Hutang nyawa dibayar nyawa, Aku ingin mereka semua mati!!!

“Tebus” mungkin tidak akan saya sebut sebagai film yang istimewa, tetapi jika melihat dari catatan terakhir yang ditorehkan oleh seorang Muhammad Yusuf, film keduanya yang bergenre thriller ini akan terlihat begitu istimewa. Sudahlah saya tidak perlu menyebut judul film debutnya tersebut disini, karena hanya memunculkan trauma. Jika bukan karena didorong rasa penasaran, saya tidak mungkin menengok sedikitpun “Tebus”, tapi saya berpikir ah kenapa tidak, toh sutradara yang nantinya menghasilkan film bagus dan besar pun tidak melulu mengawali karirnya dengan film bagus. James Cameron saja misalnya, yang kita kenal dengan film-filmnya seperti: The Terminator, Titanic, dan Avatar, mengawali karir penyutradaraan lewat film “Piranha Part Two: The Spawning”, yang boleh percaya atau tidak memang jelek (maaf James). Mungkin Yusuf memang tidak cocok duduk di bangku sutradara untuk film komedi-tidak-jelas itu, karena buktinya di “Tebus”, dia bisa dibilang sanggup menebus dosanya di film tersebut (tidak perlu bertanya apa judul filmnya).

Yusuf telah belajar dari kesalahannya dan walau “Tebus” terlihat biasa saja dimata saya, tapi kata salut tetap saya ucapkan bersamaan dengan munculnya credit title. Barangkali jika film ini dipoles lagi sedikit dari segi teknis dan memperhatikan detil kecil semacam luka dan bekas memar, mungkin saja polesan tersebut akan membuat film ini lebih baik, karena saya pikir naskah yang ditulis oleh Beby Hasibuan tidaklah seburuk itu, bahkan bisa dibilang menjanjikan tetapi untuk bagian esekusi, Muhammad Yusuf yang juga merangkap penulis cerita agak pincang dalam merangkai adegan demi adegan. “Tebus” sendiri akan membawa kita ke sebuah rumah penginapan, dimana Rony Danuatmaja (Tio Pakusadewo) dan keluarganya berniat untuk menghabiskan masa liburan disana. Bersama dengan istrinya Sisca (Chintami Atmanagara) dan kedua anak perempuannya, Ludmilla (Sheila Marcia) dan Karissa (Luna Shabrina), liburan keluarga ini memang bukan sekedar pelepas kepenatan di kota, tetapi lebih cocok sebagai pelepas duka. Keluarga Danuatmaja baru saja kehilangan salah-satu anggota keluarga mereka, Alaric (Revaldo), anak laki-laki satu-satunya yang diharapkan dapat meneruskan kerajaan bisnis keluarga.

Tentu saja ini suatu kehilangan yang sangat berat bagi Rony, selaku ayah yang memang sudah melakukan segalanya demi mengarahkan Alaric agar bisa menggantikan posisinya kelak. Ketika yang lain sepertinya sudah pasrah dan ikhlas, hanya Rony yang belum bisa melepas kepergian sang pewaris tahtanya itu. Ketika duka belum berhenti dan malam  juga belum berakhir, tiba-tiba keluarga ini diteror oleh orang tidak dikenal, awalnya cuma kelihatan seperti pekerjaan orang iseng tetapi ketika Rony memeriksa keluar dia memang menemukan ada seseorang yang sedang sengaja membuat kegaduhan. Tidak ingin ambil resiko apapun, Rony mengajak keluarganya untuk sembunyi kalau-kalau orang yang tak mereka kenal ini berniat jahat. Rony punya alasan kuat untuk paranoid, karena statusnya sebagai orang yang punya “segalanya”, pastilah tidak menutup kemungkinan ada saingan bisnisnya yang ingin merebut apa yang dia miliki. Rony yang dilengkapi dengan senjata berburunya pun bersiap menghadapi siapapun yang berada di luar, pertanyaannya siapa mereka sebenarnya dan mau apa? Apakah keluarga Rony akan selamat?

