“Indah…”, ya itulah ungkapan sederhana yang keluar bukan dari mulut yang sedang terbungkam, namun dari hati yang tampaknya baru saja tersentuh oleh sebuah film yang dengan sederhana merajut kata i-n-d-a-h dengan… yah indah. Walaupun saya terlihat diam ketika barisan kredit meluncur, didalam sana, emosi masih terkoyak-koyak dan hati terlentang dengan senyum lebar, tampak puas setelah melahap tujuh puluh lima menit keindahan yang disodorkan oleh Teddy Soeriaatmadja, sutradara yang pada tahun 2009 silam membesut “Ruma Maida”, yang mini-posternya masih terpajang di dinding kamar saya. “Lovely Man” tanpa paksaan apapun, begitu sangat bersahabat sejak di menit awal, memegang tangan saya dan mengajak “jalan-jalan” menengok Ibukota yang setengah tertidur, cantik dengan aksesoris kerlap-kerlip lampu jalanan. Malam itu, saya dipertemukan dengan gadis ber-jilbab, namanya Cahaya (Raihaanun Soeriaatmadja) dan katanya sih sedang mencari bapaknya yang tidak pernah ia temui selama 15 tahun. Cahaya tidak lagi ingat bagaimana rupa sang Bapak, yang diingatnya hanya sosok blur ketika dia berumur 4 tahun, menemaninya bermain bersama hujan, Cahaya ingat bapaknya suka bernyanyi untuknya, sayang suaranya diakui Cahaya memang jelek. Perkenalan saya dengan Cahaya berlanjut.

Berbekal alamat Bapaknya di Jakarta dan tanpa restu Ibunya yang sudah melarang, Cahaya akhirnya bertemu dengan orang bernama Saiful (Donny Damara), walaupun setelah bertanya kesana-kemari nama Bapaknya bukan lagi Saiful melainkan Ipuy. Tanpa rasa curiga, keluguan Cahaya membawanya pada kenyataan, bayangannya atas sosok Bapak “jungkir-balik” ketika yang ditemuinya ternyata lebih cocok untuk dipanggil “Ibu”. Saiful atau Ipuy adalah seorang waria yang setiap malam bekerja di “kantornya” di pinggir jalan, menjajakan kenikmatan sesaat. “Saya ingin ketemu  sama Bapak”, itulah jawaban Cahaya ketika Ipuy bertanya kenapa dia susah-susah datang ke Jakarta untuk menemuinya. Lalu, setelah bertemu dengan Bapaknya, apa yang kemudian diinginkan Cahaya? Dia punya waktu semalam untuk mengenal lagi Bapaknya, tapi sesuai syarat setelah itu Ipuy ingin hubungan mereka putus.

Kita pun diberi waktu 75 menit untuk mengenal film ini, dan oleh Teddy perkenalan tersebut sepertinya memang akan berbekas selamanya. “Lovely Man” saya pikir akan begitu kompleks dalam menyajikan cerita, namun semua ternyata sederhana, sesederhana itu pula saya jatuh cinta dengan film ini. Tidak peduli ketika formula yang diterapkan agak klise, dengan bujet yang juga tampaknya “seadanya”, tapi di tangan seorang Teddy Soeriaatmadja semua yang menjadi kekurangan “Lovely Man”, mampu disihir untuk bersembunyi dengan baik, yah ini memang bukan film yang sempurna, tapi kelebihan yang ditawarkannya juga bukan sekedar main-main sebentar, mengetuk hati lalu lari. “Lovely Man” akan diam lama disana. Daya magis terbesar datang dari dua lakon utama, dimainkan dengan cantik oleh Donny Damara dan Raihaanun Soeriaatmadja, keduanya menghadirkan chemistry yang nikmat saat kita melihat hubungan ayah dan anak itu sungguh canggung.

