Seri “REC” yang dimulai pada tahun 2007 oleh duo sutradara asal Spanyol Jaume Balagueró dan Paco Plaza bisa dibilang membawa genre film zombie ke level yang baru, “mayat hidup”-nya masih tetap sama, jelek dan doyan menggigit, yang berbeda adalah sumber infeksinya dan kemasan yang membalut film tersebut. Jaume dan Paco mengaplikasikan dokumenter palsu, atau saya sering menyebutnya dengan mokumenter, atau biasa disebut juga dengan “found footage”, semakin menambah ketegangan yang sudah jadi ciri khas film zombie. Mokumenter memang bukanlah suatu hal yang baru di dunia perfilman horor, “The Blair Witch Project” -lah yang membuat gaya tersebut kembali popular, tapi ketika gaya tersebut dipresentasikan ke dalam dunia zombie-zombie-an, sensasi ketakutan itu menjadi semakin mengasyikkan. Well, zombie plus mokumenter sebetulnya juga bukan satu-satunya milik Jaume dan Paco dengan “REC”-nya, di tahun yang sama, George A. Romero juga membuat film zombie dengan kemasan sama, sayangnya “Diary of the Dead” walau masih menarik di mata saya tapi “kalah saing” jika dibandingkan dengan “REC” yang menyodorkan paket lengkap kepada mereka yang menyebut fans film horor, khususnya zombie. Setahun sebelumnya, 2006, film independen asal Inggris bergabung untuk menginfeksi dunia dengan zombie, “The Zombie Diaries” juga sama-sama dibuat ala dokumenter bohong-bohong-an, sayang film ini memang kurang didengar.

Setelah dua film, terakhir “REC 2” (2009) yang sempat juga ditayangkan di Indonesia, memang bukan lagi kejutan jika nantinya Jaume dan Paco ngiler untuk membuat kelanjutannya, saya pikir seri ini punya banyak potensi untuk dikembangkan, terlebih saya panasaran akan seperti apa kemasan mokumenter di film berikutnya, karena di “REC 2” bisa dibilang Jaume dan Paco cukup lihai memanfaatkan berbagai macam kamera untuk “berbicara” menceritakan apa yang tengah terjadi di apartemen ber-zombie itu, termasuk kamera yang ditempelkan di helm para pasukan SWAT. Jaume dan Paco pun menjawab rasa penasaran saya, gilanya akan ada dua film “REC”, satu berembel-embel “Genesis” dan selanjutnya “Apocalypse”. Jaume dan Paco bagi saya sudah membuat standart baru bagaimana membuat film zombie yang dikemas mokumenter, mereka sudah membakukan formula film zombie baru yang asyik, walau pada awalnya saya agak tidak terima dengan alternatif “darimana datangnya si virus zombie”, mengejutkan tapi lamban laun saya pikir tidak perlu dipusingkan, terserah mereka-lah, nikmati saja bagaimana Jaume dan Paco bermain dengan para zombie-nya. Ekspektasi besar sudah dengan sendirinya terbentuk dalam bayangan saya, “REC 3” seharusnya bisa memberikan “sesuatu” yang lebih ketimbang pendahulunya. Entah kenapa kedua sutradara ini memutuskan untuk “berpisah”, Paco menyutradarai film ketiga sedangkan Jaume akan duduk di bangku sutradara “REC 4”. Hasilnya memang agak mengecewakan, “REC 3” seperti sebuah teaser untuk film selanjutnya, saya tidak serta merta menghakimi dengan sebutan “jelek”, sebagai sebuah film yang berdiri sendiri “REC 3” akan oke-oke saja, tapi sebagai sekuel, ini jelas melenceng dari apa yang saya bayangkan sebelumnya. Ah namun sekali lagi saya tidak banyak memusingkan, tetap enjoy.