Jika kita membandingkan film ini dengan film-film yang sekarang sedang mendominasi layar bioskop, yah film-film lokal dengan genre bukan tontonan orang itu, pastilah film “Tebus” akan menjadi sebuah angin segar yang meniup bau kentut. Sebuah film yang membuat saya berkata nyaring “akhirnya…” seperti saat saya berhasil mengupil. Untuk mengangkat tema thriller dengan cerita seputar balas dendam, itu saja sudah saya anggap berani, di tengah racun horor kacrut yang wabahnya makin tidak terkendali saja. “Tebus” punya cara untuk menghibur penontonnya dan itu masih terbilang berhasil, walau ketika keluar bioskop film ini mudah dilupakan setidaknya didalam studio saya sempat dibuat terguncang, dalam artian film ini cukup mampu mengaduk-ngaduk emosi dan mengajak saya untuk merasakan sensasi ketegangan yang disajikan oleh “Tebus”.

“Tebus” sanggup melakukan itu, menciptakan ketegangan ketika porsi thriller perlahan masuk ke dalam cerita. Saya akui peran serta departemen musik juga sangat bertanggung jawab disini, dan Khikmawan Santosa melakukan pekerjaannya dengan baik, musik yang ditempelkan tak jarang jadi teman yang pas disaat keluarga Rony sedang didatangi oleh tamu mereka yang tidak dikenal dan adrenalin pun akan terpicu untuk “menari” ketika tiba saatnya penonton diajak bekejar-kejaran dengan teror. Masalah menghampiri pada cara Yusuf menyusun plot demi plotnya, ok mengemas alur maju yang menceritakan sisi thriller dengan aksi balas dendam yang sedang berlangsung kemudian memasangkannya dengan alur mundur yang diisi oleh flashback, menjadikan film ini terlihat menarik dan menantang kita untuk ikut menyusun teka-teki yang disodorkan. Tetapi menjadi sebuah bumerang ketika Yusuf beberapa kali dengan seenaknya menyetel pola maju-mundur itu disaat yang tidak bisa dibilang tepat.

Tindakannya berimbas langsung pada bagian yang seharusnya menghadirkan sensasi ketegangan, bagian tersebut jadi tidak maksimal ketika tiba-tiba Yusuf memindahkan channelnya ke flashback berupa drama yang menceritakan kematian Alaric dan cerita yang nantinya menguak motif dibalik balas dendam orang-orang yang meneror keluarga Rony. Cerita tersebut memang sangat diperlukan dalam melengkapi bagian dari teka-teki yang hilang, tetapi selain penempatannya yang tidak tepat waktu, film ini juga memilih untuk mengemas adegan-adegan flashback tersebut sangat sinetron sekali. Beberapa juga membosankan, dan saya rasa tantangan di film ini semakin menurun ketika film ini terlalu banyak terlibat untuk menjawab semuanya. Sisi thriller sendiri sebetulnya juga tidak dikemas dengan maksimal, bagian yang mengulur-ngulur waktu kadang memang diperlukan untuk meningkatkan rasa antisipasi penonton, tapi Yusuf justru asyik untuk melebih-lebihkan dosisnya, yang ada malah membuat sisi tegang yang ingin dihadirkan menjadi loyo sebelum beraksi, misalnya saja ketika sang penjahat dengan riang gembira main tarik ulur dengan Rony yang saat itu sedang digantung olehnya, seperti anak kecil yang asyik bermain layangan saja.

Beruntung “Tebus” masih punya jajaran pemain yang bisa diandalkan dalam memicu emosi penonton untuk ikut bermain, terutama Tio Pakusadewo dan Chintami Atmanagara yang terlihat jungkir balik dalam memerankan karakter mereka. Aktor remaja Dayat Simbaia juga mampu mencuri perhatian walau porsinya disini tidak diperhatikan, sama halnya dengan karakter-karakter di film ini yang tidak cukup tergali dengan baik. Walau “Tebus” punya beberapa kekurangan, seperti yang saya katakan di awal film ini sudah melakukan tugasnya dengan cukup baik dalam menghibur. Dengan naskah yang digarap dengan cukup baik (walau ditempel dengan dialog-dialog cheesy) sayangnya esekusi bisa dibilang lemah, dan bagian-bagian yang seharusnya memberikan sensasi tegang ataupun ingin berupaya menyentuh penonton jadi tidak maksimal dan kadang sia-sia saja. Tapi sekali lagi jika ditanya apakah “Tebus” layak ditonton? tentu saja saya akan mengangguk.