“The Artist adalah sebuah surat cinta untuk sinema”, itulah sepenggal statement dari Michel Hazanavicius ketika filmnya “diserang”, karena penggunaan musik dari film “Vertigo” (Alfred Hitchcock, 1958). “Surat cinta”, tampaknya memang tepat untuk menggambarkan kesederhanaan film dari sutradara asal Perancis ini, bukan email cinta atau sms cinta, Hazanavicius memakai kata “surat”, bentuk komunikasi “kuno” yang walau masih dipakai tapi jarang dilakukan orang di jaman modern ini. Persis seperti surat tersebut, ketika film berevolusi semakin canggih, ketika film-film yang berbujet besar lebih memilih menghabiskan uang untuk memoles filmnya dengan berlapis-lapis visual efek, ketika tampilan begitu penting dibanding cerita dan saat kebanyakan film-film yang rilis “latah” menambahkan embel-embel 3D, “The Artist” tiba-tiba muncul untuk mengingatkan kita kembali, film sederhana, hitam-putih dan tanpa dialog, tapi yang dibuat karena filmmaker-nya cinta dengan film, akan jauh lebih “seksi” dan cantik. Saya bukan penonton yang anti dengan film-film pengobral visual efek, saya orang yang suka “Transformers” sampai seri terakhirnya, dan saya juga suka “The Artist”, bagaimana pun Hazanavicius telah mengetuk hati saya untuk mengingatkan kenapa saya begitu suka menonton… “The Artist” memberikan saya pengalaman nonton di bioskop yang tidak pernah dirasakan selama ini.

Film bisu yang menceritakan tentang film bisu, itulah “The Artist”, jadi jangan kaget ketika anda telat masuk gara-gara pacar terkunci di toilet, film sudah dimulai sejak 30 menit yang lalu, tapi sepi-sepi saja, “jangan-jangan salah masuk studio?”, begitu melihat cahaya terang didalam, barulah sadar anda tidak salah masuk tapi filmnya “diam”. Namun “The Artist” tidak sebisu itu, sambil melihat gambar bergerak kesana dan kemari, penonton masih akan disuguhkan hingar-bingar musik. Walaupun si Hazanavicius ingin mempresentasikan kemasan film bisu yang sama persis seperti bagaimana orang-orang di tahun 1920-an membuatnya, lengkap dengan formatnya yang tidak widescreen layaknya film-film jaman sekarang, tapi ber-ratio “1.37”, jadi jangan menyalahkah projeksionisnya ketika melihat layar bioskop kok filmnya jadi kotak, itu salah-satu “keisengan” Hazanavicius. Untungnya Hazanavicius tidak ikut-ikutan memakai serombongan orkestra dan menempatkan mereka didepan untuk bermain musik selagi film bergulir dari adegan ke adegan lain, seperti yang film ini perlihatkan, “The Artist” memilih tidak repot dan memasukkan musik dalam satu paket dengan filmnya. Menonton “The Artist” memang tidak hanya mengajak saya ke sebuah era yang masih “asing”, karena saya pun jarang menonton film-film bisu, kecuali beberapa film dari Charlie Chaplin, tapi juga membuat saya berubah seperti anak kecil yang baru dikenalkan mainan baru, takjub tiada hentinya.

Lucu yah ketika datang ke bioskop bertahun-tahun disuguhi film-film yang “berisik” dengan dialog bercampur macam-macam efek suara, tiba-tiba duduk di bioskop menonton film “The Artist”, yang notabennya “sepi”. Saking sepinya, makan popcorn saja harus pelan-pelan supaya tidak berisik, tidak ada waktu untuk sibuk memeriksa timeline twitter,  karena “The Artist” tengah sibuk menghipnotis mata penontonnya agar tidak lepas dari layar berisi orang-orang ngomong tapi tidak bersuara. Modal film ini untuk memaksa saya betah duduk selama 100 menit memang bukan cerita, saya akui justru ceritanya sangat sederhana, jadi tidak perlu khawatir disodorkan cerita yang rumit. Bagaimana Hazanavicius mengesekusi cerita yang ia tulis sendiri itulah yang membuat “The Artist” menjadi menarik, ditambah performa pemainnya yang memang “diwajibkan” untuk tampil maksimal mengekspresikan wajah mereka, selain itu berbicara lewat gerak-gerik bahasa tubuh, mentransfer emosi langsung ke wajah-wajah yang sedang bengong, termasuk saya yang duduk di baris tengah.

Beranggapan bahwa “The Artist” adalah film serius, ternyata salah total, ekspektaksi saya untuk film ini memang tinggi dan Hazanavicius membuat ekspektasi tersebut “diam” ketika melihat langsung filmnya. Sangat-FUN, beberapa kali “The Artist” bisa mengajak saya tertawa melihat tingkah pola aktor dan aktrisnya, termasuk pemain utama di film ini, Jean Dujardin, yang berperan sebagai George Valentin, seorang bintang di era film bisu pada tahun 1927. Karirnya bisa dibilang gemilang, sampai akhirnya produksi film bisu dihentikan, tergantikan oleh “Talkies” alias film yang berbicara. George dengan egonya yang tinggi tidak mau mengikuti perkembangan jaman, ketimbang ikut bermain di film berbicara, George memilih memproduksi film bisunya sendiri. Namun film tersebut gagal dipasaran, karir George makin terpuruk, bangkrut, dan ditambah istrinya mengusirnya dari rumah. Berbeda dengan George, Peppy Miller (Bérénice Bejo), yang awalnya hanya seorang gadis yang kebetulan jadi headline surat kabar karena mencium idolanya George, karirnya sebagai aktris justru kian menanjang, dengan membintangi berbagai film “bicara”.

Melihat dua filmnya sebelum membesut “The Artist”, Hazanavicius memang sudah menyukai film-film yang berbau “jadul”, dan dia sudah lama memimpikan membuat film bisu. “The Artist” pun bisa dibilang sebagai penghormatannya kepada era film bisu, dimana diakuinya kebanyakan filmaker pujaannya ada di era tersebut. Tidak heran jika kecintaannya terhadap sinema langsung menulari saya, begitu melihat apa yang dia hasilkan lewat “The Artist”. Jika di paragraf awal saya menyebut kata takjub tiada henti, maka di akhir film saya menyebut kata “anj*ng”, bukan karena memang disini ada Uggie si anjing yang menggemaskan, tapi karena Hazanavicius sudah sukses membuat saya terkesima tiada akhir (kalimatnya sudah mulai ngaco). Film ini tidak hanya hebat, tapi juga punya karisma dan kehangatan, yang membuat saya betah tanpa rasa kantuk walaupun menonton pemutaran midnight. Selain Jean Dujardin yang bermain fantastik, Bérénice Bejo yang juga adalah istri Hazanavicius, tidak kalah menampilkan performa akting yang memukau dan juga manis. Begitu juga dengan sederet pemain lain yang ikut memberikan tiupan nyawa ke dalam film ini, termasuk John Goodman yang bermain sebagai bos Kinograph, Al Zimmer. Ok, jika ada kata-kata bijak “diam itu emas”, itulah “The Artist”, sebuah film yang tidak berbicara tapi memiliki dampak besar kepada yang menontonnya, memberikan saya kesempatan untuk merasakan pengalaman “emas” yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Terima kasih Michel Hazanavicius dan tentu saja musik yang digarap dengan sangat-sangat indah oleh Ludovic Bource, serasa ingin ikut berdansa dengan George Valentin dan Peppy Miller melihat ending film ini.