Review The Three Musketeers

Walaupun ada nama Paul W.S. Anderson dan Milla Jovovich, film ini bukan lanjutan seri “Resident Evil”, melainkan sebuah adaptasi nyeleneh dari novel terkenal karya Alexandre Dumas, “The Three Musketeers”. Anderson bukanlah satu-satunya orang yang beruntung mengadaptasi karya Dumas yang satu ini, karena novel yang berkisah tentang D’Artagnan dan tiga teman musketeer-nya sudah berkali-kali diproyeksikan dalam bentuk gambar bergerak, termasuk juga versi tahun 1993, yang dibintangi oleh Charlie Sheen, Kiefer Sutherland, dan Chris O’Donnell. Di tangan Anderson, selain dipastikan diberi sentuhan lebih modern, “The Three Musketeers” untuk pertama kalinya akan tampil dalam bentuk 3D, bukan konversi tapi betul-betul di-shot dengan kamera 3D, seperti yang dilakukan Anderson pada film terakhirnya, “Resident Evil: Afterlife”. Sayangnya kali ini saya tidak sempat mengintip seperti apa kualitas 3D di film ini, karena saya menonton “The Three Musketeers” dalam versi biasa alias 2D. Namun jika boleh menebak sepertinya tidak jauh berbeda dengan apa yang sudah disuguhkan Afterlife.

“The Three Musketeers”, akan mengajak kita berkenalan dengan seorang anak muda dari kampung, bernama D’Artagnan (Logan Lerman), keturunan musketeer yang punya bakat jago bermain pedang dan sayangnya juga sombong. Kesombongan D’Artagnan hampir saja membuatnya tewas ditangan Kapten Rochefort (Mads Mikkelsen), pimpinan pasukan kardinal, beruntung nyawanya masih terselamatkan. Kesombongannya pun berlanjut saat tiba di Paris, berniat untuk melakukan balas dendam ketika melihat Rochefort, pemuda dari Gascony yang ingin menjadi musketeer seperti ayahnya ini justru tidak sengaja (atau bisa dibilang karena ceroboh) bertemu dengan tiga orang musketeer yang ia cari, Athos (Matthew Macfadyen), Porthos (Ray Stevenson) dan Aramis (Luke Evans). Tidak tahu siapa mereka, D’Artagnan mengajak ketiganya duel, kesombongannya sekali lagi tidak membuatnya mati karena sebelum duel dimulai pasukan kardinal sudah terlebih dahulu mengepung mereka. D’Artagnan pun akhirnya sadar siapa tiga orang yang dia ajak untuk duel, mereka pun bersama-sama bersatu untuk menghajar puluhan tentara kardinal. Tentu saja D’Artagnan dan ketiga musketeer dengan mudah mengalahkan anak buah Rochefort, tapi itu hanya awal dari petualangan besar mereka, karena setelah itu Perancis memanggil mereka, meminta untuk diselamatkan…one for all, all for one.

Berlatar belakang abad ke-17, “The Three Musketeers” seakan lebih maju dari masanya, ketika Paul W.S. Anderson dengan “seenaknya” menambahkan unsur-unsur yang lebih modern ke dalam filmnya. Desain pakaian abad tersebut pun dimodifikasi sedemikian rupa agar lebih terlihat stylish, kuno tapi tidak kaku, dan kinclong di mata penontonnya. Jadi ingin membandingkan film ini dengan karya Dumas yang bisa dikatakan klasik itu, sepertinya hanya akan salah kaprah, buang-buang waktu saja, karena sentuhan “magis” Anderson sudah lebih dominan ketimbang setia kepada novelnya. Atas nama sebuah film yang niatnya hanya ingin menghibur dan terlihat fun, “The Three Musketeers” memang tidak salah memilih jalan nyeleneh dalam menceritakan kisah heroik D’Artagnan dan tiga musketeer, sangat wajar juga apabila skrip yang ditulis oleh Andrew Davies dan Alex Litvak nantinya juga terkesan tidak berotak. Well, itu tandanya penonton memang akan dipaksa untuk tidak peduli pada cerita, pada akhirnya. “Sudahlah nikmati saja action-nya”, bisikan Anderson kepada setiap penonton.

Review The Three Musketeers

Mengedepankan aksi-aksi ketimbang cerita, membuat Anderson jadi lebih leluasa untuk menjejalkan “The Three Musketeers” dengan action yang memanjakan mata, bodo amat-lah ya dengan pembangunan karakter atau jika nantinya film ini punya tumpukan plothole dan kelakuan karakter bodohnya yang tidak dipedulikan. Logan Lerman yang sebetulnya tidak pantas menyandang nama D’Artagnan, sepertinya juga tidak ada yang peduli, jago pedang yang tidak punya karisma layaknya seorang jago pedang, justru terlihat seperti versi lebih idiot dari Michael Cera di film “Year One”. Karena ini sebuah kisah heroik musketeer yang nyeleneh, Athos, Porthos, dan Aramis pun sesekali akan terlihat seperti jagoan-jagoan di “Pirates of the Carribean”, tampil bodoh di sebuah adegan akan menjadi kewajiban. Tidak terlalu jago pedang tidak apa-apa, karena toh nantinya Anderson akan memoles aksi mereka jadi lebih awesome dengan slow motion dan pergerakan kamera yang akhirnya menutupi kekurangan film ini dalam soal koreografi adegan tarungnya.

Banyak kekurangannya, tidak perlu khawatir, setelah beberapa menit kita akan lupa jika betapa bodohnya film ini, termasuk aksi-aksi pedang yang sebenarnya biasa saja, karena Anderson punya pasokan adegan action yang membuat “terhipnotis”, saya suka ketika ia lebih memilih “mengorbankan” aksi pedang-pedangan yang menjadi ciri khas musketeer, kemudian mengajak kita untuk bermain-main di udara, saat Anderson memamerkan aksi peperangan udara-nya. Tentu saja dengan visual kapal laut yang diikatkan ke balon besar lengkap dengan barisan meriam yang siap melontarkan aksi tidak berotak ke depan mata penonton, adegan yang membuat Kapten Jack Sparrow menangis di pojokan, karena dia hanya punya kapal Black Pearl yang butut itu ketimbang kapal yang bisa terbang dengan senjata yang bisa menghajar kraken dengan mudah. Untuk sebuah hiburan, film ini telah menjalankan misinya dengan baik, “The Three Musketeers” sekali lagi adalah film yang menyenangkan jika kita tidak sibuk mengurusi ceritanya yang brainless itu. Cerita sudah tergantikan dengan usaha keras Paul W.S. Anderson untuk menyuapi penonton dengan aksi-aksi memanjakan mata, non-stop, dan dibalut dengan stylish. Melihat ending-nya yang seperti itu (semoga bukan sebuah spoiler), Anderson sepertinya sedang menyiapkan “The Three Musketeers” sebagai franchise baru-nya, mungkin dia terlalu bosan dengan zombie-zombie di Resident Evil, sudah saatnya Mr. Anderson.

Rating 2.5 Bintang