Review Tumbal Jailangkung

“Tumbal Jailangkung” bolehlah sejatinya disebut sebagai film horor “normal” (duileeee pake “sejatinya”, udah macem acara infotainment yg judulnya “kutang” aja), yup bukan film horor jejadian yang kerjanya mengobral kualitasnya yang buruk, celana dalam, serta seabrek kebusukan lain yang jika dituliskan di-review ini akan memakan waktu sampai lebaran buat ngomongin itu doang, belum lagi ngomongin siapa dalangnya. Walau begitu film kedua Chiska Doppert di tahun 2011 ini bukan juga horor tanpa cacat, yang paling terlihat jelas dimana letak kecacatan itu adalah posternya saudara-saudara sekalian. Bisa dilihat sendiri karena gw pun malas membahas kenapa dan menampilkan gambarnya di review ini (bisa muntah tujuh hari tujuh malam sambil kiterin komplek rumah gw). Kalau dibandingkan dengan “Ada Apa Dengan Pocong?” yang rilis akhir Juni kemarin, film ini jelas lebih superior ketimbang film pocong yang mempertanyakan kemana kain kafannya eh maksud ogut cintanya, kepada kuntilanak genit penunggu pohon mangga.

Tidak perlulah gw banding-bandingin dengan film-filmnya Nayato, untuk saat ini biar gw singkirkan dulu nama itu dan fokus membicarakan Chiska Doppert dan film horornya, “Tumbal Jailangkung”. Meminjam nama desa fiktif “Angker Batu dari “Jelangkung”-nya Rizal Mantovani, film ini pun memulai kisahnya. Beberapa orang kota bermain dengan boneka sebagai medium untuk memanggil arwah, entah apa yang Raka, Harly, Roni, dan Agnes inginkan dengan bermain jelangkung, yang jelas penonton langsung dikejutkan dengan terbunuhnya mereka satu-persatu dan meninggalkan Raka yang statusnya belum jelas, apakah ia mati atau direkrut oleh Nayato untuk main menjadi pocong di film horor terbarunya nanti. Biarkan itu tetap menjadi misteri yang kelak ketika film mulai bergulir, gw akan melupakan kemana Raka dan tidak lagi peduli.

Review Tumbal Jailangkung

Cerita lalu melompat ke 30 tahun kemudian, tapi lucunya jaman dulu dan jaman sekarang tidak ada bedanya, terlihat jelas dari sisi fashion, pakaian yang Raka dan teman-temannya pakai jelas tidak tampak memperlihatkan kalau mereka berada di jamannya, ah lupakan, toh filmnya sendiri tidak memberitahu ini tahun berapa, jadi cuek saja kalau salah kostum ya, lagipula penonton mana yang memperhatikan. Oke, lanjut, kita diperkenalkan dengan seorang cewek bernama Linda (Soraya Larasati) yang baru saja dicampakan orang yang selama ini diklaim sebagai pacar, ternyata Richard (lebih oke kalau namanya Sule) cuma cowok bangsat yang memanfaatkan tubuhnya saja, parahnya berbagi tubuh Linda bareng seorang teman. Linda pun depresi dan hampir saja direkrut oleh KKD untuk jadi setan di film idiot terbarunya, jika saja Linda mati ketika dia mencoba untuk bunuh diri di kamar mandi kos-kosan (semacam itulah), dengan menjedutkan kepalanya ke kaca, kenapa tidak kau pecahkan saja gelas sekalian biar ramai, piring biar gaduh, dan berteriak aku ingin ke pantai dan terus berlari ke hutan. Linda tidak mati karena cara bunuh diri kaya gitu udah basi dan madingnya udah siap terbit!! Oooh Tuhan gw kumat, maaf yah.

Linda tidak jadi mati dan KKD harus pasrah mencari calon pemain lain, beruntung Linda masih punya sahabat yang perhatian dengannya, kemudian mengajak dia jalan-jalan ke sebuah vila. Di vila inilah, Linda menemukan boneka jelangkung yang ternyata memiliki hubungan dengan kejadian 30 tahun silam. Bukan saja jelangkung tapi lengkap dengan manual book-nya, hari gini nga ada buku manual berbahasa Indonesia, bisa dimasukin ke penjara bray. Sudah menguasai teori, Linda pun langsung praktek, “Jelangkung, Jelangse, disini ada pesta sederhana (rumah makan kali sederhana) datang tak dijemput, pulang yah lo udah tahu sendiri nga gw anter”. Seketika boneka jelangkung melayang, Linda segera memasuki fase dimana dia kesurupan dan berubah menjadi semacam setan mirip Kayako, yup dari film horor Jepang, “Ju-on” itu. Salah-satu teman Richard pun menjadi korban pertama roh jahat penunggu boneka jelangkung. Teror boneka jelangkung pun dimulai.

“Tumbal Jailangkung” dibilang seram juga “nga seram”, tapi salutlah buat upaya Chiska Doppert untuk membersihkan namanya dari bayang-bayang sang master of horror, lewat film ini dia seperti ingin membuktikan, kalau dia bukan Nayato, lihat kan gaya film saya berbeda, seperti itu kira-kira. Sayangnya, semenjak dari posternya yang rakus hinaan itu, film yang naskahnya ditulis oleh Arellia ini terus saja tersandung banyak hal klise yang membuatnya kian “loyo” sebagai sebuah sajian horor. Ada sih beberapa momen yang gw akui seharusnya bisa menjadi seram, apalagi Soraya Larasati sudah berakting cukup oke ketika bermetamorfosis dari manusia menjadi Kayako wannabe, sayangnya film ini tidak mampu menjaga atmosfir horor dan juga level ketakutan untuk bisa menanjak maksimal, malah terus drop dengan hal-hal yang tidak jelas dan cerita semakin ngawur saja.

Semoga yah Chiska Doppert kedepannya bisa lebih baik lagi, bisa betul-betul lepas dari bayang-bayang Nayato, biar filmnya nga dibilang mirip lagi, sekarang pun sebetulnya dia sudah sanggup membuktikan, sayang “Tumbal Jailangkung” masih belum bisa menakuti dengan benar, walaupun tidak juga dilabeli produk gagal, jelek iya. Setidaknya ada film horor yang akhirnya tidak mengikutsertakan pocong dan kuntilanak untuk bermain, sudah cukup dua setan yang pamor dan harga dirinya sudah hancur itu jadi bagian dari Nayato, yang katanya ingin membuat rekor 1000 film pocong (antara katanya dan gw ngarang aja sendiri). Oh iya satu-satunya adegan paling menarik di “Tumbal Jailangkung”, adalah ketika nga ada hujan, nga ada petir, dan nga ada pocong, tiba-tiba gw melihat band orkes kampung “KOIL” manggung dan numpang tenar di film ini, bravoooo! Baguslah gw jadi punya modal “mood senang” untuk melanjutkan film ini sampai selesai.

Rating 1 Tengkorak