Review Hati Merdeka (Merah Putih III)

Dimana-mana ekspektasi penonton akan sebuah babak final pastilah tinggi, tidak hanya di bidang olahraga saja, itu juga berlaku untuk sebuah film, apalagi jika film tersebut punya embel-embel trilogi atau deretan sekuel yang akan diakhiri oleh satu film terakhir, franchise Harry Potter, misalnya, yang serinya akan berakhir bulan depan pasti banyak menyedot keingintahuan penonton akan seperti apa klimaks film tersebut. Ekspektasi itu juga tidak hanya menunjuk pada rasa penasaran tetapi ada sebuah harapan penonton yang ingin ditawari sesuatu yang istimewa, lebih daripada film-film sebelumnya, karena pada dasarnya ini final, layaknya pertandingan sepakbola, pasti kita berharap ada banyak gol, ada drama selama 90 menit bergulir, jika perlu ada adu pinalti agar lebih seru. Nah film yang berstatus final pun dituntun untuk punya ini dan itu, setidaknya sesuatu yang bisa diingat penonton (tapi tidak mengulang apa yang sudah dilakukan film sebelumnya), perang Minas Tirith yang maha-dahsyat itu contohnya. Lupakan film Hollywood, mari beranjak ke film lokal, lalu bagaimana dengan Trilogi Merah Putih?, film bertemakan perang kemerdekaan yang akan menggantungkan senjata di film terakhir, berjudul Hati Merdeka (Merah Putih III). Kita sudah melihat dan kecewa dengan film pertama, “Merah Putih”, kemudian film kedua, “Darah Garuda”, beruntung bisa mengobati kekecewaan tersebut, sebagai sekuel saya rasa film ini cukup berhasil.

Trilogi berlanjut di “Hati Merdeka”, jika dua predesesornya hanya berani main perang-perangan di darat, kali ini masih dikomandani Yadi Sugandi dan Conor Allyn sebagai sutradara, penonton akan diajak melihat pertempuran laut serta mengunjungi luar pulau Jawa yang sebelumnya menjadi setting film pertama dan kedua, pulau Bali akan menjadi medan pertempuran selanjutnya. Kita akan kembali dipertemukan dengan Kapten Amir (Lukman Sardi) dan anak buahnya, Dayan (T Rifnu Wikana) yang sekarang bisu, Tomas (Donny Alamsyah), Marius (Darius Sinathrya), dan satu pejuang wanita, Senja (Rahayu Saraswati. Setelah menjalankan misi ala film-film spionase di pembuka film, Amir lalu ditugasi untuk membawa anak buahnya ke Bali untuk membunuh komandan Belanda yang dikenal sadis, Kolonel Raymer (Michael Bell). Orang yang bertanggung jawab atas kematian keluarga Tomas, kita bisa melihat Raymer membunuh ayahnya dengan keji di awal trilogi. Karena bertentangan dengan prinsipnya, yaitu membunuh atas alasan balas dendam, Amir mencopot segala atribut ketentaraannya, mengundurkan diri dari misi dan memilih menjadi guru dan menemani istri yang sedang hamil. Tampuk kepemimpinan pun berada di tangan Tomas sekarang, untuk meneruskan misi dan pergi ke Bali, mereka kecuali Amir menumpangi sebuah kapal nelayan. Di tengah ayunan ombak, ketenangan para pejuang kita diusik oleh kedatangan kapal Belanda, birunya lautan pun mulai dihiasi ledakan dan serpihan kapal “hati merdeka” yang sedang dihujani meriam. Pertempuran baru saja dimulai…

Review Hati Merdeka (Merah Putih III)

