Review Catatan Harian Si Boy

Siapa itu Boy? “Siapa tak kenal dia, Boy anak orang kaya, punya teman segudang, karena pergaulannya, baik budi dan tidak sombong, jagoan lagipula pintar…Oh Boy, cermin anak muda…”. Begitulah menurut Ikang Fawzi, lewat lirik lagu yang ia bawakan untuk film Catatan Si Boy (CaBo). Karya Nasri Cheppy tersebut tidak hanya fenomenal di jamannya, tahun 80an, tetapi juga mempopulerkan nama Onky Alexander, pemeran Boy ini begitu dipuja, khususnya digandrungi oleh para wanita. Siapa sih yang tidak mau seperti Boy, kaya, ganteng, punya banyak cewek, ditambah soleh dan rajin ibadah, Boy memang sosok yang sempurna sekali. CaBo pun tidak berhenti dengan satu film saja, karena kesuksesan film pertama, lahirlah empat sekuel, CaBo II di tahun 1988 hingga V di tahun 1991. Generasi 80-90an bolehlah bangga punya film yang mewakili generasi mereka, contohnya CaBo ini dan banyak lagi film-film bertema anak muda lain.

Nah lalu bagaimana dengan generasi milenium, anak muda yang tidak sempat mencicipi era emas 80an. Setelah bangkit dari mati suri, perfilman nasional di era 2000an ternyata baik hati, tidak menganak-tirikan anak muda yang butuh tontonan yang sesuai dengan umur mereka. “Ada Apa Dengan Cinta” (2002) bisa dibilang yang paling menonjol, film yang disutradarai oleh Rudy Soedjarwo ini pun tidak hanya sukses merangkul 60 ribuan penonton di 3 hari pertama pemutarannya, lalu kemudian mengumpulkan total lebih dari satu juta penonton, film yang lebih dikenal dengan singkatan AADC ini juga turut andil dalam melambungkan nama Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra. Setelah AADC, mungkin film yang paling diingat orang adalah “Catatan Akhir Sekolah” (2005). Karya Hanung Bramantyo tersebut begitu dekat dengan kehidupan anak muda jaman sekarang, khususnya mereka yang duduk dibangku SMA. Selepas dua film itu, menurut saya tidak ada lagi film yang nyangkut di otak dan membekas di hati, yang ada sekarang penonton sedang melihat sebuah kebodohan, film-film horor idiot yang sedang membangun sebuah generasi, yah generasi pocong. Mengerikan…memang.

Beruntung kita masih memiliki Putrama Tuta dengan “Catatan Harian Si Boy”-nya, film yang didedikasikan untuk sebuah legenda, Catatan Si Boy yang sepertinya tidak termakan oleh usia, walau sudah melewati lebih dari 20 tahun sejak pertama kali filmnya dirilis. Ini bukan film remake, ini sebuah regenerasi, CHSB bisa dikatakan sebuah momen dimana Mas Boy menyerahkan tongkat estafet yang selama ini ia pegang kepada anak-anak muda yang mewakili jamannya. Bukan untuk menggantikan tetapi melanjutkan semangat anak muda di film ini, membuat legenda baru, mungkin, kita lihat saja. Satu yang pasti, saya, kita, dan penonton yang sudah jenuh, memang butuh sebuah alternatif yang segar, film yang beda, menyenangkan, tidak perlu kontroversi anget-anget tahi ayam tetapi mampu menghibur dengan maksimal. Apakah CHSB bisa sukses nyangkut di otak dan membekas di hati? saya akan mengangguk dua kali untuk pertanyaan tersebut.

