dewanto adalah Ayah dari anak gadis tadi, tapi sayang sekali sedikit dipaksakan.
Jawab:gw juga kalo mati mau nyelamtin bokap gw kek gitu bakal nyebut bokap gw kok,wajar aja gan,lantas ente ngarep itu cewek ngomong ape??
4. Lalu selama ini si “pembunuh” dengan baju dokter menenteng crossbow itu hanyalah halusinasi dari kakater Rio? kalau benar halusinasi, bagaimana bisa halusinasi melepas anak panah, melukai dan membakar peti dengan bensin?
Jawab:Halusinasi nyata,kan cuman bentuknya aja halusinasi,tapi teteup,Crossbow anak panah,api bensin,dan segala macem real,kan udah dipersenjatai ama rio dari awal filem
5. Penggunaan bahasa inggris dengan tujuan mendapatkan international exposure sah-sah saja, tapi aksen Rio masih belom sempurna seperti native speakers. Aksen Anak gadis sudah sangat bagus, sayang aktingnya tidak begitu meyakinkan sebagai anak yang kedua orang tuanya dibunuh.
Jawab:sebenarnya ada alasan Joko sendiri sih milih bahasa inggris,walopun pada kenyataanya logatnya hancur,tapi dia mau sekali2 filem indo LEPAS dari yang itu2 aja,makanye dia pake bahasa inggris
btw ente nulis spoiler pshyco tuh,bah,padahal ane belum nonton pshyco gan,kena dah spoilernya,weleh2x,ane juga kurang setuju gan Pintu Terlarang ngopy Shutter Island,soalnya Pintu terlarang itu releae 2009,Shutter Island relase 2010,hayoo,jadi siapa yang mengcopy ini??,huehehehehehehe
Observer
1. gua masih gak bisa terima soal shot mata itu. kalau memang Joko mau unik, seharusnya dia tetap tidak boleh berbuat curang.
2. Justru karena suara yang keluar dari video itu suara si Rio yang membuat cerita ini tidak masuk akal.
harusnya mana mungkin karakter Hannah mau divideoin sama si Rio si pembunuh. Jika penonton di sepanjang cerita tidak diberi CLUE atau petunjuk yang cukup akan logika dunia yang si penulis buat, kesimpulan di akhir akan susah diterima dan sulit masuk akal. Akhirnya kita sebagai penonton dipaksa menerima ending yang disuguhkan si penulis. Penulis yang baik adalah dia bisa memadukan jalan cerita yang tidak dapat ditebak dimana sepanjang cerita ada petunjuk tersirat, yang ketika diambil kesimpulannya di akhir, semua petunjuk dan ending digabungkan = masuk akal.
3. Si anak mati menyebut “daddy…” menurut saya masuk akal tapi Movie cliche.
4. Itu dia. disepanjang film karakter anak-anaknya diperlihatkan bersembunyi, menghindar, takut dari karakter Rio. tapi ketika karakter anak2 “disembunyikan” dan tidak diperlihatkan, tiba2 sangat bertolak belakang. dia bisa membakar, memainkan parang, menembak dengan crossbow. Dalam hal ini menurut saya penulis tidak memperhatikan konsistensi dari sebuah karakter.
5. Untuk ini saya setuju dengan anda. sayangnya penggunaan bahas Inggris justru merusak atau menganggu saya sebagai penonton yangingin fokus dengan cerita.
Shutter Island memang release 2010. tapi sebenernya shootingnya sudah berjalan 2008. Apakah Joko hadir di secret screening? only God knows.
FeKimi
FYI, Pintu Terlarang adalah based-on-novel movie. Novel Pintu Terlarang karangan Sekar Ayu Asmara diterbitkan pertama kali tahun 2004 dengan benang merah cerita yang sama dengan filmnya.
movie freak
anehnya mengapa jhon selalu bisa membunuh anak – anak yang mencari untuk membunuh dia, yang di ceritakan dengan cara pembunuhan yang tidak disengaja oleh nya, jadi scene pembunuhannya terasa mengada ada. overall good movie
noobs
setuju pendapat observer film ini jadi hancur ceritanya karena banyak kejanggalan
Apez
Yg pintu terlarang, scene akhir si Gambir berperan ia seolah-olah jadi romo, dan ada cowok yg buat pengakuan dosa udah ngebunuh anak dan istrinya, tapi ia tidak merasa bersalah..
Nah pas dipause si cowok yg buat pengakuan tersebut adalah Rio Dewanto yang baru cukuran, jadi apakah modus anomali cuma ada di dalam pikiran Gambir, atau??
Lia
Ada laki laki yang dikubur pas weker bunyi….itu suami hannah kah?