Ouch! Trilogi “Merah Putih” ini kok seperti salah memposisikan urutan filmnya, sebagai sebuah film yang punya beban menggotong dua film sebelumnya menuju ke final, kenapa “Hati Merdeka” tidak terasa bagaikan film penutup. Bisa dibilang level keseruan film ini turun satu tingkat dibanding “Darah Garuda”. Oke, film ketiga ini tetap konsisten untuk menyusupi aksi-aksi perang dengan drama, sama seperti film sebelumnya, drama tersebut juga tampak dominan menghiasi layar, tapi tidak lagi akan terasa terlalu berlebihan dan bagian romansa juga tampaknya lebih dikurangi, untuk lebih fokus pada konflik diantara para pejuang dan masing-masing karakter. Jika pada film kedua dan pertama, dialog begitu terasa kaku, yang paling terasa adalah kalimat-kalimatnya yang cukup asing di telinga seperti diterjemahkan mentah-mentah dari Inggris ke Indonesia. Saya bisa bilang, ada perbaikan di bagian dialog tersebut, walau kekakuan masih terselip disana-disini tapi tidak terlalu mengganggu. Saya kembali angkat jempol untuk departemen musik, yang sekali lagi berhasil membawa saya untuk sedih, semangat, emosi dengan musiknya yang mengalun pas memainkan mood, salut untuk Thoersi Argeswara. Tata musik pun sangat didukung dengan tata suara yang mumpuni, ledakan-ledakan dan bunyi-bunyian peluru keluar dari mulut senjata pun makin terasa hidup menemani aksi Amir dan kawan-kawan dalam melawan pasukan Belanda.

Ketika musiknya memberi semangat, apa yang disajikan “Hati Merdeka” justru bertolak belakang, adegan perang yang sudah disiapkan misalnya, baiklah disini adegan tersebut masih melibatkan banyak ledakan dan peluru yang berhamburan, disamping itu juga lebih banyak figuran yang terlibat, makin membuat perang-perangan terasa lebih seru. Sayang sekali, daya tariknya menurun bukan saja karena seperti apa yang saya sudah tebak dari awal, jika semua sudah diperlihatkan di cuplikan trailer, tetapi juga apa yang ditawarkan pernah saya lihat di “Darah Garuda”, malah jauh lebih intens di film kedua tersebut, saya masih bisa merasakan ketegangannya. Apalagi di film sebelumnya, ada momen-momen dimana penonton diajak bertepuk tangan karena ikut merasakan aksi heroik para pejuang, atau setidaknya ada adegan yang sampai saat ini masih menempel di ingatan, pada saat Dayan dengan susah payah naik ke pesawat yang akan lepas landas itu. Disini hampir tidak ada adegan yang bisa buat saya terbangun dari senderan kursi, padahal sudah susah-susah dibawakan mainan kapal perang dan tank Belanda.

Untuk urusan akting pemain, Lukman Sardi dan kawan-kawan tidak banyak berkembang, tapi masih mampu bermain baik, apalagi mereka ditemani anggota baru, Nugie sebagai Wayan Suta, pemimpin kelompok pemberontak di Bali, dan juga Michael Bell sebagai Kolonel Raymer, yang di film ini tidak hanya punya peran sebagai villain tetapi juga sempat-sempatnya diceritakan latar belakang orang yang pernah “sakit hati” pada masa menjadi tawanan Jepang dahulu. Lucu juga ketika seharusnya penonton diajak berpihak pada jagoan, film ini kesannya mencoba mencuri simpati untuk kasihan dengan Kolonel sadis yang ternyata juga seorang manusia, yang punya masa lalu tidak menyenangkan. Hal lucu lainnya adalah ketika “Hati Merdeka” mengisi durasi 102 menitnya dengan beberapa adegan yang bisa dikatakan menggampangkan, jalan pintas ala Hollywood, jika tidak ingin dikatakan sebuah kekonyolan. Belum lagi sebuah adegan dimana salah-satu dari mereka terluka parah, sepertinya tidak tertolong tapi tunggu dulu ternyata dia bisa sembuh hanya dengan kekuatan sebuah doa, oke saya percaya ada sebuah mukjizat tapi disini terkesan tidak wajar dan jadi lucu. Padahal tujuannya mulia, ingin menunjukkan pesan moral dan toleransi beragama, tapi mungkin bisa diperlihatkan dengan adegan yang lebih wajar. “Hati Merdeka” seharusnya tidak seburuk itu jika dilihat sebagai film yang berdiri sendiri tapi sebagai sebuah film penutup, Amir dan kawan-kawan sudah gagal dalam misinya memuaskan penonton, padahal mereka punya adegan perang yang sangat menjanjikan, tetapi kok hambar dengan ending yang juga tidak bersemangat.

Rating 2.5 Bintang