Aku cerai dari Mas Panji bukan karena aku mengkhianati kesucian perkawinan dan aku pindah agama bukan karena aku mengkhianati Tuhan ~ Rika

Judulnya yang hanya “?” (tanda tanya) sudah ngeyel dari awal, minta diperhatikan, kok bisa-bisanya Mas Hanung kali ini kasih judul film begitu pelit. Judul yang super-pendek tersebut tentu saja menggelitik rasa keingintahuan kita, para calon penonton yang sukses dibuat penasaran pada akhirnya. Terlepas dari judulnya yang berupa tanda baca saja dan dengan tujuan yang bercabang, termasuk juga dibuat sebagai sayembara berhadiah 100 juta, filmnya ternyata tidak sepelit judulnya. Simpelnya, seperti halnya jika film “?” ini kemudian ditulis menurut cara pengucapannya berubah lebih panjang menjadi “Tanya Tanda” (saya bukan sedang mengulang pelajaran Bahasa Indonesia ketika sekolah dasar dulu), film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo (Sang Pencerah) ini juga mampu dijabarkan menjadi sajian cerita yang tentunya lebih panjang, lebih menarik, dan juga ditumpangi oleh berbagai pesan-pesan sederhana yang disampaikan dengan jelas.

Lewat skrip yang ditulis oleh Titien Wattimena (Minggu Pagi di Victoria Park), judul “?” tersebut tak lagi hanya sekedar simbol tetapi memiliki fungsi untuk menyempurnakan, sebuah kalimat akan menjadi sempurna apa maksudnya ketika dipasangkan dengan “?”, memberikan penegasan kalau kalimat itu adalah sebuah pertanyaan. Film ini memiliki pertanyaan-pertanyaan itu, mengingatkan penonton bahwa mereka juga pernah bertanya soal yang sama seperti apa yang dipertanyakan film ini, kemana sikap toleransi itu pergi? kenapa kita, sesama makhluk Tuhan tidak bisa akur, harus terus cekcok? kenapa harus selalu menyalahkan agama? apakah ketika seseorang jahat, agamanya juga jadi jahat, bukankah semua agama mengajarkan hal yang sama, kebaikan? apa yang divisualisasikan Hanung menurut saya bukan juga sebuah jawaban, dia sama-sama orang yang bertanya di filmnya sendiri, apa yang dihadirkan oleh film ini bisa dibilang adalah sebuah jalan lain, jalan alternatif. Hanung memberikan kita jendela yang terbuka untuk melihat “seperti ini loh jadinya ketika perbedaan itu dikesampingkan dan kita saling berangkulan”.

Kembali lagi pada judulnya, film “?” tak lebih dari sebuah pertanyaan, bukan bertanya agama siapa yang paling benar, tetapi siapa yang bisa memperbaiki dirinya untuk agama mereka. Dunia “alternatif” Hanung kali ini tidak lagi dikonstruksikan dari sebuah sejarah 100 tahun yang lalu seperti “Sang Pencerah”, tetapi mencoba mengumpulkan kejadian-kejadian yang masih dekat, seperti pengeboman tempat ibadah, kekerasan terhadap orang yang berbeda agama, sampai pengerusakan milik orang lain atas nama agama tertentu, kemudian dileburkan ke dalam kisah tiga keluarga yang memiliki latar belakang yang berbeda. Ada keluarga Tan Kat Sun (Hengky Solaiman) yang memiliki restoran masakan Cina, Tan Kat Sun sendiri diperlihatkan begitu menghormati lingkungannya, selain juga menjual makanan halal di menunya, dia juga sangat memperhatikan sekali “kebersihan” makanan dengan memisahkan peralatan masak, mana yang untuk memasak makanan halal dan mana yang bukan. Tan Kat Sun juga sudah terbiasa memberikan jatah lima hari libur untuk karyawan-karyawannya. Walau terlihat normal-normal saja, keluarga Tan Kat Sun sebetulnya punya masalah dengan anak mereka Hendra (Rio Dewanto).

Beda keluarga Tan Kat Sun, beda lagi dengan keluarga Soleh (Reza Rahadian), sebuah keluarga yang bisa dibilang terhimpit masalah ekonomi ditambah Soleh selaku kepala keluarga tidak punya pekerjaan, beruntung ada istrinya Menuk (Revalina S. Temat) yang bekerja di restoran Tan Kat Sun, bisa sedikit membantu ekonomi keluarga. Terakhir ada keluarga Rika (Endhita), seorang janda (ditinggal suaminya yang menikah lagi) dengan seorang anak bernama Abi (Baim). Rika yang juga sahabat baik Menuk baru saja pindah agama, selagi “beradaptasi” dengan agama barunya, dia harus menerima gunjingan orang terhadap dirinya, sambil berperan sebagai orang tua tunggal. Rika pun dipertemukan oleh Surya (Agus Kuncoro), seorang aktor yang lelah terus-menerus mendapat peran figuran saja, nah lewat Rika, Surya nantinya punya kesempatan untuk memerankan sebuah peran utama, masalahnya peran tersebut bertubrukan dengan keyakinannya. Tubrukan-tubrukan masalah keyakinan dan perbedaan inilah yang nantinya menghiasi film ini dan juga jadi sebuah pengikat yang menghubungkan kisah 3 keluarga ini menjadi satu.

