Siapa bilang ranah Hollywood tidak lagi mampu melahirkan film-film horor seram, kalau belakangan ini mereka keseringan mendaur-ulang film-film horor klasik mereka, lebih hopeless lagi keliling dunia untuk mencari film untuk di-remake, walau tidak semua yang versi “hollywood” itu buruk. Ah lupakan sejenak soal itu, karena lewat “Insidious” sekali lagi saya bisa berteriak seperti anak kecil ingusan yang ketakutan di tengah malam, entah itu karena pintu lemari terbuka sendiri atau mendengar suara aneh dari kolong kasur. Sial, tapi itulah yang terjadi ketika saya menonton film ini, walau tidak sampai ngompol, tetapi saya akui ini adalah film terseram yang saya tonton dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan ini, melampaui semua seri “Paranormal Activity” tentunya. Ah berbicara soal horor mokumenter yang fenomenal itu, sang kreator Oren Peli juga terlibat dalam film ini bukan duduk di bangku sutradara melainkan sebagai produser.
Renai dan Josh Lambert (Rose Byrne dan Patrick Wilson), beserta ketiga anak mereka, baru saja pindah ke rumah yang baru. Harapan akan kehidupan yang normal dan bahagia sepertinya segera terganggu, karena tidak lama kemudian, Renai mulai merasa mereka tidak sendirian di rumah tersebut. Belum selesai masalah yang satu, masalah lain muncul menyusul, Dalton (Ty Simpkins) yang sedang berada di loteng terjatuh lalu kemudian berteriak histeris karena melihat sesuatu. Ayah dan ibunya pun langsung mendapati anak mereka sedang duduk menatap pojokan dengan sedikit luka memar di kening. Mengira Dalton tidak apa-apa, hanya luka kecil, Renai dan Josh kemudian meninggalkannya tidur dikamarnya. Keesokan harinya, Josh terkejut ketika Dalton tidak segera bangun padahal sudah dibangunkan. Barulah sesampainya di rumah sakit, mereka mengetahui bahwa anak mereka mengalami koma, yang anehnya tidak bisa dijelaskan kenapa, karena tidak terjadi kerusakan serius pada otak Dalton. Dokter mengatakan Dalton akan segera bangun dalam beberapa hari, namun kenyataannya tiga bulan kemudian Dalton yang sekarang dirawat di rumahnya, masih terbaring tak sadarkan diri alias masih koma. Kebetulan atau bagaimana, kejadian yang menimpa Dalton kemudian berbuntut pada kejadian-kejadian supernatural yang saling bergantian hadir mengganggu keluarga Josh.
Jika beberapa tahun ini Amerika juga gemar melucuti nyali kita dengan film-film slasher yang berjamur sejak kesuksesan SAW, walau saya tidak akan pernah bosan disajikan potongan-potongan tubuh berlumuran darah, yang selalu saya respon dengan tarian penuh kegirangan memutari isi perut yang dijadikan api unggun. Jujur saya rindu dengan film-film horor yang sanggup membuat nyali ini menutup wajahnya dan mental ini berteriak histeris ketakutan. Amerika pernah melakukan itu dengan horor-horor klasiknya, sampai akhirnya dibuat bungkam dengan horor Asia, yah walau keduanya sebetulnya memiliki gaya yang berbeda dalam urusan menakuti penonton. “Insidious” syukurnya menjawab kerinduan tersebut, duo James Wan dan Leigh Whannell yang sama-sama pernah bekerja sama dalam “SAW”, kembali berduet tidak lagi menghadirkan horor yang hanya buang-buang bergalon-galon darah, tetapi menantang penonton apakah mereka berani membuka mata ketika rumah hantu versi mereka dari awal memang punya misi untuk memaksa kita menutup mata. James Wan yang duduk dibangku sutradara dan Leigh Whannell yang selain menulis cerita juga ikut “narsis” seperti yang dia lakukan di “SAW”, membuktikan jika Amerika masih bisa membuat film yang…sayangnya…begitu seram.