Dalam “REC 3”, lokasi tidak lagi mengambil tempat di apartemen tapi mengajak kita ke tempat lain, penonton diundang ke sebuah pernikahan, hari bersejarah bagi kedua pasangan, Koldo (Diego Martin) dan Clara (Leticia Dolera). Seperti halnya acara pernikahan pada umumnya, kita akan melihat wajah-wajah ceria penuh senyum, termasuk kedua pasang pengantin yang tidak ada habisnya menebar rasa sayang kepada seluruh undangan. Dentuman musik disko pun makin memeriahkan pesta tersebut, sayangnya “tamu tak diundang” merusak pesta yang tadinya normal-normal saja. “Pesta” masih tetap berjalan, tapi sekarang dimeriahkan oleh teriakan-teriakan tamu undangan yang sedang digigit oleh, well saya sebut saja zombie. Darah yang mengalir dari tubuh-tubuh tak bernyawa itu sekarang menghiasi lantai dansa. Santapan lezat yang tertata rapih di meja hanya jadi hiasan tak dipedulikan, karena mereka yang sudah terinfeksi lebih memilih mengejar manusia yang hidup dan mencicipi leher mereka. Semua berantakan, yah itu termasuk ekspektasi saya yang akan melihat film mokumenter yang asyik seperti film pertama atau kedua. Paco sudah “terinfeksi” ide lain, meninggalkan pakem “REC” yang sudah dibangun dari awal. “REC 3” sekarang bercerita dengan gaya konvensional, tidak lagi dikemas dengan mokumenter seutuhnya, yah sebagai “penyedap” agar rasa mokumenter yang melekat dari film pertama dan kedua tetap masih berasa, Paco menyisipkan pengambilan gambar “first person” melalui medium kamera personal di awal film. Lucunya ada satu adegan yang memperlihatkan kamera yang tergeletak, seolah-seolah Paco ingin mengucapkan pesan selamat tinggal pada mokumenter, ada kamera-kamera CCTV disana tapi nuansa dokumenter itu jelas sudah sangat berbeda, bisa dibilang semi-mokumenter seperti “District 9”.

Apalah namanya, mokumenter atau bukan, “REC 3” memang sudah telanjur biasa saja, Paco menyajikan hidangan yang sama tapi berbeda rasa, tampaknya menyutradarai film ini sendiri membuat kualitasnya pun ikut terbelah menjadi dua. Jika film pertama dan kedua masih bisa menghadirkan misteri tentang sumber infeksi, di film ketiga ini tidak banyak misteri-misteri baru yang ditawarkan, atau banyak menjawab pertanyaan yang masih nyangkut setelah saya menonton film pertama dan kedua. “REC 3” hanya ingin memperlihatkan apa yang terjadi di tempat lain ketika kemungkinan “REC 2” sedang terjadi, yah kedua film ini sepertinya memang terjadi dalam waktu bersamaan, jika penonton jeli akan ada sebuah clue menarik terselip disana, diantara ketegangan yang tengah dibangun oleh Paco. Bicara soal “tegang”, film yang tayang di Indonesia bulan April ini masih bisa dibilang berhasil, walaupun kejutan-kejutannya sudah pernah ada di dua film sebelumnya. Apa yang menarik sekarang adalah bagaimana sang sutradara sepertinya sedang bersenang-senang dalam urusan menghadirkan kesadisan, yah akan ada banyak adegan menjijikkan, disturbing, gory dan bikin muntah. Sisi menyenangkan dari kepala yang terbelah dan darah yang muncrat kemana-mana menjadi bagian paling asyik di film ini, selebihnya “REC 3” adalah petualangan berdarah yang agak membosankan, apalagi dengan keromantisannya yang dikombinasikan komedi, menghibur tapi saya sedang tidak ingin melihat yang lucu-lucu. Sekali lagi “REC 3” bukan film zombie yang jelek, hanya saja kali ini skala “hiburannya” berkurang setengah dari dua film sebelumnya. Beruntung disana ada seorang Leticia Dolera yang cukup menawan berperan sebagai heroine, semoga saja “REC 4” bisa lebih baik dari film ini…berharap Jaume bisa memperbaiki kekurangan rekannya.