Belum sembuh dari stroke ringan karena mendengar film berjudul “Nenek Gayung”, sekuelnya buru-buru ditayangin, seperti tidak ada hari lain untuk menayangkan film semacam ini. Tidak berjodoh untuk menonton “Nenek Gayung”, saya memberanikan diri untuk membeli tiket “Kakek Cangkul”, katanya sekuel, katanya suaminya Nenek Gayung, ekspektasi berlebihan saya jika film ini akan memberikan saya sensasi film horor yang menakutkan, langsung kandas ketika Zaky Zimah dan kawan-kawan, itu termasuk aktor legendaris di jagat film kacrut, Rizky Mocil, muncul dilayar dengan segala upaya untuk membuat mood ini kendur dan otak ini bergeser miring, seperti ditepuk-tepuk oleh “Trio Macan” sambil menendangkan lagu “Iwa Peyek”. Saya tak bisa membandingkan “kesadisan” film ini dengan prekuelnya, tapi yang pasti tidak akan jauh berbeda, dari segi kualitasnya yang “nista”, dan jangan paksa saya untuk menonton “Nenek Gayung”, tolong! saya masih sayang nyawa.

Jadi siapa “Nenek Gayung” dan “Kakek Cangkul” itu? mereka bisa dibilang termasuk legenda urban, sama seperti pocong keliling dan kolor ijo. Pertama kali saya baca ceritanya di sebuah forum, serius kalau difilmkan pasti bakal seram. Well, ternyata becandaan saya itu jadi kenyataan, heboh di masyarakat dan dunia maya, bukanlah tidak mungkin filmnya pun akan heboh, kalau sudah heboh, uangpun mengalir kaya air kencing. Dasar kebiasaan, seperti yang sudah-sudah, cerita dari mulut ke mulut yang tampaknya menjanjikan, kaya “Nenek Gayung” ini, akan berantakan pada saat jatuh ke tangan mereka yang hanya cari untung. Wajar sih kalau cari untung, siapa sih yang tidak mau dapat uang dari hasil jerih payahnya, termasuk juga film. Namun orang-orang yang biasa membuat film kacrut dan geng produser fast-food, berbicara soal esekusi, tampaknya menghasilkan sebuah film yang bener aja mereka tak becus. Sudah berapa cerita horor lokal jadi korban, ditonton ratusan ribu orang tapi secara langsung juga menghancurkan martabat sinema horor kita, pocong dan kuntilanak adalah dua ikon horor yang tampaknya paling terkena imbas kerakusan “mereka”. Sudah mukanya nga karuan, harga diri mereka sebagai hantu yang seharusnya bisa menakuti penonton pun diinjak-injak, apalagi jika sudah main di film Nayato atau… kayanya saya tak perlu sebut namanya. Takut orangnya tiba-tiba muncul pas saya lagi nulis review yang tampaknya sudah ngawur kemana-mana ini.

Kembali ke “Kakek Cangkul”, saya bernafas lega saat datang 10 menit terlambat ke studio, ternyata filmnya baru saja main. Blah! Beberapa menit kemudian penyesalan pun tiba, datang terlambat sampai setengah jam pun lebih baik ketimbang akhirnya menjalani siksaan selama 70 menitan, dicekik oleh kedangkalan “Kakek Cangkul” dalam menyajikan film yang katanya sih horor komedi ini. Disutradarai oleh Nuri Dahlia (tolong, catat namanya), “Kakek Cangkul” terlampau percaya diri untuk jadi yang orisinil, padahal diatas kertas, formula yang dipakai film ini sudah beberapa kali “dipake” film-film horor terbelakang sebelumnya, bak memakai kondom bekas, ew menjijikkan. Siapa bilang “Kakek Cangkul” itu hiburan dengan cerita ringan, film horor yang satu ini bisa dibilang complicated, mirip kaya status aku di facebook, kusut kaya hubungan kita, woi…woi kenapa cari curhat colongan. Layer ceritanya bertumpuk, malah masing-masing seperti diesekusi oleh sutradara yang berbeda. Beruntung sekali saya, bayar untuk satu film ternyata dikasih tiga film tambahan yang ketiganya sama-sama berantakan. Satu, cerita tentang “Kakek Cangkul”, terus cerita Zaky Zimah kemping—ceritanya mirip sama salah-satu segmen di film horor antologi Thailand “4Bia”, hmm “The Man In The Middle” kalau tak salah judul. Cerita terakhir, tentang Pak Lurah sekaligus calon Gubernur yang punya asisten berisik mampus. Semua cerita dicampur-aduk dengan pondasi teror “Kakek Cangkul”, yah pondasinya saja sudah nga bener, wajar jika filmnya “ambruk”.

Tak habis pikirlah saya, bikin komedi aja belum bener, bikin film horor selalu sukses bikin penontonnya diopname, kenapa pula ke-pedean bikin horor komedi yang jelas kerjanya jadi terlihat dua kali, bikin orang takut sekaligus tertawa. “Kakek Cangkul” tidak saja gagal bikin bulu kuduk saya ngac*ng tapi juga sama sekali tidak lucu, ya walaupun Rizky Mocil dan kawan-kawan sudah susah-susah berlagak dan berlakon idiot, tetep saja sia-sia, maaf ya Mocil. Meskipun lo lebih dulu isap cimeng sebelum nonton “Kakek Cangkul”, percaya deh efek cimeng bakal nga mempan, nga bakal lo katawa. Kayanya pun perpaduan antara cimeng plus “Kakek Cangkul” malah bikin otak lo “komplikasi”, lebih baik meminum obat tidur aja, jadi selama film main, lo asyik tidur. Jangan bawa pacar juga kalau mau nonton film ini, selain bikin ngiri dan ngiler orang sebelah lo yang nonton sendirian, yah kesihan, mening ajak nonton film Indonesia lain yang lebih berotak. Saya memang tak bisa terlalu banyak ngomongin “Nenek Gayung” yang sukses menyiduk 400 ribuan penonton, memikirkan bakal kaya apa filmnya aja sudah muntah. Sayangnya “Kakek Cangkul” bukanlah siksaan terakhir bagi perfilman tanah air, boleh percaya boleh nga, “Nenek Pispot” akan jadi penutup trilogi “Lecek”. Semoga bisa lebih baik… maaf saya hanya bercanda.