Review Catatan Harian Si Boy

CHSB, bukan tentang Boy lagi, benang merah dengan film-film sebelumnya tentu saja tetap dibiarkan untuk hadir, lewat sebuah buku catatan Boy. Film dibuka dengan Satrio (Ario Bayu) yang sedang memacu mobilnya di malam hari, adu kencang dengan mobil lawan sampai melakukan drifting di bundaran HI. Kepergok oleh polisi, sekarang Satrio harus berlomba dengan iringan mobil polisi yang mengejarnya, sayangnya dia gagal dan akhirnya ditangkap. Nah di kantor polisi ini cing, Satrio bertemu dengan Natasha (Carissa Puteri), yang sedang bersama pacarnya Nico (Paul Foster), melaporkan kasus pemukulan dan pencurian mobil yang dilakukan oleh komplotan orang tidak dikenal. Karena Nico masih berurusan dengan polisi dan Natasha yang baru saja tiba di Jakarta dari London ini tidak punya uang untuk pulang, Satrio menawarkan untuk mengantar Natasha. Di mobil, mereka tidak berdua, tapi ada teman-teman Satrio, Nina (Poppy Sovia), bos di bengkel tempat Satrio bekerja, Andi (Abimana) dan Herry (Albert Halim).

Karena tertarik dengan Natasha, Satrio kemudian ingin membantunya mencari orang bernama Boy, pemilik buku harian yang dipegang oleh Natasha. Karena mungkin dengan mempertemukan Boy dengan Nuke, ibunya Natasha yang sedang sakit parah, itu bisa membuatnya senang. Well, bukan perkara mudah bertemu dengan Boy, yang sekarang sudah menjadi pengusaha sukses dan dikelilingi oleh bodyguard. Tapi Satrio tidak akan menyerah, begitu pula tekatnya untuk mendapatkan Natasha, sepertinya tidak ada yang bisa menghalangi Satrio, walaupun akan selalu ada Nico yang berusaha menghadang. Nantinya konflik tidak hanya pecah diantara kedua cowok tangguh ini tapi mengantarkan persahabatan Satrio ke sebuah ujian terberat. Apakah akhirnya Satrio bisa bertemu dengan mas…maksud saya Pak Boy? bagaimana hubungannya dengan Natasha dan juga sahabat-sahabatnya?

“Keren banget”, itu kata-kata yang pertama keluar dari mulut saya, kepada teman sesama media yang duduk disebelah. Ketika credit bergulir menutup perjalanan manis “Catatan Harian Si Boy”, saya kemudian melanjutkan “akhirnya, satu lagi film bagus di tahun ini”. Sampai saat ini, CHSB merupakan film yang paling mudah untuk dinikmati, menghibur, dan yang paling “akrab” untuk mengajak saya masuk ke dunia Satrio dan kawan-kawan, yang bisa dibilang tidak jauh dari gambaran kehidupan anak-anak muda Jakarta jaman sekarang. Jika melirik versi 80an, maka sebetulnya CHSB berada di jalur dan memakai formula yang sama dengan CaBo, intrik-intrik romansa dengan bumbu persaingan cinta dan sakit hati pun masih mewarnai rasa di film ini. Bedanya walau sekali lagi membelit kisahnya dengan konflik persaingan memperebutkan seorang cewek di tengah pencarian seorang Boy, CHSB juga berhasil memasukkan pernak-pernik tambahan lain yang benar-benar mewakili kehidupan anak muda modern. Boy dulu digambarkan sosok yang sangat sempurna, sekarang mengambil sifat positif Boy yang suka sembahyang misalnya, namun tidak ingin terlihat sempurna, Satrio hadir lebih membumi, tidak berlebihan, walau sekali lagi karakter Satrio bukanlah Boy dan Boy tidak akan pernah bisa tergantikan, oleh Satrio sekalipun. Inilah cara CHSB untuk mendekati penontonnya, tidak ingin terkesan sangat “asing” di mata, di telinga, dan di hati, film ini dengan niat tulus ingin berada dekat. Oleh karena itu dunianya pun diciptakan tidak jauh-jauh dari apa yang sering kita lihat dan rasakan. Satrio dan kawan-kawan begitu akrab, karena itu juga kita akan dengan mudah “berteman” dengan film ini dan menyukainya.