Tidak dipungkiri memang jika “Insidious” punya cara-cara menakuti yang dibilang sudah basi, namun cantiknya, James Wan mampu meracik ramuan lama tersebut untuk terlihat kembali menakutkan. Suara-suara aneh dari loteng, barang-barang yang bergerak sendiri, sampai penampakannya disiapkan dengan matang untuk tidak terburu-buru menakuti tapi perlahan-lahan menancapkan kengerian tersebut di pikiran penonton. “Insidious” cerdik menumpuk rasa penasaran, membuat saya selalu ingin mengintip ada apa di pojokan itu atau bayangan siapa yang muncul itu, tetapi ketika saya begitu bernafsu untuk tahu, film ini dengan begitu asshole menempatkan jebakan berupa penampakan yang tepat, sebuah kengerian yang tidak tanggung-tanggung, tepat sasaran dalam urusan mengagetkan dan sekaligus menyeramkan. Terkadang penampakan itu muncul disaat yang tidak terduga, tidak disangka-sangka, well itu sudah biasa mungkin untuk film horor, namun James Wan mampu menyajikannya tidak berlebihan, tidak maruk, tidak bernafsu, begitu sabar untuk membiarkan kita memproses sendiri penampakan apa yang kita lihat tadi, akhirnya belum apa-apa kita sudah merinding lebih dahulu menunggu penampakan berikutnya muncul.
“Insidious” sepertinya sudah memberi peringatan kepada kita lewat openingnya yang err “seksi” itu, seksi sampai-sampai mulut saya melotot dan mata ini bungkam. Iyah kawan-kawan “Insidious” punya adegan pembuka yang apik nan ciamik, memberi pemanasan pada jantung karena nantinya kita akan dipacu untuk dag-dig-dug sepanjang film. Adegan pembuka di film ini mengingatkan saya dengan opening “Drag Me To Hell”, membuat saya jatuh cinta pada pandangan pertama, bisa dibilang seperti itu. Apalagi dengan musik yang menyayat-nyayat, dari awal iringan musiknya benar-benar mampu mengantarkan saya untuk “beristirahat dengan tenang” sampai ke ending, Joseph Bishara menghadirkan musik yang bisa begitu klop untuk menemani adegan demi adegan horor di film ini, pas membangun mood sekaligus kengerian dari cerita rumah berhantu yang menjadi pondasi dasar kisah di “Insidious”. Dalam soal bercerita, James Wan juga mampu mengesekusi setiap baris cerita yang ditulis Leigh Whannell dengan nyaman, membuat penonton tidak hanya disajikan kehororan film ini tetapi juga peduli dengan cerita. Jarang-jarang film horor yang juga peduli dengan isi ceritanya dan “Insidious” salah-satu yang bisa lakukan itu secara berbarengan dengan kemunculan hantu demi hantu.
Walaupun nantinya ada penonton yang tidak peduli dengan cerita, “Insidious” pastinya bisa mudah untuk disukai karena telah berhasil menjabarkan kata “seram” dengan begitu efektif. Ditambah lagi “Insidious”—lewat duo sinematografer David Brewer dan John Leonetti—dikemas begitu cantik, saya begitu suka dengan pergerakan kameranya begitu pas ketika penonton diajak mengikuti para pemain menelusuri setiap sudut rumah, setiap kejutan dan bagian yang membuat bulu kuduk ini berdiri pun dipotret dengan apik. Satu lagi yang saya suka adalah bagaimana film ini menyorot bagian depan rumah, begitu menarik dan khas. Bagaimana dengan para pemainnya? Rose Byrne dan Patrick Wilson pun bermain dengan baik dalam menggiring kita untuk setiap saat ketakutan, penasaran, dan juga peduli dengan apa yang mereka rasakan, termasuk masalah anaknya yang koma tanpa alasan yang jelas. “Insidious” memang tidak lepas dari bagian minus, tipikal film horor Hollywood yang terlalu banyak penjelasan dan kadang mengarah ke film action itu untungnya tidak terlalu mengganggu. Saya juga tidak lagi peduli dengan kekurangannya karena toh “Insidious” begitu klasik dalam menghadirkan “keseruan” sebuah film horor. Silahkan jewer kuping saya kalau film ini tidak seram…tapi pelan-pelan aja ya.
Rooney
Film ini udah tayang blom di bioskop Indo ??
raditherapy
sayangnya belum 🙁
timo
film ini kurang ajar! baru kali ini gue nonton film horor sampe dengkul lemes! 😀
flo19
Sayang belum bisa masuk indo, pasti seru nih klo nontonnya di bioskop… bikin merinding brrrr….
Alifa
ada insidious 2 gak ? 😀
raditherapy
sebetulnya ini tipe film yang menurut saya nga perlu ada sekuel dan untungnya James Wan belum terpikir bikin Insidious 2.
gilangkharisma
Coba sutradaranya Nayato bla-bla-bla, pasti bisa sampe Insidious 7
Marvel Yp
Film horor pertama yang bikin bulu kuduk ane berdiri.
Taruma Sakti M.