Selain memaparkan banyak kejadian dalam satu kisah, rentang waktu dalam “?” (film Tanda Tanya) juga cukup untuk nantinya mengurutkan hari-hari istimewa umat beragama dari Paskah, Ramadhan, Lebaran, dan Natal dalam durasi 100 menitnya. Kisah ketiga keluarga, Tan Kat Sun, Soleh, dan Rika dituntun untuk melewati berbagai kejadian serta diuji juga oleh waktu, ini juga ujian bagi Hanung, apakah dia mampu “mendongengkan” filmnya untuk tidak membosankan dengan banyaknya cerita dan masalah yang saling berdesakan untuk tampil? tampaknya sutradara “Catatan Akhir Sekolah” ini hafal betul bagaimana cara menyajikan sesuatu yang menghibur namun tidak meninggalkan pesan yang ingin dicantolkan ke benak para penontonnya setelah keluar dari bioskop.

Ya tentu saja saya masih akan memasukkannya dalam daftar sebuah film hiburan, walau dengan tema yang sedikit ingin mencubit, Hanung toh tidak menghadirkan tema tersebut untuk susah dicerna, pesan yang ingin disampaikan film ini terpampang dengan sangat jelas, yah bisa dibilang begitu. Bahkan terkadang penjelasan pesan itu terlalu jelas, dan entah kenapa Hanung tidak berhenti untuk terus menjelaskan sampai ke akhir film, saya tidak bilang itu tidak bagus tetapi adakalanya sebuah film menjadi menarik ketika kita ikut merasa tertantang untuk merangkai penjelasan kita sendiri, tidak hanya menerima penjelasan tok yang disodorkan di depan mata. Oh mungkin saja Hanung tidak ingin mengundang adanya salah paham dalam filmnya dan menyampaikan dengan cara seperti itu juga tidak serta-merta membuat film ini menjadi tidak menarik lagi. Kan saya sudah bilang ini adalah film hiburan jadi saya akan berusaha untuk menikmati ini semata-mata untuk menghibur sambil mengantongi setiap pesan yang tinggal petik itu.

Jika saya berekspektasi awal bahwa film “Tanda Tanya” akan menaburkan permasalahan yang beda (mengundang kontroversi) ternyata apa yang dijejalkan bisa dibilang “biasa saja”, isu-isu yang sebetulnya sudah umum hadir dimasyarakat (atau karena sudah biasa terjadi kita jadi bilang itu biasa saja). Namun sekali lagi “Tanda Tanya” mengangkatnya, mengingatkan kembali bahwa pertanyaan-pertanyaan tersebut saja belum terjawab untuk apa mempertanyakan tanda tanya besar lainnya. Ada yang membuat saya terganggu pada saat film ini membuka tirainya, isu-isu “biasa saja” itu hadir silih berganti menimpali apa yang saya namakan perkenalan pada karakter-karakter di film “Tanda Tanya” ini. Begitu saling tumpang tindih dengan pola pindah adegan yang tidak membuat nyaman, setelah itu cerita mengalir begitu saja, Hanung pun membiarkan masing-masing kisah untuk pada akhirnya “diarahkan” untuk bergabung menjadi satu kesatuan. Hal yang mengganggu lain mungkin adalah ending-nya yang terkesan sebuah “jalan pintas”, padahal saya sudah menempuh jarak yang tidak pendek untuk sampai keakhir dan ditemani adegan-adegan yang dramatis, jika diingat lagi kok perjalanan ini jadi ada yang kurang yah.

Ada kebaikan, ada yang berubah menjadi tidak baik, ada yang kemudian sadar dan ada pula yang diberi kesempatan untuk menjadi baik, tapi film ini juga bukan soal siapa yang baik dan siapa yang jahat. Untuk memainkan karakter-karakter yang bukan lagi bicara soal antagonis dan protagonis, saya bisa bilang tidak ada yang paling menonjol di film ini dan masing-masing karakter diberi kesempatan yang sama dengan porsi seimbang untuk tampil dengan baik, tugas tersebut terbukti dijalankan dengan baik oleh Reza Rahadian dan jajaran pemainnya. Namun jika pertanyaan yang muncul adalah cerita siapa yang paling menarik, untuk itu saya akan menjawab kisah Rika dan Surya tampil di urutan pertama, sedangkan untuk kisah keluarga Tan Kat Sun dan Soleh yang diarahkan untuk berbenturan nantinya entah kenapa terlalu membosankan dan terkesan terburu-buru.

Kisah Rika dan Surya sendiri punya ceritanya masing-masing, Rika yang janda dan baru saja pindah Agama akhirnya bertemu dengan Surya si aktor yang tidak beruntung, inilah kisah yang paling enak untuk diikuti dan menghibur, walau nantinya diarahkan untuk menjadi klise tapi saya tetap lebih bisa menikmatinya. Kisah Tan Kat Sun dan Soleh yang lebih tidak menghibur bukan berarti menjadi halangan, hanya persoalan bagaimana cara menceritakannya tapi kisah ini pun menjadi penting dan punya bagian-bagian yang juga menarik, pondasi percekcokan beda agama dan juga internal keluarga muncul dari kedua keluarga tersebut. Pada akhirnya walau saya membedakan-bedakan pilihan saya antara mana yang menghibur dan menarik, “Tanda Tanya” punya satu jawaban yang sama, yaitu dikemas dengan teknis yang mumpuni, itu juga termasuk pengambilan gambarnya. Yadi Sugandi membuktikan sekali lagi dia memang sinematographer handal yang tidak perlu dipertanyakan lagi ketika berurusan dengan kameranya, mata seperti dimanjakan dengan cara dia memotret setiap adegan demi adegan di film ke-14 Hanung Bramantyo ini. Well, dengan keindahan yang dipamerkan oleh visual, film “?” juga dengan indah menjabarkan kata kerukunan…betapa indahnya jika kita saling rukun.

https://twitter.com/#!/raditherapy/status/55511114729013248