Tampaknya saya masih bisa menghitung film-film layar lebar yang didasarkan serial televisi tahun 80-an, yang terbilang sukses, tidak hanya di mata kritikus tapi secara komersil juga tentunya, setidaknya “bagus” di mata saya yang amatiran ini, well film “The A-Team” salah-satunya, memang banyak “bolong”-nya dan tidak terhindar dari cercaan kritikus film, tapi jujur sebagai hiburan, ini masih masuk daftar saya untuk film-aksi-tanpa-otak yang rekomen. “21 Jump Street” yang berasal dari ranah serial televisi 80-an—melambungkan nama seorang Johnny Depp—juga sama-sama di-niatkan untuk jadi bukan film yang serius, dibuat “bener” untuk menjadi konyol-konyolan, bedanya kita tidak akan disajikan setumpuk aksi gila-gilaan seperti yang disodorkan Hannibal dan kawan-kawan. Jujur, saya belum pernah melihat secuil adegan pun untuk versi televisinya sebelum menonton “21 Jump Street” versi layar lebar, walaupun pernah, saya sama sekali tidak ingat (bukan juga ingin menutup-nutupi umur, takut dibilang tua). Menonton “21 Jump Street” tak pelak membawa saya mengingat duo-duo ciamik ber-chemistry juara, sebut saja Will Smith dan Martin Lawrence di dua film “Bad Boys”, atau Mel Gibson dan Danny Glover di seri “Lethal Weapon”. Bisa dibilang jarang, dua aktor ketika di-duetkan dalam satu film bisa “menebar pesona” dengan tepat, tidak saya sangka Jonah Hill dan Channing Tatum bisa melakukan itu, terlebih Tatum, saya sudah “eww” duluan.

Opening “21 Jump Street” saja sudah “menggoda” saya dan berbisik “film ini pasti akan gila”, dengan latar belakang lagu “The Real Slim Shady”, seseorang cowok yang bergaya Eminem disorot dari belakang, memasuki sebuah sekolah, setelah kamera dengan jelas menyorot wajahnya, kita tahu itu bukan Eminem melainkan Jonah Hill yang disini berperan sebagai Morton Schmidt, tipikal peran yang sangat-Jonah-Hill-sekali, cupu dan jadi incaran pem-bully-an anak yang lebih populer, termasuk Greg Jenko (Channing Tatum). Bisa dibilang di SMA mereka bermusuhan, dua karakter yang bertolak belakang, tapi setelah tujuh tahun berlalu, Schmidt dan Jenko kembali dipertemukan di sebuah akademi  kepolisian. Dua orang yang dulunya musuh, kali ini mempertemukan kelemahannya masing-masing, Schmidt lemah dalam semua bidang yang berhubungan dengan fisik, sedangkan Jenko tidak berdaya ketika sudah berhadapan dengan soal-soal teori. Schmidt yang lebih pintar membantunya untuk memperbaiki nilai ujian teori, sebaliknya Jenko membantu Schmidt untuk bisa lulus ujian fisik, keduanya pun jadi sahabat. Sampai jadi polisi beneran mereka tetap saja kompak, termasuk juga kompak gobloknya. Kegoblokan Schmidt dan Jenko akhirnya “menjebloskan” mereka ke unit penyamaran bernama “21 Jump Street”, bermarkas di sebuah Gereja orang Korea. Habis “diceramahi” oleh Kapten Dickson (Ice Cube) yang “santun” dalam berbicara, Schmidt dan Jenko ditugasi menyamar kembali jadi anak sekolahan untuk menangkap gembong narkoba. Apakah Schmidt dan Jenko bisa lulus “ujian” atau justru mendapat nilai “F” dari Kapten Dickson?

Sebuah pilihan yang bijak, memilih menonton “21 Jump Street” pada penayangan tengah malam alias midnight, karena alasan bisik-bisik kalau film ini bagus, selain itu juga saya butuh untuk tertawa, jadi “Mirror-Mirror”, dongeng Snow White versi Tarsem Singh (The Fall) saya singkirkan. Seluruh bangku terisi penuh, saya sialnya kebagian kursi yang tidak strategis, tapi tak apalah! toh pada akhirnya setelah film berjalan, saya lupa dengan posisi duduk saya. Belum ada separuh film, “21 Jump Street” sudah membuat saya mengumpulkan banyak kata-kata kotor nan kasar yang tidak pantas disebut di review ini, studio-3 kala itu pun riuh dengan tawa yang tak ada habisnya, termasuk saya yang berada di pojok, yang tak peduli dibilang orang gila sekalipun, saya puas tertawa tanpa ampun pada malam itu. Phil Lord dan Chris Miller tahu bagaimana cara memproyeksikan setiap tulisan cerita yang ditulis Jonah Hill dan Michael Bacall, menjadi 100 menit penuh kegilaan. Ok banyak kata-kata kotor hilir mudik dari kedua congor pemain utamanya Hill-Tatum, setumpuk adegan humor slapstick dan komedi jorok yang tak ada habisnya. Semua jadi lucu karena, film ini mampu memuntahkan semua humornya disaat yang tepat dengan dan tak harus berlebihan dalam penyampaiannya. Dengan suguhan cerita tipikal film-film remaja ala Jonah Hill digabungkan dengan “Bad Boys” yang terlampau ringan, kita tidak perlu repot-repot mengandalkan otak untuk melahap semua adegannya, tidak perlu serius mencerna setiap kekonyolannya, film ini dibuat agar kita duduk betah di kursi dan menikmati kebodohan demi kebodohan duo Hill-Tatum dan terserah mau meresponnya dengan cara apa, tertawa sambil jungkir balik, silahkan.

Tidak perlu sok pintar memprediksi akhir cerita, tidak peduli ada atau tidak ada twist, saya memilih menikmati petualangan konyol nan tolol dari Schmidt dan Jenko mengubek-ngubek sekolahan sambil menutup-nutupi identitas asli mereka, demi ya apalagi jika bukan menemukan gembong narkoba yang men-supply sebuah obat terlarang bernama “HFS” yang sedang populer di kalangan anak sekolah, lupakan jika obat ini bisa bikin penggunanya “terbang” ke alam baka, ada yang lebih gila dan mematikan dari itu, ketika pemakainya mulai melewati fase-fase giting diakibatkan oleh obat tersebut, jadi salah-satu bagian terlucu di film ini. kata “lucu” memang jadi kata yang wajib ada di “21 Jump Street”, Jonah Hill dan Michael Bacall merangkainya dengan sempurna, Phil Lord dan Chris Miller mengesekusinya dengan mantap. Hasil dari peleburan antara naskah dan esekusi yang mantap adalah sebuah sajian film komedi yang berhasil menciptakan respon jujur berupa tawa. Pokoknya “21 Jump Street” itu lucu, titik, dan duo Schmidt dan Jenko yang diperankan oleh Hill-Tatum tidak hanya hadir untuk jadi target muntahan tawa, tapi memberi kita sesuatu yang lebih dari sekedar peran bodoh, mereka mampu menampilkan chemistry yang tak saya sangka sangatlah “kompak”, hubungan persahabatan yang kuat dengan akting yang juga membuat saya peduli, terlebih kepada Tatum (seperti halnya di Haywire). Jadi jikan ingin mencari film yang lucu, “21 Jump Street” adalah pilihan yang tepat, tidak asal nyeletuk kasar tapi dimbangi dengan humor yang menurut saya cerdas, nyeleneh pasti tapi toh tepat sasaran menggelitik syaraf tawa penonton.