Dulu, saya tuh sanggup duduk berjam-jam di depan televisi, bangun pagi karena tidak mau terlewat acara kesayangan, apalagi jika hari minggu tiba. Sekarang duduk satu menit pun tampaknya jadi hal yang mustahil, bukan karena tidak ada waktu, tapi lebih karena alasan program acara di televisi lokal kita yang makin hari makin “mengerikan”. Tidak hanya sinetron, acara-acara musik kampungan dan segambreng reality show yang bagi saya sih tidak mendidik, bahkan otak ini serasa ingin berteriak saat berita-berita tv lebih senang menjual konten-konten kekerasan. Orang berantem, rusuh sana-rusuh sini tampaknya sudah “biasa” dan menayangkan gambar-gambar disturbing berulang-ulang walaupun di-buramkan dengan latar musik yang megah, itu juga jadi hal yang normal. Yah memang tidak semua acara tv lokal kita itu “sampah”, ada yang masih manusiawi, tapi percuma jika 80% sisanya memuakkan. Kemana film-film kartun yang dulu pernah hiasi pagi hari kita, semua diganti dengan acara musik-musik dan sinetron yang bikin saya ingin melempar tisu basah ke arah tv, pengennya sih mengambil shotgun lalu membabi-buta membuang peluru, tapi saya tak punya senjata dan sayang menghancurkan tv satu-satunya. Kasihan generasi sekarang, terutama anak-anak kecil yang tak lagi punya tontonan yang sepantasnya. Muak nga?

“God Bless America” mewakili apa yang ada di kepala saya, bayangan gelap, saat menonton acara-acara tv lokal yang dari hari ke hari makin syit. Kenalkan Frank (Joel Murray), hidupnya bisa diblang sucks banget, belasan tahun kerja di kantor asuransi akhirnya dipecat gara-gara kirim bunga ke teman kantornya, dituduh yang macam-macam. Dokternya mem-vonis Frank mempunyai tumor di kepala, dan hidupnya mungkin tidak akan lama lagi. Mantan istrinya akan menikah lagi dan Frank tidak terlalu akur dengan anak perempuannya yang selalu merengek jika ingin sesuatu, dan berteriak-teriak karena tidak dibelikan iphone. Hidupnya yang tampak kacau makin lengkap ketika Frank duduk di sofa dan menyaksikkan acara-acara televisi idiot, dari reality show tolol sampai acara mirip American Idol yang dipikirnya hanya bisa mengolok-ngolok peserta yang tidak bisa nyanyi. Frank yang depresi awalnya ingin bunuh diri tapi mengurungkan niatnya ketika melihat gadis bernama Chloe di sebuah reality show. Dari acara tersebut, terlebih Chloe yang mengganggu, Frank akhirnya terinspirasi untuk membunuh mereka yang disebut Frank “orang-orang yang pantas mati”. Chloe jadi korban pertama, dan aksinya dilihat Roxy (Tara Lynne Barr) yang menganggapnya “cool”. Frank dan Roxy akhirnya jadi semacam pasangan ‘sinting”. Revolusi dimulai.

Bobcat Goldthwait yang menyutradari “God Bless America” sekaligus merangkap sebagai penulis, memang tidak mengarahkan filmnya untuk hanya fokus kepada kesadisan Frank yang menembak orang-orang yang dianggapnya “pantas mati”, atau ide liar Roxy yang berdarah-darah. Ide Bobcat memang seliar Roxy, tapi film ini tidak asal tembak sana-sini, ketika peluru-peluru yang berterbangan keluar dari moncong pistol Frank tersebut menembus tubuh-tubuh korbannya, Bobcat juga secara bersamaan menembakkan kritikannya, tepat sasaran ke masyarakat yang tampaknya diam saja dijejali acara-acara bodoh yang tiap hari tayang di tv. Cara Bobcat untuk mencemooh budaya pop Amerika dengan berbagai acara tv yang semakin tidak bermoral dan mendidik, memang tidak biasa, diwakili oleh Frank dan Roxy yang diberikan peran algojo, “mengesekusi” orang-orang yang sepertinya sudah tidak menghargai nilai-nilai kebaikan yang ada di masyarakat. Sekecil apapun itu, termasuk yah menembaki orang-orang yang berisik di dalam bioskop. Sadis memang tapi percayalah kritikan sinting “God Bless America” itu lebih efektif daripada acara-acara talkshow yang sering saya tonton di tv, penuh dengan nara sumber yang hanya pintar bicara tapi tetap sajalah omong kosong, “God Bless America” pun oleh Bobcat tidak dikonsep untuk jadi film serius, tidak juga jadi film yang “berceramah”, tapi justru dikemas komedi “dark”. Fun!

Jangan salahkan “God Bless America” yang membuat saya tertawa ketika melihat seorang gadis manja-rewel ditembak sampai pecah kepalanya di mobil, mungkin saja hanya selera humor saya yang buruk. Bisa jadi saya sedang membayangkan di mobil itu bukan Chloe tapi Uya Kuya misalnya. “God Bless America” tahu cara menghibur saya yang sudah muak dengan konten sampah televisi, melalui tokoh Frank dan Roxy yang dimainkan dengan apik oleh Joel Murray dan si cantik imut Tara Lynne Barr, yang sudah menghadirkan chemistry yang juga hebat. Sekilas duo Frank-Roxy mengingatkan saya dengan Mickey dan Mallory di “Natural Born Killers” (1994), film yang sama-sama mengkritik masyarakat dan media dengan cara yang juga “sinting”. “God Bless America” adalah sebuah surat cinta Bobcat untuk kebobrokan moral televisi yang menyajikan acara-acara tahi kucing, yang mereka sebut sebagai hiburan. Apa yang dirasakan oleh Frank, pernah dirasakan oleh Bobcat Goldthwait, saya dan kita semua yang muak dengan televisi. Muak dengan acara pernikahan Anang –Ashanty yang ditayangkan sampai tiga jam di salah-satu tv lokal. Entah acara tidak penting apalagi yang ditayangkan nantinya, “God Bless America” sekali lagi mewakilkan apa yang pernah melintas di kepala kita yang muak ketika menonton sampah-sampah itu hilir-mudik di layar tv kita.