Oke, CHSB tidak akan terhindar dari betapa klise ceritanya dan mudah ditebak pula, tunggu bukan berarti film ini jadi jelek. Jika pola yang berulang itu kembali dimasukkan ke dalam durasi 99 menitnya dengan tujuan akhir untuk menghibur, saya tidak akan mempermasalahkan kekurangannya tersebut. Lagipula semua mampu ditambal dengan baik, oleh bagaimana cara film ini untuk mengemas jalan ceritanya menjadi menyegarkan dan membiarkan penonton tanpa dipaksa ikut berpetualang bersama Satrio mencari Boy, sekaligus terbawa oleh naik-turunnya emosi dalam film ini. Well, pada akhirnya kembali CHSB seperti seorang sahabat yang baik, tidak berhenti mengajak penontonnya untuk terhibur. Dengan cerita yang ditulis oleh Priesnanda Dwisatria dan Ilya Sigma, Putrama Tuta begitu lancar bercerita, tidak sedikit pun dia canggung, cerita pun berjalan mulus dan nyaman dalam menjabarkan arti persahabatan dan juga cinta. Tentu saja, mengingat CaBo juga pandai membuat kita tertawa, CHSB tidak lupa memasukkan unsur komedi ke dalam cerita. Terlebih dari karakter Herry yang diperankan oleh Albert Halim (7 Hati 7 Cinta 7 Wanita) dan dialog-dialog ajaib dari sosok cool, bernama Andi.

Cerita dan karakter-karakternya membaur begitu pas, menjadi daya tarik yang tak ada putus-putusnya dalam menghibur penonton. Satu lagi yang perlu diperhatikan dan jadi kelebihan dari CHSB adalah bagaimana sosok dibalik kamera mempotret film ini. Yunus Pasolang bisa dibilang telah mengerjakan tugasnya dengan luar biasa dalam mengawal setiap adegan dalam CHSB, pergerakan kameranya begitu jempolan, setiap emosi dan mood pemain mampu diterjemahkan dengan baik lewat sorotan kameranya. Sebuah nilai tambah yang makin menjadikan CHSB enak untuk ditonton, memanjakan mata dari start sampai finish. Telinga juga ikut dimanjakan dengan nomor-nomor soundtrack yang pas dimainkan menemani penonton melahap setiap menit durasinya. Berbicara soal karakter-karakter ciamik, tentunya tidak lepas dari siapa orang yang memerankannya, CHSB bisa dikatakan memiliki sebuah ensemble cast yang hebat, semua pemain bisa bermain begitu baik dan saling mendukung peran satu sama lainnya, menghasilkan tidak hanya chemistry yang apik antara pemain tetapi juga mengikat kita dengan masing-masing karakternya. Semua wajib diacungi jempol, tetapi yang paling mencuri perhatian dan paling saya suka dari jajaran pemain CHSB adalah Abimana, yang memerankan Andi dengan celetukan-celetukannya yang kadang jorok, kampung, tak etis, tapi punya makna filosofis tersendiri.

“Catatan Harian Si Boy” adalah sebuah hiburan yang lengkap, seperti yang saya utarakan di paragraf-paragraf awal, ini adalah contoh film yang nyangkut di otak dan membekas di hati. Sebuah film yang sehabis selesai masih seru untuk dibicarakan dan membuat kita ingin menontonnya lagi, film yang mudah disukai dan dirindukan lebih tepatnya. Cerita menarik, asupan konflik-konfliknya mampu diselesaikan dengan baik, karakter-karakter yang hebat, dan ada balapannya cing! tidak banyak karena ini juga bukan film balapan. Yah terlalu cepat mengatakan film yang terbaik, karena tahun juga belum berakhir, tapi sampai saat ini, “Catatan Harian Si Boy” adalah yang terbaik, dengan mudah membuat saya mencintai film ini dengan ceritanya yang juga tanpa basa-basi, layaknya si Satrio. Great job Putrama Tuta! ditunggu sekuel berikutnya dari “Catatan Harian Si Boy”.

Rating 4 Bintang