Jika yang namanya acara wisata kuliner di televisi selalu sukses membuat pemirsanya di rumah ngiler dan kelaparan, pada akhirnya mengobrak-abrik dapur untuk mencari sesuap cemilan. “The Mirror Never Lies” bisa dibilang melakukan hal yang mirip-mirip seperti itu, bedanya yang dibuat lapar bukan perut melainkan mata. Film yang disutradarai oleh Kamila Andini ini akan menyajikan keindahan alam yang begitu eksotik, hamparan laut yang mempesona sepanjang mata memandang, dan kehidupan bawah laut yang tak akan pernah berhenti membuat saya terkesima. Ya inilah “harta karun” milik Indonesia yang jarang terjamah oleh film-film kita, “The Mirror Never Lies” mengajak kita sebentar untuk berwisata kesana, mencicipi surga yang letaknya di Sulawesi Tenggara ini. Mudah ditebak pada akhirnya film ini pun mujarab membuat saya “lapar” untuk pergi kesana dan menyantap keindahannya langsung dengan mata kepala sendiri.

“The Mirror Never Lies” akan mengajak kita masuk dalam kehidupan masyarakat suku Bajo, mengamati satu keluarga yang tengah dilanda kegelisahan karena kehilangan sosok pemimpin di keluarganya. Ketika sang Ibu, Tayung (Atiqah Hasiholan) terkesan begitu pesimis bahwa suaminya tidak akan pernah lagi kembali dari laut, walau tidak dipungkiri Tayung masih berharap keluarga mereka bisa utuh lagi. Beda dengan, anak perempuan satu-satunya, Pakis (Gita Novalista) yang begitu merindukan ayahnya, itu sangat terlihat dari sikapnya yang selalu murung dan kehilangan senyum. Harapan bertemu kembali dengan ayahnya selalu dibawa kemana pun ia pergi, dalam wujud sebuah cermin yang tidak lain adalah pemberian sang ayah. Terkadang jika dia begitu rindu dengan ayahnya, Pakis akan menghempaskan tubuhnya ke laut, mencurahkan isi hatinya dan berharap laut bisa menyampaikan ceritanya kepada sang ayah.

Walau sama-sama merindukan orang yang dicintai, Ibu dan anak ini selalu saja bertolak belakang, apalagi Tayung yang membebani dirinya dengan penyangkalan dan meracuni anaknya untuk melupakan ayahnya. Konflik inilah yang kemudian ikut menghempaskan saya dalam cerita mereka, hanyut terombang-ambing bersama setiap amukan emosi yang kerap muncul ketika keduanya berbenturan sikap. Saat Tayung mencoba bangkit sendiri untuk menghidupi keluarga dengan mencari apapun yang bisa dia dapat di laut dari hanya teripang sama rumput laut, kemudian menjualnya di pasar. Pakis tidak putus harapan, dia tetap menunggu ayahnya sambil secara bersamaan rutin menemui seorang “pintar” yang kerap membantu Pakis melakukan ritual dengan cermin, berharap bisa melihat bayangan sang ayah tetapi tidak pernah muncul. Di tengah ketidakpastian ini, tiba-tiba muncullah sosok lelaki dalam kehidupan Tayung dan Pakis, seorang peneliti lumba-lumba bernama Tudo (Reza Rahadian). Panggung bersetting laut Wakatobi pun berlanjut ke babak baru, dimana Tudo yang juga punya masa lalu sendiri mulai mengisi celah-celah yang selama ini kosong, tentu saja karena Tayung dan Pakis perlahan bisa membuka diri.

Walaupun karakter-karakter lain juga ikut hilir mudik dalam tugasnya menambal cerita “The Mirror Never Lies”, cerita yang ditulis oleh Kamila dan Dirmawan Hatta ini tetap fokus pada dua tokoh sentralnya, Pakis dan ibunya. Jadi saya tidak perlu takut tersesat di Wakatobi mengikuti setiap langkah lakon di film ini, karena “The Mirror Never Lies” sudah punya tujuan jelas dari awal bersama setiap karakternya yang juga memiliki porsi yang juga jelas. Memang sih ada lakon yang kehilangan penggalian karakter yang cukup, contohnya saja tokoh Tudo yang perannya sebagai “tamu” di Wakatobi dan kehidupan Pakis dan ibunya. Sebetulnya Tudo ditempatkan untuk memancing konflik lain, tetapi perannya untuk “meramaikan” cerita kurang begitu terasa. Namun itu tidak mengganggu karena saya sendiri sudah nyaman melihat cara film ini untuk menyatukan Pakis, Tayung, dan Tudo, yang saya akui memang tidak dipaksakan, mengalir begitu saja.