Biasanya penonton, ya termasuk saya, akan lari ketika film mulai banyak ngobrol, tapi percayalah “Lovely Man” tahu bagaimana mengajak penontonnya untuk “ikut campur”, larut dalam obrolan dan secara tidak sadar kita sudah jadi bagian dari hubungan kasat mata antara Ipuy, Cahaya dan penontonnya. Indah. Seindah “Clair de Lune” milik Debussy yang detingannya hilir-mudik melintas diantara keheningan malam, ketika saya sedang duduk tersenyum melihat potret dua hati yang sedang kesusahan mencari pijakan. Kita menjadi bagian dari film ini, Teddy tidak pernah meninggalkan penonton, seperti juga Ipuy yang walaupun terlihat kasar tapi enggan meninggalkan putrinya, Cahaya. Setiap obrolannya bukan lontaran kalimat-kalimat yang sulit dicerna, melainkan kalimat-kalimat biasa, tidak dipaksakan untuk puitis atau bijak, tampil elegan dengan sendirinya karena terangkai dari luapan emosi dan hati yang terbata-bata untuk mengungkapkan semua, setelah 15 tahun terpisah dan kini juga harus terpisah oleh “perbedaan”.

Ketika hati mereka mulai bertatapan dan obrolan antara ayah dan anak kembali memecah sunyinya Jakarta yang menutup sebelah matanya, saya dibiarkan dengan leluasa untuk menguping, layaknya Bapak pemilik warung yang bengong melihat ada anak perempuan jalan dengan bencong. Saya terus mendengarkan tanpa bosan, mereka ingin didengar, beruntung dari dulu saya adalah pendengar curhat yang baik. Tidak ingin melontarkan apapun, tidaklah perlu menghakimi keadaan Ipuy dan juga kelak rahasia yang terungkap dari Cahaya. “Lovely Man” sendiri bukan sebuah film yang ingin mengadili kesalahan, tapi berusaha memperbaiki dengan caranya sendiri, tidak berusaha ingin jadi film yang bijaksana dengan segala tetek bengek pesan moral, tapi disana ada pesan yang dapat diambil kapan saja, terserah tanpa ada paksaan. Kian malam menuju pagi, obrolan di “Lovely Man” semakin dalam dan saya berada di posisi yang ingin semua berujung pada happy-ending, tapi biarlah film ini menyimpulkan sendiri apa yang dimulainya sejak awal. Apapun yang nanti menjadi penutup kisah sederhana ini, saya akan menerimanya.

Puas dengan cerita, “Lovely Man” juga dibungkus Teddy dengan shot-shot yang tak kalah indah dengan ikatan emosi yang sudah terjalin antara Ipuy, Cahaya dan juga penontonnya, termasuk saya. Digawangi oleh Ical Tanjung, Jakarta yang keras jadi selembut hati Ipuy yang lama-lama melunak, terpotret indah menjadi latar belakang manis menemani perkenalan-ulang yang singkat antara ayah dan anak. Namun tetap keindahan Jakarta itu hanya akan jadi kerlap-kerlip nge-blur, pemanis yang cukup takarannya, ketika adegan-adegan dimana kamera fokus untuk menangkap emosi antara Cahaya dan Ayahnya saja sudah dibuat sedemikian indah. 75 menit seperti belum cukup bagi saya untuk meninggalkan “Lovely Man”, tidak rela untuk berpisah dengan Ipuy dan Cahaya, perkenalan tadi malam sungguh luar biasa. Teddy sudah menghadirkan kisah yang begitu membekas di hati saya, jalan-jalan malam yang mengajak saya tidak hanya melihat Jakarta dibalik keglamorannya tetapi menengok kehidupan para transgender yang biasanya kalau di “film lainnya” hanya dijadikan bahan lawakan, disini mereka di-manusiakan. Atraksi konflik dan perjalanan antara Cahaya dan Ipuy dalam mencari ikatan ayah dan anak yang selama ini hilang, disajikan tanpa dramatisasi yang berlebih, semua porsinya sangat pas, termasuk porsi akting Donny Damara dan Raihaanun Soeriaatmadja.