Sebanyak apapun airmata yang dikeluarkan oleh Donita di film ini, tidak akan pernah bisa mengubah kenyataan bahwa “My Last Love” memang terlalu bodoh. Klise? Iya klise, tapi jika digarap dengan “niat”, saya tidak akan banyak ngomel seperti sekarang, sebaliknya film ini tampaknya bangga untuk menjadi klise, lalu dengan percaya diri terus menumpuk hal-hal yang tidak masuk di akal, bodoh, dan sangat-sangat berlebihan, hanya untuk memeras air mata penontonnya. Oh, saya lupa ini adalah film Nayato, jadi untuk apa seserius itu, film drama cengeng seperti ini toh memang keahliannya, begitu juga horor komedi, setelah akhirnya dia memutuskan untuk meninggalkan film horor beneran, karena sudah jenuh, mungkin hahaha. Sebetulnya nih, lagi-lagi kalau digarap bener, film sejenis “My Last Love” bisa berpotensi untuk bikin saya betah duduk di bioskop, sayangnya Nayato kembali memakai formula paket cermat (cetek teramat sangat, maksa!). Hasilnya, walau katanya diadaptasi dari novel laris karya Agnes Davonar, tetap akan sama saja dengan film-film drama cengoh (cengeng bodoh) –nya Nayato, dan mata saya pun kembali “teraniaya”, Nayato oh Nayato.
“My Last Love” punya seribu cara untuk “mengusir” saya yang sedang serius di tempat duduk, menyelami setiap adegan demi adegan selama 90-an menit dan mencoba menggali pesan terdalam yang tersempil diantara banyaknya adegan Donita yang sedang terlihat galau, gundah-gulana, sedikit menangis, lumayan menangis, sampai nangis yang senangis-nangisnya. Namun, usaha film ini untuk membuat saya keluar secepatnya hanya akan jadi sia-sia, selain keseriusan saya dalam menikmati setiap sajian visual magis yang disuguhkan Nayato, disana ada Donita yang enggan melepas “pelukannya”, tidak dengan aktingnya, tetapi karena saya sedang serius menghitung berapa kali dia menangis di film ini—yang nulis ini sama gobloknya dengan film yang ditonton, nga ada kerjaan pula.
“Kalo tetek aku kempes, pantat aku penyok, kamu masih cinta aku?”, masih ingat dengan dialog berkelas yang satu itu? yup, dari film masterpiece Nayato “18+”, tapi lupakan kalau “My Last Love” akan punya dialog-dialog super-dangkal, sebaliknya, kali ini Nayato punya cara lain untuk menaklukkan hati saya, yaitu dengan berbagai puisi yang “dimuntahkan” ke dalam setiap dialog mengerikan antara Angel (Donita) dan Martin (Evan Sanders). Angel dan Martin, awalnya tidak dipertemukan sebagai sepasang kekasih, Angel sendiri diceritakan punya pacar bernama Hendra (Ajun Perwira), hidupnya sempurna sampai akhirnya sebuah mobil menabraknya, adegan tabrakan yang Nayato reka ulang dari film sebelumnya, sama persis, dengan lokasi yang persis pula. Hidup Angel pun berubah sejak saat itu karena kedua kakinya jadi lumpuh, ditambah Hendra yang tiba-tiba menghilang. Depresi dan sakit hati, kedua sahabatnya mencoba menghibur Angel dengan mengajaknya ke vila.
Di vila itulah, Angel bertemu dengan Martin, yang tidak lain adalah orang yang telah menabraknya dan mengakibatkan kakinya lumpuh. Martin pun masih merahasiakan siapa dirinya yang sebenarnya, dan lambat laun Angel pun mendapatkan cinta yang baru. Well, kalau saya jadi Angel, tidak sudi saya punya kekasih seperti Martin, kok bisa-bisanya yah Angel kepincut dengan Martin. Padahal sejak pertama kali ketemu, Martin sudah memperlihatkan gejala aneh, kepalanya sering goyang-goyang sendiri dan matanya tiba-tiba melotot tajam ke arah Angel, yang hanya direspon “kamu nga apa-apa, Martin?”, dengan masih melotot nafsu, Martin pun menjawab “nga apa-apa kok”, kira-kira begitu. Pengennya sih berlagak seperti orang yang menyembunyikan penyakit, tapi jatuhnya justru kaya psikopat sekaligus pemerkosa, ketika melihat Angel sudah seperti bertemu dengan mangsa. Angel seharusnya lari sejak awal, tapi kebodohan film ini menakdirkan mereka untuk bersatu, saya ditakdirkan melewati semua kebodohan yang digombalkan “My Last Love”.
