Masih ingat dengan “Shutter” (2004) atau “Alone” (2007)? siapa yang bisa melupakan dua film horor asal Thailand tersebut, apalagi bagi mereka yang sudah sukses diteror oleh kengerian kedua film ini, termasuk juga saya. Selain “Ladda Land” ini juga sama-sama berasal dari negara yang terkenal dengan sebutan negeri gajah putih, kaitan lain dengan film yang saya singgung adalah sutradaranya, Sopon Sukdapisit, pernah terlibat menjadi penulis dua film itu. Well, termasuk juga menyutradarai film debutnya, “Coming Soon”, yang sempat menjadi surprise movie di INAFFF 2008 lalu, Sopon juga menambah daftar filmography-nya di dunia horor dengan ikut menulis dua film antologi horor, “4bia” dan “Phobia”. Jika melihat jejak rekamnya, bekalnya dirasa sudah cukup untuk pada akhirnya Sopon melanjutkan petualangan di bangku sutradara, dengan film kedua, yaitu “Ladda Land” (The Lost Home). Ungkapan jangan terburu-buru menilai buku dari sampul saja sepertinya pas untuk menggambarkan ekspektasi saya dengan film ini, tunggu saya bukan bilang film yang kembali diproduksi oleh studio GTH ini jelek, tapi salah memposisikan diri karena mungkin terlalu kangen dengan horor Thailand, jadi sudah berharap banyak ingin ditakut-takuti sampai pingsan. Ternyata apa yang Sopon sajikan di film ini jauh dari apa yang saya bayangkan, sebuah film horor yang berbeda.

Mungkin sudah saatnya pembuat film horor lokal berbenah diri, jangan hanya nafsu jual film hantu-hantuan yang isinya penampakan basi yang begitu-begitu saja, nyatanya film horor sekarang kebanyakan selalu gagal tuh menakuti penonton, bukannya menakuti tapi malah menghabiskan persediaan kantung muntah, pasti tahulah saya sedang menunjukan jari ke siapa. Oke, Thailand sebaliknya, sekali lagi melangkah lebih maju, dan sepertinya ingin memberi sentuhan lebih kepada pakem horor mereka yang sudah ada. Sudah bosan dengan horor yang hanya menakuti, “Ladda Land” mencoba memasukkan unsur drama keluarga tapi tentu saja karena ini masih dalam koridor film horor, yah horor masih jadi menu utama disini. Film dibuka dengan Thee (Saharat Sangkapreecha) yang sedang sibuk menata rumah barunya, mendekorasi kamar dua orang anaknya, dan bersiap menyambut kedatangan keluarganya. Rumah yang terletak di kompleks perumahan “Ladda Land” ini memang tampak sangat asri dan hunian yang ideal untuk Thee dan keluarganya. Tapi Nan (Atipit Chutiwatkajorncha), anak perempuannya, sedikit merusak kebahagiaan sang ayah yang akhirnya bisa pindah dari apartemen sewaan ke rumah sendiri, walau mereka sekeluarga harus rela meninggalkan Bangkok, inilah yang tidak disukai Nan.

Review Film Laddaland

Ketidaksukaan Nan dengan keputusan ayahnya untuk pindah rumah dan jauh dari rumah neneknya, bukan jadi satu-satunya penghalang Thee untuk menunjukkan bahwa di tempat baru ini keluarga mereka akan punya kehidupan yang lebih baik, apalagi sekarang dirinya punya jabatan yang bagus di perusahaan baru (pekerjaan inilah yang menjadi alasan Thee memindahkan keluarganya). Mimpi untuk membahagiakan keluarga adalah satu-satunya yang ingin dicapai Thee dan itu sedikit terusik, tidak hanya karena anaknya yang terang-terangan memperlihatkan sikap tidak setujunya dengan rumah baru, dan kerap berselisih paham dengan ayahnya, tapi juga ketika kejadian demi kejadian aneh mulai silih berganti datang ke kompleks “Ladda Land”, dan mempengaruhi aura positip yang awalnya hendak dikumpulkan sang ayah. Seorang pembantu rumah tangga asal Burma (Myanmar) tiba-tiba ditemukan mati mengenaskan di sebuah rumah yang sudah ditinggal pemiliknya, nah sejak saat itulah kehidupan Thee dan keluarganya akan diguncang oleh berbagai macam masalah, mulai dari konflik internal keluarga hingga yang melibatkan alam gaib.