Itulah kelebihan “The Mirror Never Lies”, ceritanya mengalir begitu saja tetapi tidaklah membuat apa yang mau diceritakan menjadi kehilangan arah, cara Kamila bercerita pun bisa dibilang tidak membuat kita menjadi buru-buru ingin meninggalkan Wakatobi, tapi sebaliknya nyaman, betah duduk di kursi penonton sambil mengunyah setiap kisahnya sekaligus menjaring segala keindahan dan juga menyelam untuk mengambil pesan-pesan yang ditawarkan film yang mendapat penghargaan “Honorable Mention” dari The Global Film Initiative ini. Apalagi selain mempertemukan kita dengan kehidupan suku Bajo yang tinggal di atas laut, kemudian memperkenalkan kita dengan kecantikan Wakatobi, “The Mirror Never Lies” juga dengan baik hati ikut mengajak penonton untuk melihat kebudayaan asli disana.

Semua pernak-pernik pendukung tersebut berhasil melebur ke dalam cerita, tidak hanya menjadi sebuah latar belakang panggung saja tetapi coba ditonjolkan supaya penonton pun tahu, Indonesia punya surga bernama Wakatobi. Untuk menangkap segala keindahan Wakatobi, disana berdiri Ipung Rachmat Syaiful, dibalik kameranya sepertinya Wakatobi yang memang sudah diciptakan cantik jadi semakin seksi dan menggoda. “The Mirror Never Lies” betul-betul berhasil memanjakan mata, setiap pengambilan gambarnya itu begitu pas menangkap hamparan laut yang begitu biru, isi lautnya sendiri yang kaya akan keindahan ciptaan Tuhan, lanskap pulau-pulau lengkap dengan pasir putihnya, sekaligus kehidupan masyarakat suku Bajo yang aslinya dahulu berasal dari Filipina ini.

Film yang juga diproduseri oleh Garin Nugroho (ayah Kamila) ini makin lengkap ketika para pemainnya juga dengan maksimal melakonkan masing-masing peran. Terlebih lagi Atiqah Hasiholan, yang hampir di sepanjang film wajahnya tertutup oleh bedak pupur, berhasil memberikan nyawa kepada karakternya, Tayung. Dengan bahasa suku Bajo yang fasih, Atiqah tampil begitu meyakinkan sebagai istri yang ditinggal suaminya kemudian memikul beban kehidupan sendiri, menjadikan karakternya menjadi daya tarik sendiri di film ini. Reza Rahadian, walau bisa dikatakan punya porsi yang kurang banyak, namun dia mampu memainkan perannya dengan baik. Kedua bintang ini memang selalu mampu berbaur dengan cerita, maksimal di setiap peran yang dimainkan, tetapi berbicara soal bintang, bintang sebenarnya di “The Mirror Never Lies” justru datang dari “artis impor”, bukan dari Jepang atau Hollywood tetapi asli suku Bajo. Seperti juga “Laskar Pelangi” yang mengkasting anak-anak asli Belitong, film ini dengan tepat mengisi jajaran pemain dengan hadirnya anak-anak asli Suku Bajo.

Gita Novalista yang memerankan Pakis bisa menampilkan akting yang begitu natural dan saya tidak merasa ada rasa canggung dalam setiap kemunculannya. Kehadirannya telah berhasil menyatukan film ini dengan penonton, begitu pula menyambung chemistry yang kuat dengan pemain lain khususnya para seniornya. Kemudian lagi ada Eko yang disini berperan sebagai Lumo, yang artinya sendiri adalah lumba-lumba, pas dengan orangnya yang memang cerdik dan selalu sanggup menghibur penonton dengan tingkah lakunya. Terakhir ada Inal sebagai Kutta, seorang bocah berbakat dari suku Bajo yang tidak hanya pandai bernyanyi tetapi juga pandai merangkai kata-kata indah nan puitis. Nantinya pun kita akan sering disajikan saut-sautan pantun antara Lumo dan Inal, lucu sekaligus juga menambah nuansa keceriaan anak-anak. Semoga tidak hanya di “The Mirror Never Lies” saya bisa melihat ketiga anak berbakat ini menjadi pusat perhatian, tetapi bisa bertemu mereka di film-film berikutnya. Harapan saya juga tidak sekali ini saja, kebudayaan dan keindahan alam Indonesia diperkenalkan dalam film, tapi akan ada film-film seperti “The Mirror Never Lies” lain yang akan mengikuti jejaknya untuk mengajak penonton, tidak hanya dari Indonesia tapi seluruh dunia untuk berwisata lewat film ke surga-surga lain yang tersebar di Indonesia. Sekarang tidak ada salahnya saya kembali mengunjungi alam Wakatobi, yang artinya menonton lagi “The Mirror Never Lies”.

https://twitter.com/#!/raditherapy/status/66026743210852352