Well… you have 18 years. 216 months. 864 weeks. 5,920 days. 311,040 hours. You came to our doorstep on 8-14-2008 at 4:30 pm. Your due date is 2-12-2009. Which leaves 119 more days. 2,136 hours. 128,160 minutes. And you have two heartbeats. ~ Allen Brewer

Seorang gadis muda tiba-tiba hadir ditengah keluarga yang sedang berduka, Rose (Carey Mulligan) tidak hanya mengetuk rumah keluarga Brewer untuk menyatakan rasa dukanya tetapi memberitahu bahwa dirinya hamil, dan sedang mengandung anak dari Bennett Brewer (Aaron Johnson), yang tewas akibat kecelakaan. Tentu saja Allen Brewer (Pierce Brosnan) dan Grace (Susan Sarandon) terkejut mendengar berita ini, terlebih Grace yang masih terlihat sangat terpukul dengan kepergian anaknya, bahkan dia sampai menunggu Jordan Walker (Michael Shannon) yang sedang koma, hanya untuk mendengar dari mulut sang pengemudi truk yang bertabrakan dengan mobil Bennett ini tentang menit-menit akhir menjelang ajal putra kebanggaannya tersebut.

Walau pada akhirnya Allen mau menerima dan mempersilahkan Rose untuk tinggal di rumahnya, itu tidak membuat Rose diterima 100% dikeluarga tersebut, hanya Grace yang sepertinya masih terlihat enggan “merangkul” kenyataan bahwa Rose adalah orang yang dicintai oleh putranya dan sedang mengandung cucunya. Ketika Allen menyambut hangat keberadaan Rose di rumah, begitu juga Ryan (Johnny Simmons), adik Bennett, yang bisa dibilang menyembunyikan rasa kehilangan atas kematian kakaknya, berbeda lagi dengan Grace yang tidak sungkan memperlihatkan ketidaksukaannya kepada Rose. Memikul beban sendirian, membuat Grace makin depresi, apalagi ketika dia mendapati suaminya seperti sudah “melupakan” putranya dan semakin akrab dengan Rose. Tentu saja Grace bukan satu-satunya yang memikul beban duka mendalam, Allen juga berduka hebat tapi dia tidak ingin memeprlihatkannya karena ingin menjadi suami yang tegar bagi istri dan keluarga. Kehadiran Rose sebetulnya obat yang paling mujarab untuk menyembuhkan kesedihannya dan seharusnya juga bisa menyembuhkan Grace.

“The Greatest” punya momen-momen yang amat menyentuh sekaligus juga bagian yang terasa amat panjang mengulur waktu, walau kenyataannya durasi film ini bisa dikatakan tidak terlalu lama, hanya 98 menit. Keunggulan Shana Feste yang menuliskan naskah film sekaligus juga tertantang untuk menyutradarai film pertamanya ini, ada pada caranya untuk menggali setiap karakternya namun ketika dipertemukan dengan konflik-konflik yang coba dihadirkan, kok kesannya jadi biasa saja. Berpondasi pada cerita keluarga yang sedang berduka, Shana Feste cukup jeli untuk memperkenalkan kita tidak hanya tampang luar dari Allen dan keluarga, tidak lupa juga Rose, tetapi mampu juga menceritakan sisi batin mereka. Grace bisa dibilang karakter yang paling transparan disini, tidak mencoba menutupi jika dia memang sedang berduka dan jiwanya begitu terguncang, setiap malam menangis dan bahkan ketika bertemu seorang anak kecil dia bisa “gila”.

Sedangkan Allen, sang kepala rumah tangga walau terlihat mampu menyembunyikan apa yang dirasakannya, tidak jarang memberikan kita petunjuk-petunjuk kecil jika dia toh tak ada bedanya dengan istrinya, begitu terpukul namun bisa mengendalikannya. Kemudian ada Ryan, sejak kematian kakaknya dia tampaknya seperti terpinggirkan, Orang tuanya, terlebih lagi Grace ibunya tidak bisa dijadikan tempatnya mengeluarkan isi hatinya, untuk melepas beban yang dia pikul, karena keduanya sama-sama punya masalah dan terlihat begitu rapuh jika itu menyangkut Bennett. Satu-satunya pelarian dia adalah kelompok “curhat” yang anggotanya orang-orang yang punya masalah serupa dengan Ryan, mereka yang kehilangan anggota keluarga, di tempat inilah Ryan sedikit terhibur ketika bertemu seorang perempuan. Terakhir, Rose diperlihatkan sebagai karakter yang begitu baik, tidak banyak bicara, dan lewat karakter Rose-lah kita nantinya bisa berkenalan sebentar dengan Bennett, lewat flashback yang diisi oleh memori-memori pertemuan Rose dengannya.

Lewat drama seputar karakter-karakter yang ingin lepas dari rasa kehilangan mereka, “The Greatest” punya banyak waktu untuk membangun rasa simpati penontonnya untuk masuk dan duduk bareng dalam satu meja makan untuk kemudian merasakan apa yang Allen dan keluarganya rasakan. Karakter Rose sendiri, yang dimainkan dengan baik oleh  Carey Mulligan, bisa dikatakan berhasil tidak hanya menghubungkan chemistry yang cukup dengan karakter lainnya tetapi juga menyodorkan penonton dengan chemistry yang sama, karakter Rose disini memang mudah dicintai. Selain Carey Mulligan yang mampu tampil baik dalam berinteraksi dengan penonton, Susan Sarandon dengan pengalamannya berakting yang jauh punya jam terbang lebih banyak tentunya, membuktikannya dengan performanya yang maksimal, menghadirkan aura duka yang begitu mendalam. Aktingnya pun ditopang oleh Pierce Brosnan yang tampil tidak mengecewakan, Brosnan dengan baik mampu membangun karakternya, termasuk di saat dia tak lagi mampu menutup-nutupi jiwanya yang rapuh. “The Greatest” memang bukan drama yang dirangkai dari cerita yang kuat, kisahnya begitu rentan untuk menjadi membosankan, tapi Shana mampu menyelipkan beberapa momen yang menyentuh dan menarik, termasuk rasa penasaran, apa yang akan dilakukan Grace ketika sang pengemudi truk bangun. “The Greatest” juga ditopang oleh jajaran pemain yang sanggup menghidupkan film ini untuk lebih hidup saat kematian begitu berpengaruh pada setiap karakternya.