Jangan heran ketika “Ladda Land” justru dibuka dengan cerita panjang lebar berisi drama yang bisa dibilang cukup membosankan, tapi jangan keburu kabur dulu dari studio karena tampaknya Sopon memang ingin mengantarkan kita untuk lebih dekat dengan Thee dan keluarganya terlebih dahulu, ketimbang buru-buru mengajak ke bagian menakutkannya. Seperti yang saya bilang di awal unsur drama akan menjadi bagian dari film horor yang satu ini, dan bukan saja sebagai sekedar tempelan “pemanis”, kemudian dibiarkan hanya numpang lewat dan dilupakan. Sopon justru terus menggerakkan porsi dramanya untuk berjalan berbarengan dengan intensitas horor yang kelak semakin meninggi, ketika menit demi menit bergulir menuju durasinya yang 2 jam tersebut. Tidak aneh jika porsi drama ini justru terasa lebih “kental” ketimbang horornya, karena Sopon terlihat begitu punya niat untuk mengemas drama untuk tak asal buat. Konflik keluarga yang dari awal sudah “hangat” tidak dibiarkan kembali dingin, Sopon justru dengan apik meniup-niup konflik tersebut untuk semakin “memanas”, punya tujuan tersendiri yaitu menampilkan sebuah horor yang bukan bersumber dari sisi supernatural saja, tapi memberikan gambaran tidak menyenangkan bagaimana sebuah keluarga yang awalnya tampak normal menjadi yah “tidak normal”. Apalagi ditunjang dengan lingkungan sekitar yang lamban-laut mulai menampakkan sisi gelapnya…sebuah mimpi buruk.

Tenang, lagi-lagi jangan terburu meninggalkan kursi penonton bagi yang terus-terus dari awal bertanya “kemana horornya?”, saya juga menanyakan hal yang sama. Walau film ini terkesan ingin menjejalkan kita dengan drama, tapi “Ladda Land” toh bukan kacang yang lupa dengan kulitnya, alih-alih menganaktirikan horornya karena terlena dengan drama, film ini masih ingat bahwa penontonnya menunggu untuk dibuat lompat dari kursi kering mereka (belum basah karena keringat ketakutan). Thailand tidak pernah lupa bagaimana caranya menakuti penonton, walau punya cara-cara lama yang dibilang sudah basi namun jika dikemas agak baru, momen-momen yang disiapkan Sopon tetap menakutkan bagi saya. Sopon mampu memanfaatkan setting rumah hantu-nya untuk nantinya mendukung setiap penampakan yang ada, ya akan ada beberapa penampakan lumayan mengerikan disini dan bukan sekedar seorang wanita berambut panjang dengan gaun putih kotor yang melompat ke depan wajah penonton, itu juga ada, tapi Sopon merekreasikan tampilan horornya untuk se-efektif mungkin membuat jantung penonton berdetak cepat. Porsi dari horor di “Ladda Land” pun mampu berbaur dengan cukup baik dengan jalinan drama. Itu menjadikan film ini dengan mudah untuk diikuti dan dinikmati, sisi horor maupun drama, walau agak membosankan di awal tetapi begitu kita masuk kedalam “Ladda Land”, kita akan dengan mudah terayu untuk diajak lebih dalam lagi, dan akhirnya tidak pernah bisa keluar dari kompleks yang katanya menawarkan mimpi indah ini.