Seperti niat film ini yang baik untuk menjejalkan sebuah “pesan moral” tentang human trafficking, niat saya datang ke bioskop juga baik, untuk duduk manis menonton “Xia Aimei”, tidak ada alasan lain, yah paling yang terselubung ingin melihat sosok gadis berkostum sailor-moon yang terpajang di posternya yang nga banget itu. Percayalah ini bukan film pembela kebenaran konyol macam “Madame X”, ini film serius yang juga mengangkat tema yang serius pula, tapi entah kenapa sepanjang film saya justru lebih sering tertawa geli, layaknya menonton komedi. Oke, saya menonton “Xia Aimei” pada jam pemutaran terakhir, kira-kira pukul 21.30, di salah-satu bioskop yang jadi “markas”-nya film Indonesia. Agak malas sih ketika membeli tiket, ternyata terlihat di layar kalau baru tiga kursi yang dicetak warna merah, yang berarti sudah terisi. Perkiraan saya akan ada tambahan penonton, tapi setelah film dimulai dan saya sudah duduk di kursi, ternyata saya baru sadar hanya seorang diri di dalam studio, tadinya mau keluar saja. Beruntung sebelum saya sempet berdiri dan cabut, dua penonton muncul, mereka duduk di deretan pojok kiri atas, setelah itu tidak ada lagi penonton yang masuk. Oh baiklah, memantapkan niat saya di awal, akhirnya saya teruskan menonton “Xia Aimei”, keputusan yang pada akhirnya hanya meninggalkan penyesalan yang mendalam (drama).

Film dibuka dengan manis, Xia Aimei (Franda) duduk diantara hamparan sawah, dengan narasi yang menceritakan mimpinya dan juga sepenggal kisah hidupnya. Kita juga diajak sebentar melihat kampung halamannya, bukan kampung di Indonesia, tapi di Yangshuo Guangxi, Cina. Selanjutnya, tidak ada lagi kehidupan manis layaknya permen kesukaan Xia Aimei, karena “jeratan hutang keluarga”, seperti yang saya kutip dari sinopsisnya, Aimei dijual oleh pamannya sendiri, dengan iming-iming pekerjaan layak. Nyatanya dia justru jatuh ke tangan Jack (Ferry Salim), pemilik sebuah klub hiburan di suatu tempat di Jakarta, tidak disebutkan tepatnya, yang jelas deket-deket laut, tempat Jack nyuruh anak buahnya buat nyemplungin siapa saja yang “bertingkah” atau menyembunyikan mayat pelanggannya yang tiba-tiba K.O di ranjang. Le Mansion adalah nama klub tersebut, Xia Aimei pun berganti nama menjadi Xi Xi, agar lebih mudah diucapkan oleh bos-bos besar yang datang. Di tempat lain, AJ Park (Samuel Rizal) dan Timun (Gilang Dirgahari), dua orang yang dipaksakan untuk bersahabat terlihat sedang asyik menyelam, memotret isi laut untuk Discovery Underworld International, sekilas namanya mirip perkumpulan penjahat. AJ Park pun diajak ke Le Mansion oleh bosnya, tapi dia lebih memilih untuk nongkrong di luar, biasalah pencitraan untuk seorang jagoan. Sudah bisa ditebak, AJ Park nantinya akan dipertemukan dengan Xi Xi, berkat kebodohan-kebodohan yang dipaksa.

Jika bukan karena kehadiran Franda di “Xia Aimei”, saya pastinya sudah beranjak dari kursi dan pulang ke rumah, saya cowok dan saya jujur. Karena tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari film ini kecuali “jualan” tokoh utamanya, lihat saja poster filmnya yang dungu itu, sudah jelas. Walaupun hanya berdurasi 70 menitan, kenyataannya saya seperti menonton film dua jam lebih, isinya drama yang inginnya serius tapi justru malah lucu, karena kemasannya yang berantakan. Lupakan jualan pesan moral human trafficking-nya, saya benci film yang lebih dulu pamer pesan moral, saya datang ke bioskop bukan untuk dijejali pesan-pesan, percuma jika pada akhirnya tidak meninggalkan kesan apa-apa. Oh, Tuhan kenapa sih film Indonesia itu selalu ingin yang paling jago menunjukkan filmnya punya pesan moral, biarkan kami penonton yang mencari moral dari setiap cerita, tidak perlu ditunjuk-tunjuk, sibuk menumpuk pesan moral lupa menyusun ceritanya dengan benar, percuma dong. “Xia Aimei” sebetulnya punya awal yang menjanjikan, tapi salah melangkah dan kemudian terjun ke dunia klise perfilman Indonesia, jualan pesan moral dengan kemasan yang “melacurkan” isi ceritanya. Hancur!

Untuk urusan akting, Franda cukup piawai dalam hal “menjual” fisiknya yang sekali lagi membuat saya punya alasan untuk tidak pergi pulang, tapi tidak dengan akting, seorang tokoh utama yang dibuat menderita tapi sama sekali tidak mengundang saya untuk jadi bersimpati, kecuali mengajaknya untuk berduaan di ranjang (kotornya otak ini). Franda yang kebanyakan menunduk sepanjang film dan dipaksa untuk jadi cewek paling lugu sejagat pelacuran, justru jadi semakin terlihat mengganggu, apalagi ketika pahlawannya, Samuel Rizal menyuruhnya untuk balik lagi ke Le Mansion, setelah dengan susah payah kabur, hanya untuk mengambil paspor. Lengkap sudah kebodohan dua karakter tersebut, hanya untuk mempermudah jalan cerita film ini, mudah juga bagi Samuel Rizal untuk memerankan karakter yang “aman”, yah tidak jauh beda dari perannya di film-film tema cinta sebelumnya, pokoknya sok suci dan sok cool dihadapan Xi Xi. Gilang Dirgahari yang memerankan Timun, dipaksa untuk melawak, tapi hasilnya tak lebih dari senyum pahit karena lawakan yang dipaksakan. Ferry Salim dan Olga Lydia yang punya porsi antagonis di film ini pun punya level mengganggu berimbang, sama-sama sinetronish. Satu-satunya yang agak meningan adalah Shareefa Daanish, itupun diberi karakter yang tidak terlalu penting. Oh satu lagi, jangan lupa kehadiran Norman Kamaru, yang diberi jatah sedikit untuk adegan gagah memegang senjata, awesome!

Saya pun pulang tanpa punya kesan apa-apa dari “Xia Aimei”, kecuali ingatan Franda dengan kostum sailormoon-nya. Saya pikir ini akan jadi film yang beda, seperti “Cewek Saweran” yang punya poster jelek tapi isinya bisa dibilang lumayan. “Xia Aimei” tidak saja klise, tapi tidak ingin susah, semua jalan menuju ending film dipermudah, termasuk adegan ala film-film spionase ketika Xi Xi mengambil paspornya. Ada cinta disana, klise antara pahlawan dan orang yang ditolongnya, tapi sayangnya untuk chemistry nol besar, yang terpenting saya bisa melihat Franda tersenyum. Mata tidak saja jadi satu-satunya indera yang “disiksa”, tapi juga telinga, ketika film ini memperdengarkan lagu-lagu yang juga tidak sedap untuk didengar, yang mengingatkan saya dengan acara Dahsyat. Seperti yang saya katakan di paragraf awal, “keputusan yang pada akhirnya hanya meninggalkan penyesalan yang mendalam”, yah seharusnya saya keluar secepatnya, tapi untuk Franda saya rela duduk berlama-lama (hampir) sendirian di bioskop.