Nayato menakdirkan “My Last Love” milik berdua, Angel dan Martin, setengah film bolehlah ada beberapa karakter yang seliweran numpang lewat, tapi dengan skill sulap ciamik Nayato, di paruh kedua satu-persatu karakter tersebut akan hilang, ibu akan tidak lagi diceritakan, kedua sahabat Angel entah disembunyikan dimana, nah yang terlihat justru teman mabok Martin, yang sudah seperti Jin lampu-nya Aladin, bisa mengabulkan semua permintaan Martin, mau apa? menghilangkan bukti tabrak lari? Itu mah gampang, mencari dokter yang bisa menyembuhkan kedua kaki Angel tanpa data medis yang lengkap? bisa diatur. Semua konflik diatur serba cepat saji, dan penyelesaiannya juga kalau bisa instan ya bro, “My Last Love” punya berbagai jalan pintas untuk memaksa emosi penonton untuk ikut serta, Donita dipaksa terus untuk menangis, masih belum cukup cengeng, film ini menambahkan Martin dalam mode pesakitan, diawali dengan mimisan, ternyata kanker otak, klise. Ketika Martin sakit inilah, “My Last Love” punya alasan kuat untuk mengisi sisa durasi film dengan hanya mengulang-ngulang adegan Angel dan Martin berduaan, menikmati momen-momen kasih sayang yang hampa chemistry. Apakah saya sudah bilang kalau Angel tiba-tiba bisa berdiri lagi? Nayato kembali memperlihatkan “mukjizatnya” di “My Last Love”, seperti biasa saya pulang dengan kepala pusing, kantong muntah terisi penuh, ditambah sekarang mimisan, thanks Nayato.
chliez
Sekedar info : Elite Squad 2 sudah beredar gan…so SUPERBB!!!!
betul kata anda..film2 brazil memang bajingan bagusnya!
Tri Fajar
Perasaan yg namanya Nayato nih kalo bikin film ga’ pernah bener yah (mau horrorr, drama, komedi ato apapun), dia tuh benar2 IDIOT ato dia punya misi buat ngancurin perfilman Indonesia.
Salut buat saudara Radit yg merelakan rupiah yg dimiliki untuk nonton sampah yg Nayato bikin.
raditherapy
semoga masih kuat untuk film-film beliau kedepannya hahaha 😀
Cindy
Hihi, saya suka baca blog mas radit dan follow twitter juga. Suka banget baca review-nya mas ttg film2nya Nayato. Kata2nya sarkastis tapi jujur. Pertahankan mas, sukses :))
raditherapy
thank you 🙂
ayya
maaf bget sblumnya…ap mas radit udh pernah bkin film jg???kok kyaknya goblog2in orng enk bget….??ya sih filmnya emng kurang bgus…tpi kan bisa lbih baik2 koment nya…toh diblng ga suka pun mas tau semua film2 nayato artinya……..??detail bget pula…bgus itu dimulai dri jelek…sukses itu berawal dri gagal…jdi mgkin menghargai karya orang lain bisa buat para pencipta film lbih benah diri dan makin maju….
Tri Fajar
Yang namanya pemerhati film itu justru JANGAN SAMPAI BIKIN FILM, masalahnya kalau pernah bikin film nanti ulasannya pasti gak sekeras dulu lagi.
Pernah liat TOPGEAR yang versi Inggris, mereka selalu bikin ulasan pedas tentang mobil, bahkan yang semewah Bentley atau Roll Royce pun ada kekurangan, tapi pas ditantang bikin mobil sendiri hasilnya kacau balau.
Begitulah saudara Ayya, yang namanya orang bikin ulasan itu dari segi PENONTON, bukan dari sudut pandang film maker.
Apalagi tuh Nayato kalo bikin film kayak orang ujian yang gak pernah lulus, gitu-gitu aja. Kalo sukses berawal dari gagal kayaknya Nayato sukses besar dalam kegagalannya Mencemari dunia perfilman Indonesia aja.
memang kita harus menghargai karya orang lain, kita hargai tinggi atau kita hargai rendah.
Justru ulasan yang seperti inilah yang dibutuhkan oleh para pencipta film Indonesia agar MAU berbenah diri.
Terima kasih.
raditherapy
apa klo mao nulis pendapat ttg sebuah film, harus punya pengalaman bikin film —
sayah jujur emang belom pernah bikin film, yah punya pengalaman dikitlah dalam
produksi film, itu pun film pendek.
Review ini hanya pendapat saya murni sebagai penonton, luapan dari hasil menonton,
maonya sih nga mao sepedas ini, tapi klo nga jujur nulisnya, saya lebih baik nga nulis.
dan inilah cara saya menulis film2 Nayato dari dulu… tapi klo boleh saya luruskan,
sebetulnya saya nga goblog2in Nayato, review saya kebanyakan malah “surat cinta” ke dia.
hahahahaha, makasih komennya Mas Ayya
OrangNdesoBodo
Yang nulis ulasan film orang bodo yg sok jdi pengamat film, yg kasih jempol orang dongo yg gk pernah bs menghargai sesuatu, Yg gk suka dg ulasan Tuan sok ane salut, tinggal nikmatin aja bnyak MULUT pke menghina hasil usaha orang, NGACA DULU DEH, lo dh buat hasil apa terhadap penonton setia penikmat film, OTAK dipake, JANGAN ASAL TULIS,
orang ndeso
Situ komennya juga kaya ga pake otak 🙁 Dia mengkritik, bukan menghina. Mengkritik bukan artinya tidak menghargai. Kalau ga ada kritikan, bakal banyak yang ga sadar kesalahan serta kekurangan dan ga akan berubah. Yang udah dikritik aja masih banyak yang ga memperbaiki diri wkwkw