Review 40 Hari Bangkitnya Pocong

Kemana saya tahun 2008 ketika film ini tayang di bioskop tanah air dan kenapa baru bisa nonton sekarang? well menyesal juga tidak merasakan sensasi horor “40 Hari Bangkitnya Pocong” di layar lebar, pasti akan lebih seru, dalam artian kian mencekik mental. Baiklah mungkin kalau film ini muncul sekarang, dengan judul yang norak seperti itu, sepertinya saya akan lebih dulu bilang “pocong lagi, pasti nayato”, apalagi melirik rumah produksi Rapi film, yang notabene hari ini lebih sering menelurkan film-film horor impoten. Tapi di tangan Rudi Soedjarwo, apalah artinya sebuah judul, ketika filmnya berhasil membuat saya kembali percaya dengan ungkapan lama “jangan menilai buku dari covernya”. Yah posternya pun berlebihan, seperti biasa berusaha terlihat sekomersil mungkin, sudah ada judul pocong tetap saja di poster harus ada pocong, malah tiga pocong sekaligus.

Ah mari lupakan “covernya”, karena isinya jauh lebih menarik, 40 Hari blablabla segera dibuka dengan gambar menyorot air yang mengalir ke lubang sebuah wastafel dikemas dengan warna merah darah, kemudian diiringi lantunan score yang pas dalam upayanya untuk membangun mood dan antisipasi penonton. Opening yang sederhana namun sukses membuat saya tidak sabar untuk ditakut-takuti, bisa dibilang seperti itu, mengingatkan saya dengan adegan-adegan pembuka di film-film horor tahun 80an. Makin mengejutkan ketika selepas opening kita langsung dihajar adegan kecelakaan dibungkus dengan CGI, yang saya akui jarang dilakukan film-film horor lokal, diselipkan tidak berlebihan, jangan dibandingkan dengan animasi-animasi komputer di tayangan salah-satu stasiun televisi, yah tahulah saya menunjuk kemana.

Saya akhirnya diajak untuk berkenalan dengan Jessi (Sabai Morscheck) yang tampaknya sedang punya masalah serius dengan mantan pacarnya Nino (Raffi Ahmad). Nino selalu mengejar-ngejar Jessi dengan perlakuan yang tidak wajar, agak-agak terlihat psikopat, ini membuat Jessi enggan bertemu dengannya. Apalagi suatu hari Nino diyakini menaruh benda berbau mistik dibawah tempat tidur, yang membuat Jessi menjadi sering ketakutan karena selalu melihat penampakan menyeramkan. Sahabat Jessi menyimpulkan jika Nino melakukan itu untuk membuatnya gila dan mau kembali ke Nino. Bersamaan dengan itu, Jessi juga berkenalan dengan Kevin (Irwansyah), awalnya Jessi datang sebagai teknisi yang ingin memperbaiki komputer Kevin, pada akhirnya mereka semakin dekat.

Review 40 Hari Bangkitnya Pocong

Pertemuan tersebut ternyata tidak juga membuat Jessi tenang tapi justru makin terganggu oleh Nino yang makin berlaku tidak wajar, ditambah lagi penampakan-penampakan yang kemunculannya semakin instens. Disinilah peran seorang Rudi Soedjarwo sangat-sangat jempolan menurut saya, bagaimana dia sanggup membuat penampakan yang ada menjadi “berkelas” dalam soal menakuti dan mengejutkan penontonnya. Saya akan jujur beberapa bagian yang disiapkan untuk membuat jantung copot, memang berhasil membuat mulut ini mengeluarkan sumpah serapah, selagi tubuh ini bergetar karena jantung berdebar. Yah film ini seram sekaligus pintar dalam mengejutkan penontonnya. Dibungkus dengan ciri khas Rudi, “kamera bergoyang”, itu semakin membuat film ini semakin nyata dan tanpa sadar mengajak penonton ikut larut dalam suasana horor. Perasaan yang sama ketika saya menonton “Pocong 2” yang menyeramkan itu (catat: saya harus nonton film itu lagi).

Oh Tuhan! semoga Rudi Soedjarwo mau membuat film horor lagi, setelah “Pocong 2”, 40 Hari blablabla juga ternyata punya level yang sama, mungkin lebih seram, terbukti, orang yang membuat kita terlena dengan kisah Cinta dan Rangga (uuugh) di “Ada Apa dengan Cinta?” ini punya kemampuan magis untuk meng-handle film hantu-hantuan. Setelah ini mungkin saya akan segera menonton “Hantu Rumah Ampera”. Oke saya akui 40 Hari blablabla memang tidak cakap dalam soal menuliskan cerita, klise, dan mudah ditebak, tapi peduli apa toh ceritanya masih bisa dinikmati. Rudi Soedjarwo pun sanggup memceritakan film ini dengan baik, sambil bermain-main dengan mental penonton yang sedang ketakutan di kursi mereka masing-masing, atau di tempat tidur, kalau tidurnya sambil tiduran kaya saya. Baiklah film ini seram, titik! tetapi juga ada yang sama-sama mencuri perhatian selain hantu-hantu yang saling “pamer” muka seram mereka.

Yup! saya sedang membicarakan si brilian Sabai Morscheck. Akting yang jempolan dan bisa membuat saya ikut bersimpati dan merasa terganggu dengan situasi yang dialaminya. Selain terdapat momen paling seram di film, yaitu, ketika adegan lampu mati dan dengan dipersenjatai cahaya telepon genggam, Jessi berputar-putar ditemani hantu pocong. Satu lagi adagen yang membuat Sabai terlihat bersinar di film ini, yaitu, ketika adegan kamar mandi, disini Sabai betul-betul mampu mengontrol mimik wajahnya dengan sangat baik, mengantarkan ketakutannya langsung ke penonton. Sayang sekali, saya sepertinya jarang melihat dia bermain sebaik ini lagi. Mungkin saya terlalu berlebihan dalam review “40 Hari Bangkitnya Pocong”, tapi begitulah yang saya rasakan, film horor yang segera saya masukkan ke daftar film-film horor lokal terseram. Terima kasih Rudi Soedjarwo karena sudah membuat saya takut untuk ke kamar mandi…sial!

Rating 3.5 Tengkorak