Review Bunian

Pocong, kuntilanak, tuyul, sundel bolong, nama-nama hantu lokal tersebut sudah pasti tak asing lagi ditelinga masyarakat kita, penyuka film-film horor pun sudah sering melihat penampakan mereka di berbagai judul film hantu-hantuan. Bagaimana dengan “Bunian” atau orang bunian? Terdengar tidak familiar, berbeda dengan hantu lain yang sudah hilir mudik tampil dalam film, mitos yang satu ini bisa dibilang belum pernah diangkat dalam sebuah film. Orang Bunian sendiri diyakini sebangsa makhluk halus yang tinggal hutan, di wilayah pemakaman, rumah-rumah kosong, dan tempat-tempat sepi. Mitos lokal yang berasal dari daerah Minangkabau, Sumatera Barat ini, juga menyebutkan jika “mereka” suka menculik manusia. Nah mitos inilah yang tampaknya menginspirasi Kimo Stamboel dan teman-temannya sesama anak-anak muda Indonesia yang sedang studi di Australia, untuk membuat sebuah film horor, tidak perlu judul aneh-aneh, cukup “Bunian”, singkat dan mewakili apa yang ingin diceritakan dalam filmnya nanti.

Kimo Stamboel? Yup tidak salah lagi, sutradara “sinting” yang nantinya terkenal dengan sebutan “Mo Brothers”, berpasangan dengan Timo Tjahjanto, yang di film “Bunian” ini juga tampil sekilas. Proyek film pertama inilah yang kelak menjembatani Kimo dan Timo untuk berduet (dangdut kali ah), lalu kemudian seperti yang kita tahu bersama dari kedua kepala yang entah berisi ide sakit apa, lahirlah film slasher lokal berjudul “Rumah Dara” (Macabre), yang rilis tahun 2010. “Bunian” ini memang film kecil, disutradarai sendiri oleh Kimo, namun dengan pondasi niat dan ambisi yang kuat, film horor yang sudah pasti berbujet minim ini sukses membuat saya ngompol, dengan kesederhanaannya Kimo telah berhasil mentransfer sebuah horor dan kengerian langsung ke hadapan penontonnya tanpa bertele-tele, mengalir bersama kisahnya yang ringan mengenai kehidupan mahasiswa dari Indonesia yang sekolah di Australia, tepatnya di Sydney.

“Bunian” akan memperkenalkan kita dengan Andra (Ferryanto Tobing), yang kira-kira baru satu setengah bulan kuliah di Universitas Teknologi Sydney (UTS). Belum punya banyak kawan membuat Andra sedikit agak kesulitan untuk mencari tempat tinggal, yah untungnya ada satu temannya yang berbaik hati membantunya. Akhirnya melalui sebuah papan pengumuman di kampusnya, Andra memperoleh info tentang sebuah rumah untuk ditinggali tidak jauh dari kampus. Apartemen yang didatangi oleh Andra ternyata dihuni oleh orang-orang Indonesia juga, terdiri dari 5 orang, 2 cowok dan 3 cewek. Setelah puas melihat-melihat isi apartemen, termasuk kamarnya, Andra langsung setuju untuk tinggal disana, apalagi ketika tahu harga sewa yang murah. Semua berjalan normal, Andra mulai akrab dengan teman satu apartemennya, termasuk juga mulai dekat dengan salah-satu penghuni ceweknya yang masih single. Namun selang beberapa lama kemudian, tempat tinggal baru Andra mulai menampakan keganjilannya, Andra kerap diganggu oleh suara dan penampakan yang menyeramkan, anehnya penghuni lain tidak mengalaminya. Apa yang dialami Andra bukannya membuat teman se-aparteman simpati, mereka justru ikut terganggu dengan tingkah pola Andra yang semakin hari makin aneh.

Review Bunian

Kimo tidak terburu-buru dalam membawa kita masuk ke dalam dunia “Bunian”, pertama-tama kita akan dibuat “nyaman”, dengan secara singkat memperkenalkan kehidupan para muda-mudi Indonesia yang sekolah di Australia, melalui Andra dan teman-temannya. Ya sebelum diajak ber-dag-dig-dug, segelintir drama dan komedi saling mengisi paruh awal film ini. Walau terbatasi oleh urusan teknis dan saya tidak peduli, Kimo tidak canggung dalam bercerita, ya beberapa adegan memang terlihat kaku, para pemainnya juga terlihat “cupu” (termasuk kemunculan Timo hahahaha). Namun semua itu sekali lagi tertutupi oleh cerita yang menyenangkan untuk diikuti, ketika kemudian Kimo menarik kita masuk lebih jauh ke dalam untuk menemui teror demi teror, sudah terlambat bagi kita untuk bisa keluar. Seperti juga Andra, kita sudah “terkurung” dalam teror, dikelilingi oleh dinding-dinding yang bergerak perlahan menggencet mental dan juga nyali.

Kemasan horor yang bisa dibilang sederhana tapi begitu efektif dalam menghantarkan kengerian, didukung oleh setting apik yang memanfaatkan ruang apartemen. Begitu kita menginjakan kaki disana, yang terasa hanyalah atmosfir horor yang mencekik mental, bau tajam kengerian yang menyengat nyali. Beberapa penampakan mungkin sudah biasa kita lihat di film-film lokal atau film horor Asia, plot-nya juga bukan sesuatu yang dapat dikatakan baru, tapi “Bunian” jelas bukan hasil jiplakan. Semangat yang ada di film ini mengingatkan saya dengan “Pelangi di Atas Prahara” (2003), sebuah proyek film yang sama-sama terlahir dari kreatifitas anak-anak Indonesia yang tinggal di Australia untuk menuntut ilmu, bedanya film arahan Putra Arradin tersebut ber-genre drama cinta-cintaan yang manis. Kembali ke “Bunian”, sebagai sebuah proyek pertama yang dilandasi oleh semangat untuk membuat film, mengesampingkan sisi teknisnya, “Bunian” adalah karya horor yang seram. Salah-satu film horor buatan anak negeri yang mampu membuat saya ketakutan, tidak hanya karena penampakan yang sengaja disiapkan, tapi sebagian besar justru hasil dari apa yang saya bayangkan sendiri. Jadi penasaran, jika kelak Kimo atau duo Mo Brothers membuat film horor hantu-hantuan, kaya apa ya?

Rating 3 Tengkorak