Bagi saya? Film ini jeleeeeeekkk. saya kasih skor 1.5/5 = 3/10.
Endingnya gak penting (bukan twist lagi, tapi dah jelas ketololannya), karakternya bikin males.
Sigilahoror
Film Insidious itu keren banget untuk horror Hollywood tahun ini, ini yang terbaik… atmosfernya okeh, nyeremin, karakter2 horrornya juga serem….
eh, yang diatas gw kasih rating 1.5/5… alasannya karena ending yah…. bagi gw ending sebuah film itu cuma bonus, yang diutamain dalam film itu perjalanan dari opening menuju ke ending. Jadi kalau film dari awal udah jelek terus endingnya lumayan ngetwist tetep aja bagi gw tuh film jelek…
yah ibarat ML gitu, nikmati prosesnya … 😛
Taruma Sakti M.
Intinya sih bukan di Ending, sekalipun gak ada endingnya, tetep ajah, saya bakal kasih 2/5. Eh, dikasih ending yang benar-benar “disengaja”. turun deh rating saya. haha. Dari 30 menit pertama, saya langsung males, nih film apa nih. semakin lama, semakin tidak masuk akal. semakin membosankan.
Tapi, saya yakin kok, yang nonton ini pasti bakal kaget. Toh temen saya ajah sampe ngejerit2 gak jelas. Kalau ada yang suka sama film ini juga, saya juga ngerti kok, cuman beda penilaiann akhir doang. 🙂 Yang pasti sih, film ini tetap fun kalau ditonton rame-rame. 🙂
toyetteblung
mirip kaya Drag Me To Hell dengan kejutan suara jrang-jreng-nya itu, tapi lebih serem.
gugusasa
ah terlalu muna’ lah x 1,5 . Tema yg diangkat itu emang lagi hot2nya di teliti parapsikologi di dunia. X di dunia istilah astral projection. Di Indo namana Meraga Sukma. Jadi mulai dari pemilihan bahan film yg dikembangkan sudah hangat. Hanya saja, karena namana jg film. Fakta2 meraga sukma/ astral projection sendiri dibuat seperti itu. X nonton genre horor yah cr sensasi horornya lah. Walaupun dramanya kurang dapet tapi kan ide horor nya udah dapet. Dan saya fikir itu adalah film horor dengan pengembangan tema yg kreatif.
Sigilahoror
benar… thats the point…
Taruma Sakti M.
bla.. bla.. bla.. Muna!? blehh.. 😛
Tapi, gara-gara film ini saya jadi suka lagu “Tiptoe Through The Tulip”. 🙂
tas murah
anjrit jantung g ga kuat nonton ginian >.<
Rendy Andy
endingnya nggak lucu bos,,, masa ternyata setannya itu ternyata… jadi pertanyaannya si suaminya itu ada dimana? trus anaknya gimana?
uda anest :)
sinting ini pas liat hantu nya bikin kaget, untung nonton nya siang2..
gunawan triantoro
Ok, I gotta say something here….
Kalo untuk ngagetin ini film emang berhasil bikin saya terkejut.
Tapi jujur aja gak gitu serem ah… Apalagi bos hantu-nya (fire face), pas diliatin wujud aslinya… walahh.. kok malah lucu….sedikit bikin drop….merah totol2 item gitu,hehehee…. Bahkan lebih serem ‘hantu2 pendukung’-nya… Well,walaupun kurang serem, tapi tertata rapi sekali dan endingnya sama sekali gak masalah buat saya…. Overall bagus laaaaahhhh…………….
RENEKATRI
gw suka film ini…menurut gw ceritanya oke, alurnya jelas,,gak ada bagian yg sempet bikin gw bengong..sampe endingnyapun gak ada masalah siy..tp klw utk kualitas nyeremin yang bikin gw sampe pulang gak mau tidur sendiri juga enggak…yaa ga terlalu nyeremin bwt gw sebagai fans film horror ;p
yg patut diacungi jempol ya sound effect dan segala jenis bunyi2an yg keluar sepanjang film…bikin suasana film horrornya dapet..tp penampakan2nya msh kurang ya…kalah jauh ama setan2 Indonesia (dlm arti sebenernya) heheeh…
mad max
gw iseng nonton pas jam 1malem…biar bisa sambil tiduran maksudnya…taunya anjrit malah bikin melek mata. utk ending gw pikir emang disengaja tanda tanya…nanti jg bakalan ketauan di part 2. baguslah menurut gw filmnya…kagetnya..penasarannya…ngerinya…dapetlah
Leejall
saya lebih ketakutan nonton Ladda Land daripada ini .-.